15. Persiapan Untuk Kedepannya

1676 Words
゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐ ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚  ┊ ⋆ ┊ . ┊         ゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆          ゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚. ゚☆ 。 H A P P Y R E A D I N G ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Sudah berapa gelas kopi yang aku minum malam ini? Sepertinya sekitar tiga gelas. Namun, mataku terus-terusan terasa memberat meski aku menahannya mati-matian. Aku menggeleng kuat. Aku tak mau mengantuk. Aku tak mau tidur pada jam segini. Pukul 00. 35. Setelah aku membantu ayah di kedai tadi, aku kembali ke rumah, membersihkan diriku dan tak lupa untuk melakukan sholat isya. Tulangku terasa remuk sekarang. Tugas sekolahku sudah aku kerjakan tadi. Untung saja tidak sebanyak hari-hari lalu. Kali ini tugas sekolahku hanya ada tugas mata pelajaran kimia. Agendaku hanya tinggal belajar untuk olimpiade dan menulis n****+. Aku tahu, fisikku akan melemah setelah ini tapi aku tidak peduli dengan itu. Yang aku pikirkan hanya aku harus bisa melewati semua. Aku memantapkan hatiku, memantapkan pikiranku. Kali ini aku akan belajar sejenak untuk mengejar beasiswa. Biarpun ibu tidak setuju aku kuliah, aku akan tetap berusaha semampuku. Mempersiapkan untuk beasiswa sembari membujuk ibu untuk memberikan restunya kepadaku. Meskipun aku harus berusaha sendiri, meskipun aku melakukan itu semua sendiri, aku tidak boleh lemah. Aku tidak boleh menyerah dengan keadaan. Hidup itu penuh perjuangan. Itu adalah kalimat yang menjadi smber motivasiku sampai sekarang. Jika bukan aku yang berjuang, maka siapa lagi? Jika aku tidak mencoba semua jalan, lalu jalan mana yang akan aku temui? Aku mengulas senyumku sebagai bentuk menyemangati diri sendiri. Aku mulai membuka handphone-ku, mencari nateri-materi UTBK. Sejujurnya aku ingin memiliki buku khusus ujian itu. Hanya saja, aku tak punya uang. Hanya handphone os lolipop saja yang aku andalkan. Aku mulai membaca materi di ponselku dengan cermat. Tidak lupa aku mencatat bagian-bagian pentingnya. Dalam jam seperti saat ini membuat aku mudah memahami yang aku baca. Aku lebih suka belajar pada jam segini. Atau jam pagi-pagi buta. Intinya, pada jam orang-orang terlelap dalam tidurnya. Srmentara aku adalah gadis yang terlelap dalam perjuanganku. Selesai. Aku pikir materi ujian itu cukup sampai sini. Jam analog di kamarku sudah menunjukkan pukul satu. Alhasil, ini sudah waktunya aku belajar untuk olimpiade. Aku meneguk kembali kopi di hadapanku. Meneguknya sampai habis. Tunggu. Aku memegangi keplaku sebelah kiri. Mengapa rasanya begitu berat? Sepertinya aku terlalu banyak mengonsumsi kafein malam ini. Aurum, ayolah lanjut belajar! Aku memejamkan mataku sesaat. Mengambil napas panjang lalu mengeluarkannya dengan pelan. Aku mulai mencoba membuka buku olimpiade yang Argentum berikan padaku. Sebisa mungkin aku harus fokus belajar olimpiade matematika ini. Setelah berkutik dengan angka, rumus, konsep, dan sebagainya selama satu jam. Kini aku beralih untuk urusan dunia kepenulisanku. Kemarin malam aku sudah menyusun dasar-dasar ceritanya dan tentu saja sudah dilengkapi dengan outline cerita. Oh, aku belajar itu dari internet. Tentang outline, point of view, writer's block, dan istilah kepenulisan yang lainnya. Aku tidak tahu mengapa saat aku menulis cerita, janungku terasa berdebar. Aku bahagia sekali saat mengungkapkan perasaan dan imajinasiku dengan diksi-diksi juga perpaduan dengan dialog tokoh yang membuat cerita lebih hidup. Aku sudah mulai menyusun ceritaku. Meski ini cerita pertama, tetapi aku akan berusaha sebaik mungkin. *** "Rum, lo lagi ngapain? Main hp terus dari tadi." Aku menoleh ke samping kananku. Cyuvi sudah kembali dari urusan eskul seni rupanya. "Eh? Emm ... gue lagi nyoba masuk ke dunia penulisan, Cyuv. Lagi bikin n****+. "Serius?!" Cyuvi terdengar tidak percaya dengan perkataanku. Memang, aku juga belum pernah menceritakan soal kesibukanku yang baru ini kepada sahabat-sahabatku. Aku pikir, aku akan memberitahukannya jika nanti aku sudah berhasil. "Iya. Bentar lagi kelas 3 part nih. Ntar lo baca, terus kasih kritik saran ke gue, ya?" pinta aku kepada Cyuvi. Setidaknta aku membuiarkan sahabarku sendiri sebagai pembaca pertama kali ceritaku. Cyuvi mengangguk setuju, seperti tidak ada keraguan di hidupnya. "Pasti." "Felice. Gendut? Cantik itu tidak melulu soal tampilan fisik." Aku menengok ke belakangku. Rupanya ada Jihan, Sulan, dan Ellyna yang sedang membaca ceritaku dari belakang. "Lo bikin n****+? Gila, ini temen gue keren banget!!" puji Ricky yang baru bergabung dengan kani. "Kok lo nggak ngomong, sih, Rum? Kenapa nggak ngomong sama kita?" Jihan ikut memanyunkan bibirnya seperti Ellyna barusan. "Iya, yah, El. Masa kita nggak dikasih tahu," protesnya. Aku terkekeh kecil mendengarakn sahabat-sahabatku itu. "Gue minta maaf, ya, sama kalian. Gue cuma mau ngomongin ke kaliannya kalo tulisan gue udah accepted. Ini kan masih nyusun dulu, nanti bikin sinopsis, terus ngajuin ke editor. Terus ntar tinggal diumumin lolos atau enggaknya," jelasku kepada mereka. "Harusnya lo bilang dari awal, biar kita semua bisa dukung lo, Aurum. Tapi nggak masalah sih, yang penting kalo lo ada kesulitan, bilang sama kita, ya? Kita nggak mau lihat lo berjuang sendiri, Rum," ujar Sulan yang diikuti anggukan dari yang lainnya. Aku tersenyum lebar, aku bersyukur sekali mempunyai sahabat-sahabat seperti mereka. Sahabat yang mau bersamaku di saat duka. Sahabat yang mau menemaniku. Hanya saja, aku tak pernah menceritakan tentang ibu, tentang kehidupan keluargaku. Aku hanya memberitahukan kepada mereka jika aku mempunyai kedai bakso. Aku tidak ingin menjadi beban mereka. Aku yakin, nereka juga punya masalah mereka masing-masing. "Ya udah, kita ke kantin aja, kuy! Gue laper banget," ajak Ellyna begitu antusias. Tunggu. Tapi waktu istirahatku kali ini, akan aku gunakan untuk persiapan olimpiade bersama Bu Ifah. "Maaf, gue ada urusan sama Bu Ifah soal olimpiade besok. Kalian ke kantin aja dulu, ya." "Okay. Ntar gur brliin jajan deh. Semangat ya, Aurum!" ujar Cyuvi sebelum dia melangkah pergi. Aku hanya tersenyum sembari mengangguk pelan. Hati aku menjadi tenang sata ini. Tidak apa jika aku berjuang seorsntg diri, nyatanya aku memiliki banyak sayap yang membuat aku terus memperjuangkan apa yang aku mau. Aku mengambil buku-buku persiapan olimpiade matematikaku dan bergegas menemui Bu Ifah di kantor guru. *** "Aurum kamu sudah kerjain semua latihan soal yang ibu kasih?" Aku mengangguk semangat, lalu menyodorkan lembaran soal matematika yang sudah aku isi jawabannya. "Sudah, Bu. Ini jawabannya." "Baik, Ibu cek dulu sebentar, ya? Kamu lanjut kerjain soal yang lain dulu." Aku duduk di depan Bu Ifah. Mengambil soal yang disodorkan oleh Bu Ifah. Aku mulai mengerjakan soal itu dengan teliti. Terlebih suasana hatiku sedang baik. Aku pasti bisa mngerjakan semua soal ini dengan lancar dan lebih cepat. "Aurum, hebat sekali kamu bisa mengerjakan semua soal dan jawabnnya benar! Ini berarti kamu siap, 'kan untuk olimpiade besok?" tanya Bu Ifah begitu senang. Aku suka sekali melihat orang-orang tersenyum. Seperti Bu Ifah saat ini. "Itu juga karena Bu Ifah yang ngajarin. Aurum siap buat besok, Bu," jawabku meyakinkan. "Kamu semangat sekali, Aurum. Apa motivasi kamu sampai bersemangat seperti ini? Nilai pelajaran kamu yabg lainnya juga bagus-bagus." Aku terdiam sejenak. Aku meletakan bolpoin yang tadi di tanganku ke atas meja karena soal matematika yang Bu Ifah berikan sudah aku kerjakan semua. "Motivasi, Bu? Aurum tidak yakin jika Aurum punya." Aku memberi jeda sebentar untuk memikirkan lagi apa motivasiku sampai begitu semangat untuk olimpiade dan semangat untuk memperoleh nilai yang tinggi. "Ibu Aurum yang selama ini menjadi motivasi terbesar. Aurum cuma ingin ibu Aurum bangga sama Aurum. Aurum cuma pengin buat dia tersenyum. Aurum pengin dia bahagia mempunyai anak seperti Aurum." Bu Ifah mengusap pelan puncak kepalaku. "Ibu kamu pasti bahagia punya putri seperti kamu, Aurum." Aku tersenyum kepada Bu Ifah. Aku harap juga seperti itu. Aku harap kedepannya, cara untuk membuat ibu bahagia mempunyai aku itu mudah. Meskipun selama ini, aku bahkan belum pernah melihat ibu tersenyum kepadaku. "Ini sudah selesai? Kalo sudah kamu boleh kembali ke kelas. Jangan lupa istirahat ingat, kesehatan itu lebih penting, Aurum." Aku beranjak dari kursi yang tadi aku duduki. "Baik, Bu Ifah. Kalau seperti itu, Aurum ke kelas dulu, Bu. Terima kasih banyak." Aku menunduk sopan kepada Bu Ifah lalu melangkah pergi keluar dari kantor guru. *** 。・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐ ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚  ┊ ⋆ ┊ . ┊         ゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆          ゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚. ゚☆ 。 S E E Y O U I N T H E N E X T C H A P T E R ! ! ! ! ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD