゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 H A P P Y R E A D I N G
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
"Aurum, sana cuci piring!"
Aku baru saja membuka pintu rumahku. Seragam sekolah ayang aku kenakan masih sedikit basah karena hujan-hujanan tadi.
Aku menatap luh ke arah ruang keluarga. Kakak perempuanku sedan berkunjung ke sini rupanya. Dia sedang sibuk berbarik di atas sofa dengan bermain handphone. Layar televisi menyala, meja di depan sofa ada beberapa sampah bungkus makanan ringan.
"Eh lo udah pulang? Bisa tolong pijitin gue, nggak? Capek bener hari ini."
Aku tetap diam dan mematung saat kakakku berbicara seperti itu. Aku tahu, dia ke rumah ini pasti hanya untuk makan dan meminta uang.
Padahal, Kak Risa sudah menikah dan mempunyai seorang putri. Namun tetap saja hidupnya seperti bergantung pada ibu dan ayah. Dia tidak bekerja tetapi dia sering meminjam uang ibu yang pada akhirnya juga tak akan di kembalikan.
Aku rak mengerti. Mengapa kakak akua seperti ini.
"Aurum!!"
Aku membuyarkan semua pikiranku dan langsung bergegas ke dapur karena ibu sudah meneriaki aku kembali. Ayolah, aku belum makan sore ini namun terlihat tumpukan piring begitu banyak. Siapa yang seharian tadi sering makan?
"Bu, Aurum mau bersih-bersih dulu soalnya baru sampai. Atau, Kak Risa aja yang cuci piring? Dia lagi santai-santai di depan tv," usulku kepada ibu. Bukan. Bukan karena aku iri dengan Kak Risa. Hanya saja aku kasihan kepada ibu yang uangnya diperas sama Kak Risa sedangkan Kak Risa tidak melakukan apa-apa.
"Nggak usah bersih-bersihan deh! Udah cepet kamu yang nyuci. Kak Risa itu lagi capek!"
"Capek? Capek ngapain? Capek rebahan dan arisan?"
"Tutup mulut kamu! Risa itu anak kesayangan Ibu. Nggak usah kamu kayak gitu ke Risa!"
"Bu, Ibu itu udah sering dibohongi sama Kak Risa. Kak Risa dia ke sini cuma ngapain? Paling makan sama minta uang, kan, Bu? Bahkan waktu Ibu sakit aja Kak Risa nggak dateng. Waktu Ibu lagi butuh bantuan, Kak Risa selalu aja ada alasan buat nggak bantuin Ibu. Aurum cuma nggak mau Ibu disakitin sama Kak Risa, Bu," ujarku kepada ibu. Aku tahu, mungkin aku sedikit lancang kali ini tapi jujur, aku sangat muak dengan kakakku.
Ibu hanya diam. Dia memilih pergi meninggalkanku di depan pencucian piring.
Aku lihat, ternyata ibu menghampiri Kak Risa dengan raut bahagianya. Bahagia sekali ibu bertemu dengan anak pertamanya. Sedangkan denganku? Kenapa ibu sulit untuk tersenyum kepadaku?
Astaga, Aurum! Hentikan rasa iri kamu!
Aku menghela napasku dengan pasrah. Menaruh tas sekolahku di atas meja. Ku regangkan sedikit otot-ototku karena terasa sedikit pegal tadi. Lalu aku mulai mencuci rumpukan piring kotor itu.
Di tengah sibuknya menyuci, perutku terasa melilit saat ini. Ah, aku lupa itu pasti karena aku belum makan dari tadi.
Aku menjeda sebentar kegiatan mencuci piringku untuk mengintip makanan di bawah tudung saji. Wah, rupanya ada tumisan jamur putih. Itu adalah tumisan kesukaan ku.
Aku mengulas senyumku, dan mengambil piring di rak. Namun, saat aku hendak mengambil tumisan jamur itu, ibu sudah mengambilnya terlebih dahulu.
"Buat Risa. Kamu masak mie aja."
Ibu kemudian kembali ke ruang keluarga. Aku memperhatikan ibu dan Kak Risa dari dapur. Mereka berdua makan bersama di satu piring yang sama. Sering kali terdengar kekehan riang yang menandakan mereka bahagia.
Apa ... apa aku tak pantas untuk di keluarga ini?
Bahkan ibu tak menawariku untuk bergabung dengan mereka berdua dan justru menyuruhku mencuci piring. Dan tadi apa? Makanan favoritku diambil semua oleh ibu untuk dirinya dan Kak Risa.
Sekarang aku mengerti mengapa ada tumisan jamur di meja makan tadi. Bukan. Bukan karena ibu sengaja memasak untuk aku. Tapi memang dia memasak untuk Kak Risa.
Selalu saja seperti ini. Selalu aku yang harus melakukannya sendiri.
Tuhan ... apakah salah jika aku ingin sedikit dimanja oleh ibu?
Aku mendongak ke atas, menahan air mataku agar tak keluar. Daripada terus-terus bersedih seperti ini, aku memilih untuk melanjutkan kegiatan cuci piringku saja.
Ketika semua sudah selesai, aku menengok ke arah jam dinding. Jarum pendeknya mengarah pada angka tujuh. Waktu jam segini, adalah jadwalku untuk membantu ayah di kedai.
Aku bergegas mengambil tas sekolahku dan naik ke lantai atas untuk menganti baju. Bahkan untuk mandi saja tak sempat. Aku harus buru-buru. Jadwal malam ini begitu memadati pemikiranku.
Aku tak peduli lagi dengan ibu dan Kak Risa. Aku berlarian setelah selesai menggangti seragam sekolahku dengan sweater warna soft cokelat dan celana jeans panjang.
"Ibu, Kak Risa, Aurum pamit ke kedai dulu." Aku mengulurkan tanganku untuk meraih tangan ibu.
Namun, ibu justru menepis tanganku begitu acuh.
"Sana pergi aja."
Aku mengangguk pelan, aku menahan lagi rasa sakit di hatiku. Namun kali ini aku tak membuatnya rumit. Aku hanya cukup tersenyum kepada ibu dan Kak Risa. "Assalamu'alaikum," ucapku.
"Wa'alaikumsalam!"
***
"Ayah! Maaf, Aurum terlambat!" teriak aku begitu sampai di kedai ayah. Aku lihat ayah sedang membersihkan meja-meja kedai.
Ah, untungnya malam ini cuacanya bagus. Hujan sudah reda, dan justru langit tamaram di atas menampilkan banyak bintang.
"Aurum, kamu itu harusnya di rumah saja, kamu kan udah kelas tiga," ujar ayah ketika aku baru saja sampai di hadapannya.
Aku menggrleng pelan dan tersenyum untuk menenangkan hati ayah. "Aurum nggak mau lihat Ayah bekerja sendiri. Aurum nggak mau lihat Ayah kelelahan sendiri. Kan Aurum juga make uang ayah buat sekolah."
Ayah tiba-tiba menatapku dengan sendu. Dia lalu mengusap pelan puncak kepalaku. Jujur, rasanya aku menjadi lebih tenang. Jujur, rasanya aku lebih berasa hidup saat ini.
"Kamu anak yang baik, Aurum. Maafin Ayah sering nggak bisa bantuin kamu saat ibu lagi marah. Maaf Ayah kamu yang cuma bisa nikmatin kopi dan cuma bisa liatin kamu saat kamu disakitin sama ibu."
Aku memejamkan mataku sesaat. Untungnya sekarang belum ada pelanggan di kedai. "Ayah .... Ayah nggak boleh ngomong kayak gitu. Selama ini Ayah udah bantuin Aurum. Aurum juga nggak mau kalo Ayah ngebela Aurum, nanti Ayah bertengkar sama ibu."
"Tapi Aurum--"
Aku mengembangkan senyumku sekali lagi. "Aurum baik-baik aja, Ayah."
Percakapan kami berdua terhenti ketika ada pelanggan yang mulai memasuki kedai. Ayah kembali lagi ke dapur, sementara aku menghmapiri pelanggan itu untuk menanyakan pesanan.
Aku mengerutkan dahiku begitu berhadapan dengan pelanggan yang satu ini. Dia tpak begitu aneh dan terlalu tertutup. Berpakaian serba hitam, mengenakan topi dan masker hitam pula. Atau jangan-jangan ... dia penjahat?!
"Maaf, Mas. Mau pesan apa, ya?"
Aku memperhatikan dengan seksama seorang cowok yang duduk seorang diri ini. Gerak-geriknya sungguh mencurigakan.
***
。・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 S E E Y O U I N T H E N E X T C H A P T E R ! ! ! !
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚..