゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 H A P P Y R E A D I N G
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
"Jadi, gimana kabarnya?"
"Eh?"
Aku membuyarkan lamunanku. Astaga, aku belum bisa percaya Kak Ferrum duduk di sampingku. Sudah lama sekali kamu tak berada dalam jarak dekat seperti ini. Karena, aku memilih untuk pergi dan melupakan Kak Ferrum.
Hujan masih mengguyur daerah persinggahanku. Di halte ini, hanya ada aku dengan Kak Ferrum.
"Aku baik-baik aja, Kak," jawabku.
"Oh, syukurlah. Rum, lo bisa ceritain kenapa lo pernah suka sama gue? Atau, apa lo masih suka sama gue?" Aku memperhatikan Kak Ferrum yang sedang memandang derasnya hujan. Tampan yang menyakitkan tapi tetap saja membuat rasa sayang.
"Aku nggak suka sama Kak Ferrum kok," jawabku berbohong dengan perasaanku sendiri.
"Nggak usah ngelak, gue tahu semua. Hal itu yang pernah bikin gue ilfeel sama lo. Sekarang coba ceritain, gue pengin tahu."
Kak Ferrum ini begitu pintar dalam menyudutkan seseorang.
"Iya, aku pernah suka sama Kak Ferrum. Cuma, Kak Ferrum nganggep aku sebatas adik. Ya udah, aku belajar nerima semuanya." Setelah mencintai Kak Ferrum bertahun-tahun, ini kali pertama aku menyatakan perasaanku kepadanya.
"Oh, pastes sekarang lo sombong banget nggak pernah chat gue lagi. Jadi mau otw move on?"
Aku menggeleng pelan. Aku pikir, sugesti Kak Ferrum tidak sepenuhnya benar. "Gue cuma nggak mau ganggu Kak Ferrum."
Ya, nyatanya seperti itu. Tahun-tahun kemarin, aku terlalu merepotkan dia. Aku sering berkeluh kesah kepadanya. Dan jelas itu semua untuk membuat Kak Ferrum tertarik padaku. Namun nyatanya nihil.
"Bukan karena lo udah nyerah sama gue? Berarti lo dulu-dulu chat buat nyari muka doang?"
"Maksud Kakak?"
"Ya maksud gue, lo chat buat cari perhatian, 'kan? Sebenernya itu cara murahan sih, ceweknya yang ngejar cowok."
Aku mengerutkan dahiku. Kak Ferrum mengapa terus memojokanku? Apa salah jika aku dulu mencoba mengejar hatinya?
"Kakak juga perhatian sama aku. Kakak peduli banget sama aku. Aku sering nyeritain dunia aku ke Kakak, Kak Ferrum juga begitu ke aku. Aku pikir, kita juga sama rasa, Kak. Nyatanya enggak."
"Emang! Itu lo aja yang gampang baper! Orang gue balesin chat lo kalo gue ngerasa bosen. Tapi semakin ke sini, gue risih sama lo. Makanya gue ilfeel dan ngejauhin lo waktu itu."
Aku mendesah pelan. Kenapa Kak Ferrum tidak mengakui kesalahannya? Dan dia bilang apa tadi? Membalas pesanku waktu dia bosan? Kurang ajar sekali. Dia yang sudah membuatku jatuh hati, tapi justru enggan mengakui. Menyebalkan.
"Nggak ada api jika nggak ada kompor. Aku nggak akan baper jika Kak Ferrum nggak bikin baper. Kakak sendiri yang membuat aku berharap lebih. Tapi kenapa Kakak malah nyalahin aku? Aku aja nggak nyalahin Kakak yang udah bikin aku sakit hati."
"Kalo dipikir-pikir emang iya sih gue yang bikin baper. Tapi itu gue sengaja. Abisnya, mainin perasaan orang itu asik juga ternyata."
Sumbu emosiku pendek saat ini. Baru pertama kali aku mengenal sosok cowok b******n kayak Kak Ferrum ini. Memangnya, menurut dia perasaan seperti maainan? Seenaknya saja menarik ulur hati aku.
"Mending Kakak diem kalo masih ingin di sini. Karena aku muak bareng cowok yang kayak pohon pisang. Punya jantung tapi nggak punya hati!" hardik aku kepada Kak Ferrum. Aku sudah tidak tahan dengan ucapan-ucapan pedasnya.
Sakit. Sakit ketika aku sudah berhasil melupakannya dan tiba-tiba dia datang lalu berbicara dengan perkataan yang menusuk.
Tetapi baguslah. Semakin dia menyakitiku, semakin aku benci kepada dia.
Aku melihat Kak Ferrum bersedekap tangan dengan congkaknya. "Apaan sih lo mau usir aja. Gue juga, 'kan butuh tempat neduh! Sana lo aja yang pergi!"
"Fine! Tanpa Kak Ferrum perintah, aku juga bakal pergi. Aku nggak sudi satu tempat sama cowok berengsek kayak KakK!"
Aku menghentakkan kakiku muali berdiri dari tempat duduk aku. Tidak lupa aku mengambil sepedaku dan aku mengayuhnya secepat mungkin tanpa memperdulikan hujan yang masih mengguyur.
Hatiku begitu rapuh atas fakta yang baru saja aku dapat tadi. Atas realita bahwa Kak Ferrum hanya mempermainkan perasaanku. Aku sadar, air mataku mulai menetes meski mengalir dengan lambat di pipiku.
Tuhan ... mengapa menerima kenyataan hidupku begitu susah? Hatiku sudah rusak karena ibu, perasaanku sudah mati karena Kak Ferum.
Apa, apa akan ada sebuah kebahagiaan menghampiriku?
Argentum? Raksa? Jelas aku belum bisa memikirkan mereka karena aku terlalu takut untuk jatuh cinta. Aku takut nantinya akan terluka dan dipermainkan lagi.
Tin Tin Tin!
"Calon pacar gue kenapa suka benget ujan-ujanan, sih?"
Aku menghentikan langkahku begitu sebuah mobil putih berhenti di depanku. Suara cowok tadi ya aku rasa itu adalah suara Argentum.
Dan yang benar saja, itu memang Argentum. Cowok itu baru saja turun dari mobilnya dengan menggenggam payung biru dongker. Berjalan ke arahku dengan langkah tak ada keraguan.
Aku masih larut dalam kesedihanku. Hujan deras seperti ini membuat perasaanku lebih terbawa suasana. Untuk kesekian kalinya, aku menangis di hadapan Argentum. Aku turun dari sepedaku dab tidak lupa aku juga menstandar sepedaku terlebih dahulu begitu Argentum mulai memayungi diriku.
"Kenapa nangis lagi, Aurum? Gue nggak suka liat lo nangis."
Aku menunduk, aku tak dapat membuat suasana hatiku sedikit membaik. "Pergi! Biarin gue sendirian!" usirku pada Argentum.
"Nggak. Gue nggak mau pergi. Gue mau temenin lo nangis meski hujan-hujanan gini, Aurum."
"Gur mohon pergi. Gue nggak suka perhatian lo! Gue nggak suka rasa peduli lo! Karena kalo itu semua buat mermainin perasaan gue, mending lo pergi aja sekarang!"
"Aurum, gue nggak paham."
"Kenapa? Kenapa banyak orang yang mudah sekali buat mempermainkan perasaan yang lainnya? Kenapa orang-orang menganggap itu semua hanya becanda?!"
Argentum mengangkat daguku. Dia menatapku dengan tatapan hangat. "You are a gold. You is Aurum. Siapapun yang nyakitin lo, siapaun yang coba mempermainkan lo, lo adalah tokoh utama dalam dunia lo. Mereka bikin lo nangis? Lo tinggal terus berjalan karena nantinya bakal ada balasan buat mereka."
Argentum menarikku ke pelukannya, membuat aku bertambah menangis sejadi-jadinya.
"Calon pacar gue nggak boleh sedih, dong. Nanti gue ikut sedih. Terus kalo gue sedih ntar kasihan doang fans-fans setia gue. Bisa nangis mereka," bujuk Argentum menepuk pundakku seakan membuat lebih berlapang d**a.
"Gue capek! Gue capek sama hidup gue!"
"Rum, manusia punya masalahnya masing-masing. Masalah itu disesuain sama sejauh mana kita bisa bangkit, sejauh mana kita bisa nyelesein semuanya."
Aku masih menangis. Aku bukan hanya teringat akan Kak Ferrum, tetapi juga teringat akan ibu. Kapan ibu akan menyayangiku? Kapan ibu akan mendukung setiap langkahku? Aku ingin hadirnya di sisiku sebagai penyemangat nomor satu. Itu saja.
"Kalo lo dapat masalah, artinya Tuhan percaya sama lo bahwa lo bisa ngelewatin semuanya. Tuhan sayang sama lo, Aurum. Lo cewek yang kuat. Lo cewek yang bekerja keras. Jangan sedih lagi ya, Rum."
Mendengar itu semua dari Argentum, aku membalas pelukannya. Tangisku ku biarkan tumpah ruah. Meluluhlantakkan semua keresahanku yang pasrah.
Tunggu. Seketika aku ingin memaki diriku sendiri. Kenapa aku memeluk Argentum?
Aku melepaskan pelukanku pada Argentum, lalu menunduk malu. Ish, harusnya aku diam saja tetapi dengan bodohnya aku justru membalas pelukan Argentum tadi. Lihat saja, Argentum sedang tersenyam-senyun sendiri. Mati aku, pasti dia akan mengejekku.
"Lo udah mulai suka sama gue, ya, Rum?" tuding dia menatapku dengan tatapan mengharapkan.
"Enggak!"
"Kok meluk gue?"
"Lo yang meluk!"
"Lo balas pelukan gue, Aurum."
"Enggak! Perasaan lo doang kali!" Argh, sungguh Argentum menyebalkan. Aku terus menutupi fakta itu karena aku tidak mau nantinya Argentum semakin gencar mendekatiku. Tidak. Aku tidak mau.
"Masa? Gue yakin kok kalo lo udah mulai suka sama gue."
"Jangan mimpi lo!"
Aku melihat ke arah baju Argentum. Astaga kenapa basah? Ah, ini pasti gara-gara terkena baju aku yang diguyur hujan tadi. Aku lupa akan hal itu. Anehnya, aku saja tak merasakan kedinginanan meski basah kuyup.
"Tapi kayaknya tadi lo nyaman banget deh. Udah berapa kali coba gue nemuin lo dalam kedaan kayak gini? Secara nggak langsung, Tuhan emang udah nakdirin kita ya, Rum?" Argentum tersenyum manis ke arahku. Dari pancaran netranya, aku melihat dia adalah orang yang tulus.
Oh tidak. Rasa dingin itu tiba-iba saja menjalar pada tubuhku. Hidungku terasa gatal.
Hachim!
"Astaga, maaf gue ngebiarin lo kedinginan kayak gini. Ayo Rum cepet masuk ke mobil." Argentum menuntunku untuk ke mobilnya setelah mendengar aku bersin tadi. Perlu aku akui, Argentum adalah orang yang sangat peka.
"Sepeda gue?" tanyaku saat hendak menaiki mobil Argentum.
"Tenang, gue atur semuanya. Lo masuk aja, ambil handuk di kursi belakang." Argentum menutup pintu mobil saat aku sudah masuk ke dalamnya.
Ku perhatikan Argentum dari kaca spion mobil. Loh, sepedaku akan dibawa ke mana itu?!
Argentum menaruh sepedaku di depan sebuat toko. Dia juga bercakap-cakap dengan pemilik toko itu.
"Sepeda gue lo loakin?!" tanya aku begitu Argentum memasuki mobil.
"Bukan elah. Gue cuma nitip sama pemilik toko itu."
"Kan mau gue pake lagi nanti! Ya udah lah, gue turun aja!" Aku bergegas hendak membuka pintu mobil Argentum.
"Ntar kalo udah nyampe rumah lo, gue buru-buru deh ambil sepedanya. Kan deket pula. Yang penting sekarang lo pulang dulu, tuh kulit lo kayak mayat pucet banget, Aurum!"
Aku mendelik tajam. Enak saja Argentum mengatakan kulitku seperti mayat! "Sembarang lo kalo ngomong. Awas aja nanti sepedanya nggak nyampe cepet. Gue nggak mau yang besok-besok berurusan sama lo lagi!"
Aku menyipitkan mataku ketika memperhatikan Argentum yang justru tersenyum setelah mendapatkan omelan dariku.
"Gemes banget kalo lo udah marah-marah gini," ungkapnya padaku.
Aku mengjiraukan ucapan Argentum dan memilih untuk mengambil handuk di tempat yang cowok itu sebutkan tadi. Aku mulai mengelap baju ku yang basah. Ya, meskipun tak mungkin akan kering seketika. Aku juga menggunakan handuk itu untuk menutupi tubuhku. Gila, kenapa aku dingin sekali rasanya.
"Aurum, nih permen jahe biar lo anget dikit."
Aku menerima permen yang di sodorkan Argentum padaku dan langsung memakannya. Lumayan, badanku hangat sedikit. Melihat hujan di luaran sana serta rasa dingin ini, membuat aku menginginkan mie rebus. Mie rebus dengan telur setengah matang, sayar sawi, cabai juga saus yang banyak. Lezat sekali.
Aku refleks menoleh ke arah Argentum saat kepalaku merasakan ada handuk di atasnya.
"Lo gimana, sih, masa rambut lo yang basah gini dibiarin aja?"
Argentum membantuku mengeringkan rambut. Aku memerhatikan dia terus-menerus. Jantungku berdebar kencang lagi. Argentum sangat peduli kepadaku.
Tapi aku masih trauma untuk membuka hati. Busa saja Argentum sama seperti Kak Ferrum yang sekadar ingin mempermainkanku. Hanya saja, kali ini aku berhasil jatuh dalam sikap manis Argentum.
"Rum, gue nggak tau yang bikin lo sakit hati siapa, gue nggak tau kenapa lo bisa nggak mau buka hati. Tapi gue mohon, kasih gue kesempatan buat masuk dalam hati lo. Gue bakal merjuangin lo gue bakal berusaha ada buat lo, Aurum."
Dilema. Aku sungguh dilema dengan semua ini. Haruskah? Haruskah aku mencoba hati untuk menyembuhkan luka yang ku miliki? Apa itu adalah ide bagus?
"Apa yang bisa lo katakan biar bikin gue percaya lo nggak bakal nyakitin gue?" tanyaku untuk meyakinkan hatiku sendiri.
"Lo adalah cinta pertama gue. Waktu kita masih kecil, Aurum."
Aku tercengang dengan jawaban Argentum. Cinta pertama? Masa kecil? Memangnya aku pernah bertemu dengan dia?
"Lo inget nggak, waktu dulu kita TK. Gue selalu di-bully sama yang lainnya karena dulu gue gendut. Gue nggak boleh main ini, main itu. Gue nggak punya temen, gue cuma sering disuruh-suruh sama yang lainnya."
Aku begitu fokus mendengarkan cerita dari Argentum yang sembari mengeringkan rambutku dengan handuk. Nada bicaranya menjadi sedikit sendu. Aku mencoba mengingat-ingat tentang masa kecilku, tapi aku belum menemukan sosok Argentum dalam ingatanku.
"Terus lo dateng. Lo itu pindahan, Rum. Cuma lo yang mau temenan sama gue. Lo juga berani ngebela gue waktu gue di-bully. Sejak saat itu, gue bertekad buat temenan sama lo selamanya. Tapi, saat hari ulang tahun lo, saat gue nyoba pergi ke rumah lo buat kasih kado, lo sama keluarga lo udah pindah. Dan di hari itu adalah hari kesedihan bagi gue, Aurum."
Argentum menghentikan pergerakan tangannya pada kepalaku. Dia rupanya menyadari jika sedari tadi aku menatapnya. Tatapan kami bertemu. Ingatanku seketika menjelajah pada masa kecil itu.
Bocah gendut yang selalu menggenggam cokelat. Ternyata, itu Argentum? Aku tak menyangka Argentum dapat bertranformasi sejauh ini. Dari fisiknya, dari sifatnya, bocah gendut itu sudah berubah total.
"Lo adalah yang pertama. Dan akan menjadi yang satu-satunya di hati gue, Aurum."
***
。・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 S E E Y O U I N T H E N E X T C H A P T E R ! ! ! !
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚..