Virto melakukan kekerasan padaku.
Tamparan keras mendarat di pipiku bolak -balik, menyeret melemparkan tubuh ini ke sofa, ujung meja mengenai kepalaku.
Virto memang akan bertindak seperti orang gila kalau ia sudah cemburu, apalagi ia cemburu pada Dimas, ayah anak-anak.
Ia berpikir kalau tubuh ini adalah miliknya seutuhnya, ia memiliki cinta yang berlebihan padaku. Aku tidak ingin mati di tangannya, saat ada kesempatan aku mendorong tubuhnya hingga terjatuh, aku melarikan diri dari rumah lari ke apartemen Irene.
Kalau saja aku tidak melarikan diri dari Virto, mungkin ia akan meremukkan tulang-tulangku sampai hancur.
**
"Sudah, jangan menangis lagi, semua akan baik-baik saja, baguslah karena kamu berani melawan dan melarikan diri darinya." Irena memeluk dan mengusap-usap pundak dalam mobil.
Saat Mas Virto datang tidak menemukanku di apartemen Irena, ia akhirnya pulang mengendarai motor besarnya, ia mungkin akan mencariku ke tempat temanku yang lain.
"Aku takut, Iren,"ucapku gemetaran, luka di wajahku, terasa perih.
"Jangan takut, kalau kamu terus berpikir seperti itu sampai kapan kamu akan lepas darinya? Kamu tidur dengan lelaki yang mana apa kamu mengingatnya?” tanya Irene menatapku dengan serius.
Aku hanya menggeleng, karena aku sendiri tidak tahu tidur dengan lelaki yang mana malam itu, aku mabuk.
"Kalau dia hanya mengancam membunuhku tidak apa-apa Ren, tapi selama ini dia selalu bilang ingin menyakiti anak-anak dan ibuku, jika aku punya niat ingin meninggalkan dia,” ucapku sama Iren.
"Jangan khawatir Rin, dia seorang polisi, dia tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti itu, sama saja dia menghancurkan kariernya."
Iren mengusap-usap punggung tanganku.
"Kamu benar Ren, tetapi aku tidak bisa lepas dari Virto, aku tidak ingin terbelenggu dengannya, aku ingin bebas menikmati hidup"
"Iya kamu pasti bisa, percaya padaku, lagian anak-anak ada ayah mereka yang akan menjaganya, dia tidak akan berani menyakiti siapapun. karier kepolisian yang akan jadi taruhannya, jika ia menyakitimu"
Aku sedikit bernapas legah, apa yang dikatakan Irena membuka mataku selama ini, aku hanya ketakutan berlebihan , takut anak-anak di sakiti olehnya, takut ibuku mendapatkan masalah.
ia pernah bilang; Menjadikan orang jadi tersangka kriminal sangat mudah baginya, ia bisa melakukan yang benar jadi bersalah, dan yang salah malah dibenarkan.
Hal itu ditujukan pada ibuku, ia mengancam ku menjadikan ibu jadi tidak pelaku kejahatan, karena ia tahu ibuku memiliki sikap
yang bar-bar, wanita yang selalu merasa kesepian, wanita yang selalu mencari kehangatan dari lelaki muda, bahkan sering menyimpan lelaki di rumah, kalau suami ibu tidak di rumah.
Ancaman itulah yang sering membuatku tidak berdaya dan menuruti dengan semua permintaan Mas Virto.
"Tapi kita mau kemana Iren?"tanya ku menatap keluar jendela mobil.
"Oh, sampai lupa, kita akan ke Ancol, aku punya teman yang baru pulang dari Jerman, mengajak kita ngumpul-ngumpul di sana, kamu mau, kan?"
"Jadi ... aku mengacaukan liburanmu? aku malu bertemu dengan teman-temanmu, teman-temanmu kan semuanya anak-anak pejabat."
"Tidak apa-apa, mereka semua juga manusia, kita hanya ada sepuluh orang kok, dia punya kapal, ingin mengajak naik kapal sampai pulau seribu, kebetulan ia juga punya hotel dan apartemen
di pantai Ancol, makanya kita enak bebas."
"Tapi aku-"
"Jangan khawatir Rin, nanti aku kenalin."
"Oh, jangan, bisa gak kalau aku tidak usah gabung aku tidur di kamar saja? lihat wajahku hancur."
"Oh, baiklah."
Iren membawaku ke penginapan di daerah Ancol, karena kebetulan dia dan teman-temannya ada acara ngumpul-ngumpul.
"Iren, aku terpaksa meminjam pakaianmu lagi," ujar ku merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa, ini ambil." Ia memberikan pakaiannya untukku, tetapi pakaian itu memperlihatkan luka lebam di lenganku dan bagian pundak.
"Aku pinjam switer lagi, lihat ini,” menunjukkan luka lebam.
"Oh, kasihan, ini, tapi kita keluar sebentar iya, teman-temannku ingin mengenalmu, habis itu masuk lagi tidak apa-apa."
"Ok Baiklah,” tidak enak menolak, aku menurut.
Di luar tampak teman-teman Iren sedang duduk santai menikmati pemandangan laut Ancol.
Ia memperkenalkan semua teman-teman Iren, tapi tiba-tiba muncul seorang lelaki yang terlihat angkuh dan wajahnya tidak bersahabat. Ia menatapku sinis membuat batin kewanitaan ku langsung ciut.
'Apa dia tahu siapa aku? sampai-sampai menatapku rendah begitu' aku membatin, dengan tatapan menyelidiki dan merendahkan ia menyodorkan tangannya padaku.
"Farel Taslan"
"O-Oh Ririn," ujar ku gugup.
Karena nama belakangnya mengingatkanku dengan seseorang .
'Tapi mungkin hanya nama dan ... tunggu tapi wajahnya juga mirip, ah tidak mungkin ' aku membatin.
"Rin, dia seorang dokter baru pulang dari Jerman," bisik Iren.
"Oh."
Aku tidak ada niat untuk mengenal ataupun berkenalan dengan mereka semua, aku hanya ingin tidur dan merebahkan tubuhku, luka lebam di tubuhku membuatku kesakitan.
Aku meminta izin pada Iren untuk tidur.
"Rin, ini masih siang, kamu juga belum makan."
"Nanti saja, aku capek."
"Oh, padahal kami ingin naik kapal, mau ke pulau seribu, nanti rencananya akan bakar-bakar ikan di sana, kamu ikut saja iya?"
"Aku di sini saja, nanti kalau aku lapar aku masak mie instan."
"Oh begitu? ok, di dapur ada makanan yang mau di masak juga kok, tapi masalahnya kami semua pergi, mungkin malam baru balik ke sini"
"Tidak apa-apa, pergilah biarkan aku sendiri di sini."
*
Merebahkan tubuh di ranjang penginapan. Namun, walau tubuh ini lelah dan sakit, mataku enggan di ajak tidur, setelah mereka pergi aku keluar dan duduk menikmati hembusan angin laut.
Ada rasa yang tidak bisa diungkapkan saat duduk sendiri menikmati udara pantai, rasa sedih sendirian dan perasaan ingin menghilang selamanya datang bersamaan.
Tapi saat aku duduk tiba-tiba ada suara yang mengagetkanku:
"Jangan melamun nanti kamu kesambet setan."
Aku menoleh ke belakang , lelaki berwajah amgkuh itu berdiri melipat tangan di d**a, menatapku masih dengan tatapan yang sama seperti tadi, sinis dan mengintimidasi.
"Tidak, hanya menikmati keindahan pantai ini."
Aku tidak ingin mengobrol dengan siapapun, memilih ingin masuk, tetapi ucapan lelaki itu membuatku terdiam.
"Apa kamu menikmati hidupmu?"
'Apa dia mengenalku' aku membatin tetapi memilih tidak menanggapinya, tidak menghiraukannya dan berjalan ke dalam kamar.
"Apa jalan hidup seperti jadi salah satu pilihanmu?"
"Berhenti menilai ku sebelum kamu mengenalku" ucapku menahan emosi.
"Gue kira malam itu, gue sudah mengenalmu."
"Apaaa? Jadi, orang yang meniduri malam itu, adalah kamu?"
"Apa kamu tidak mengingat pesonaku?"
Melihat sikap sombong dan sikap angkuh lelaki ini, ingin rasanya aku menyumpal mulutnya dengan keset kaki, tampan tetapi dia angkuh dan sombong, aku tidak mengenal siapa dia, aku juga tidak tahu apa alasan pria itu membenciku
Bersambung