゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 H A P P Y R E A D I N G
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
Aku berjalan santai setelah keluar dari kantor guru. Menghirup udara segar membuat aku lebih tenang.
Aku menyercitkan keningku ketika melihat kerumunan di lapangan basket. Ada apa? Apa yang terjadi?
Puluhan siswa mengerubungi seseorang nampaknya. Mereka terlihat begitu panik. Aku penasaran dengan semua itu. Sebetulnya aku tak suka jika pergi sendirian seperti ini. Aku tak suka jika aku ada di kerumunan seorang diri nantinya. Namun, entah mengapa perasaan dan pikiranku terus memojokan aku untuk mendekati kerumunan itu.
Ada bola basket tergeletak tak jauh dari kerumunan. Oh, apa ada seseorang yang terluka saat bermain basket?
Aku mengambil jarak pada kerumunan itu sekitar lima langkah. Aku hanya ingin menuntaskan rasa penasaranku sekejap, jadi tak perlu aku ikut bergerombol dengan siswa-siwa lain.
"Ayo, Ar, lo harus ke UKS. Beberapa hari lagi tanding, ntar lukanya tambah parah gimana?"
Aku mendengar suara berat dari salah seorang cowok di kerumunan itu.
"Enggak! Gue males ke UKS! Gue pengin tetep latihan!"
"Ar, lo kepala batu banget, sih, kalo diomongin?!" Dari tempatku berdiri, aku melihat cowok bermuka dingin yang baru saja mengatakan kalimat itu.
Aku menjinjit untuk melihat siapa yang sedang dikerumuni, setelah mendengar sapaan 'Ar' tadi. Apa Argentum yang sekarang menjadi pusat perhatian? Dan benar saja, ternyata memang Argentun. Tatapan kami tak sengaja bertemu tadi.
"Oke gue mau ke UKS, asal dia juga ikut!"
Aku membuka mata lebar-lebar saar Argentum menunjuk ke arahku, membuat para siswa yang berkerumum menengok diriku. Aku dapat mendengar jelas Argentum terkekeh kecil. Dasar licik sekali dia.
"Nggak mau!" tolak aku berbalik badan hendak melangkah pergi.
Namun, aku terkejut saat para kerumunan tadi menghadang jalanku. Apa-apaan ini?! "Minggir!" perintahku.
"Tolongin kita. Beberapa hari lagi mau ada pertandingan penting. Lalo Ar lukanya ga diobatin segera, dia nggak bakal bisa ikut. Dia pemain andalan Khatulistiwa," pinta cowok yang mempunyai suara berat tadi. Ah, aku tahu dia. Dia itu Reza. Seorang Ketua OSIS dan juga anggota basket SMA Khatulistiwa ini.
"Gue banyak urusan!"
"Ayolah, tolongin kita sebentar. Ar susah banget dibilangin," pinta Reza sekali lagi.
Aku menengok ke belakang di mana Argentum hanya duduk manis sembari memerhatikan kaki kanannya yang terluka. Baiklah, aku akan membantunya kali ini karena aku sudah berhutang banyak kepada Argentum.
"Ya udah cepet."
Para pemain basket dan beberapa penonton yang menghadangku seketika bubar. Mereka mulai mengangkat tubuh Argentum ke UKS.
Begitu sampa di UKS, mereka meninggalkan aku dan Argentum di ruangan. Aku sedikit menguap karena mengantuk. Ah, ini pasti gara-gara tadi malam aku tidur pukul empat pagi.
Aku memerhatikan Argentum yang duduk bersender pada dinding UKS. Sepertinya tugasku sudah selesai kali ini. Aku ingin sekali cepat kembali ke kelas.
"Udah, 'kan? Gue mau balik ke kelas," ujarku dengan nada ketus. Aku berbalik badan dan akan keluar dari UKS SMA Khatulistiwa ini.
"Rum ... gue takut kalo di UKS sendirian." Argentum mencekal tanganku, dia mencegahku agar tak pergi.
Aku memutar bola mataku merasa malas berurusan dengan Argentum. "Cowok nyebelin kayak lo takut sendirian? Nggak mungkin deh kayaknya!"
"Rum ... gue takut."
Ish, mengapa Argentum melirih seperti itu? Aku mengubah posisi berdiriku menjadi kembali berhadapan dengan cowok itu. "Ini UKS, bukan kuburan. Ngapain juga lo takut?!"
Argentum menunduk lesu setelah aku melontarkan omonganku. Dia menatap lukanya sendiri yang masih berdarah dan ada bagian yang berwarna biru keunguan. "Aurum ...."
Menyebalkan! Aku tak bisa menolak permintaan pertolongan jika sudah seperti ini.
Aku menghentakkan kakiku dengan kuat. Terpaksa, aku akan membantu Argentum kali ini. Aku bergegas mengambil kotak P3K, yang tak jauh dari ranjang Argentum.
"Nah kalo baik hati kayak gini kan adem gue liatnya," ujar Argentum saat aku mulai membersihkan luka di lutut kanan cowok itu.
"Maksud lo gue kemarin-kemarin kayak neraka? Panas gitu?!"
"Iya, beda tipis, sih. Lo galak, tapi lo sering nangis." Argentum tertawa renyah seakan mengejekku. "Aaa!! Sakit, Aurum!" pekik dia karena aku sengaja sedikit menekan luka pada kakinyaa.
"Makanya lo tuh diem aja!"
"Hem, lo nulisnya gimana? Lancar? Udah kirim ke editor buat seleksi?"
Aku melirik tajam ke arah Argentum. Bukannya aku tadi menyuruhnya untuk diam? Mengapa dia terus menyerocos?! Ingin aku sumpal dengan kapas dan obat merah rasanya.
"Gue udah kirim ke editor tadi buat yang sinopsis. Kalo buat ceritanya baru nyampe 3 part," jawab aku kepada Argentum.
"Olimpiade buat besok?"
"Aman. Gue udah persiapin semuanya. Tinggal berdoa."
Argentum mengadahkan kedua telapak tangannya seraya akan berdoa. "Ya Allah, semoga semua urusan Aurum lancar, hasilnya memuaskan. Aurum udah bekerja keras untuk semuanya. Aurum juga suka bantu orang tuanya, Aurum sudah melakukan yang terbaik. Semoga nantinya hasilnya juga yang terbaik. Aamiin .... "
Aku tertegun melihat Argentum yang mendoakan aku. Cowok itu sedang tidak main-main, aku dapat melihat rasa tulus di pancaran netranya.
Lagi dan lagi. Argentum berhasil mengusik perasaanku. Aku bahkan begitu fokus menatapnya tanpa tak sadar jika nada dering di handphne kesayanagnku berbunyi nyaring.
“Angkat dulu teleponnya, natap gue mah bisa nanti lagi, “ celetuk Argentum diiringi senyuman tengilnya. Astaga, Aurum, kenapa bisa sampai terciduk seperti ini, sih?!
Aku malu, jujur saja. Aku sungguh menyesal menatap cowok yang sedang bersamaku di UKS ini secara terang - terang. Oleh karena itu, aku lebih memilih utuk mengangkat panggilan masuk di telepon genggamku daripada menjawab omongan Argentum.
Ku baca nama yang meneleponku, “Raksa?” tanyaku sedikit bergumam dengan mengerutkan dari. Tanpa berlama - lama lagi, langsung aku angkat saja telepon itu. “Halo, Sa. Ngapain lo nelepon gu? Ada yang penting?” tanyaku sembari melirik ke arah Argentum. Lagi - lagi, aku dibuat kikuk di hadapannya. Dia begitu serius memperhatikanku menjawab telepon dari Raksa.
“Penting. Lo di mana sekarang?” tanya Raksa dari seberang telepon sana.
“Di UKS, gue —”
“LO NGAPAIN DI SANA?! LO SAKIT? LO TERLUKA?! BENTAR GUE OTW KE SANA INI PAS BANGET GUE LAGI JALAN DI LORONG GEDUNG YANG ADA UKSNYA!”
Aku menjauhkan sedikit telepon genggamku dari telinga. Aku tidak ingin sakit telinga karena mendengar suara teriakan Raksa yang sedang histeris itu. “Raksa, gue ngga papa. Gue cuma —”
“Lo tenang dulu, pokoknya gue ke sana sekarang. “
Alih - alih memberikan celah padaku untuk menjelaskan kondisiku sebenarnya, Raksa justru memutuskan panggilan suara tadi dengan sepihak. Kenapa dia begitu panik, astaga!
“Si Cacing Raksaksa mau ke sini?”
Setelah meletakan kembali ponselku pada kantong baju, aku menoleh ke arah Argentum yang baru saja dari bersuara. “Iya. Dia panik banget, padahal gue mau jelasin malah dia nggak mau denger,” jelasku pada Argentum.
Argentung tersenyum miring mendengarkan penjelasanku. “Baguslah kalo dia datang, mau gue panas - panasin sekalian.”
“Panas - panasin?” tanyaku. Baru saja aku melontarkan pertanyaan itu, Argentum justru menarik lenganku dengan kuat sehingga tubuhku tertarik dan memangkas jarak antara aku dan Argentum. Jarak itu begitu tipis, mungkin hanya lima senti. Kami berdua saling menatap satu sama lain. Aku tak bisa meloloskan diri dari tatapan Argentum yang tajam dan kali ini terpancar begitu serius.
“Aurum Sastrawiguna, gue pengin lo jadi milik gue. Dan gue nggak mau ada orang lain yang ngeganggu jalan gue buat dapetin lo,” tandasnya padaku yang membuat diriku merasa sesak..
Tubuhku condong, namun untungnya ditahan oleh tangan Argentum yang masih mencekal lenganku. Tapi dalam keadan seperti ini, aku rasa oksigen di sekitarku mulai menipis, jantungku begitu berdegup dengan kencangnya. Aku harap, Argentum tidak mendengar suara detak jantungku. Aku harus bangkit, berada di hadapan Argentum dengan jarak yang begitu dekat ini membuatku seperti kehilangan akal rupanya,
“A —”
Baru saja aku mau menyebut nama Argentum, laki - laki itu justru melepaskan cekalan tangannya dan membuatku kehilangan keseimbangan serta berakhir di pelukan Argentum. Ya Tuhan, aku ingin sekali mengumpat.
“AURUM! LO SAKIT APA?!” Suara Argentum terdengar beriringan dengan suara bantingan pintu UKS.
Aurum seketika panik, sementara Argentum justru tersenyum manis. Dia bahkan membuat kedua tangannya meraih punggung Aurum, memeluk gadis itu dengan santainya.
Jelas, hal tersebut membuat Raksa tidak bisa berkata - kata. Ia berharap, apa yang dia saksikan saat ini hanyalah halusinasinya.
***
。・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 S E E Y O U I N T H E N E X T C H A P T E R ! ! ! !
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚..