Pantai Glagah, Kulonprogo
Seperti layaknya pasangan muda-mudi lainnya, kali ini Zaky memperlakukan Keinara layaknya seorang kekasih yang sesungguhnya. Sesampainya di pantai, Zaky segera membukakan pintu mobil dan menyambut Keinara dengan mengulurkan tangannya. Keduanya berjalan pelan seraya bergandengan tangan dengan hangat hingga tiba di bibir pantai.
"Beb!" panggil Zaky, seraya menoleh ke arah Keinara yang berdiri di sisinya.
"Iya, beb." Keinara juga menoleh ke arah Zaky, dengan senyum manis yang keluar dari bibirnya.
"Kamu senang nggak aku ajak kesini?" tanyanya dengan mata berbinar, berharap sang kekasih akan menjawab sesuai dengan keinginannya.
"Ya senang dong. Seneng banget malah! Makasih ya, sudah mau ajak aku jalan-jalan sampai sini." jawab Keinara dari hati.
"Sama-sama. Syukur kalau kamu senang. Nggak sia-sia kan jalan jauh sampai ke tempat ini, hehehe." timpal Zaky semakin erat menggenggam jemari Keinara.
Keduanya mulai berjalan menyusuri tepian pantai, bergandengan tangan erat seakan tak ingin terlepaskan satu detik saja. Berbincang sambil terus berjalan menikmati deburan-deburan ombak kecil yang datang menyapu kaki keduanya.
Ini adalah kali pertamanya Zaky dan Keinara jalan berdua. Terlihat sekali semburat bahagia di wajah keduanya, menikmati kebersamaan yang selama ini mereka nanti-nantikan.
Setelah sekian jauh menyusuri bibir pantai, Zaky dan Keinara sedikit berjalan menjauh dari tepian pantai, mencari pasir kering untuk sekedar duduk mengistirahatkan kaki yang ternyata sudah agak lelah karena berjalan yang cukup jauh.
"Beb, tahu nggak, Papa aku pengen banget lho ketemu sama kamu. Nanti kalau Papa aku ke Jogja lagi, mau ya ketemuan?" seloroh Zaky tiba-tiba membahas Papanya, menoleh ke arah Keinara.
Keinara sedikit kegat. Kedua alisnya naik bersamaan. "Ketemuan?" serunya, lalu menoleh juga ke arah Zaky. "Emmmm, malu ah beb. Nggak ah!" tolaknya.
"Malu kenapa? Papa aku itu orangnya baik banget. Kamu belum pernah ketemu kan? Coba deh besok ya?" desak Zaky.
"Emmmm! Aduh, gimana ya?" Keinara berfikir sejenak, bimbang dengan keputusan yang akan diambil.
"Mau! ya ya ya?" Zaky terus mendesak.
"Emmm, iya deh, mau, beb." jawab Keinara seraya meyakinkan dirinya sendiri.
Zaky tersenyum puas. "Nah gitu dong. Kan itung-itung pendekatan sama calon mertua juga, hehehe." ledeknya.
"Tapi beneran kan, Papa kamu itu orangnya baik? Hehehe." Keinara ingin memastikan.
"Ya ampun beb, kamu nggak percayaan banget sih! Papa aku itu orang paling baik sedunia. Orang yang nggak pernah bisa marah sama aku. Orang yang selalu menuruti apa kemauanku. Tenang aja, semua akan berjalan lancar. Aku juga nggak tahu sih, kenapa tiba-tiba Papa pengen banget bisa ketemu langsung sama kamu. Tapi yang jelas, Papa bilang sama aku. Boleh pacaran asalkan nggak ganggu fokus kuliahnya." ujar Zaky.
"Mungkin, Papa kamu juga tahu, aku adalah anak yang baik, hahahaha!" seloroh Keinara dengan gelak tawa.
Zakypun tak bisa menyembunyikan tawanya juga. Dia ikut tertawa melihat Keinara bisa tertawa lepas seperti itu.
Keduanya makin larut dengan suasana pantai yang kebetulan kala itu nampak sepi. Suara gemuruh ombak yang terdengar jelas menggaung karena tidak begitu banyak riuh pengunjung yang mendatangi pantai. Zaky melepaskan pegangan tangannya, beralih meraih pundak Keinara dari belakang. Membuat Keinara dengan reflek menjatuhkan pelan-pelan kepalanya ke pundak Zaky.
Zaky mengecup dengan lembut rambut Keinara yang masih wangi dengan aroma sampo yang begitu menyengat. Harum, membuatnya begitu larut menikmatinya.
Perlahan tangan kanan Zaky menyentuh dagu Keinara, menariknya pelan hingga kedua wajah saling beradu kembali. Terlihat dengan jelas, tatapan kedua anak manusia yang tengah dimabuk cinta tersebut.
"Beb, I love you!" ucap Zaky dengan hati.
"I love you too!" jawab Keinara cepat. Kali ini Keinara sudah tidak malu-malu lagi membalas pernyataan cinta Zaky.
Keduanya makin larut dengan suasana. Membuat mereka lupa bahwa waktu kian menjelang sore.
Zaky terus mendekatkan wajahnya ke arah Keinara. Dan dengan tanpa ragu, Keinara menerima segala perlakuan dari Zaky. Bibir keduanya beradu kembali, namun kali ini berbeda, tidak seperti saat di mobil tadi. Ciuman yang sedikit liar, membuat deru jantung keduanya terpacu dengan sangat cepat.
Tangan Zaky mulai bergerak kemana-mana, tidak terkendali, dan Keinara hanya bisa pasrah menerimanya. Ada sedikit lenguhan lirih yang keluar dari bibir Keinara. Zakypun makin beringas, makin berani menyentuh area-area sensitif milik Keinara. Kali ini keduanya terlihat begitu semakin liar, bukan lagi dengan cinta, namun lebih kepada nafsu.
Hampir saja tangan Zaky berhasil menyusup ke dalam kaos yang di pakai oleh Keinara. Beruntungnya, Keinara masih sadar dan berhasil menepis tangan Zaky, tidak membiarkannya masuk sesuka hati.
Keinara menarik bibirnya. "Ky, jangan!" ucapnya dengan suara berat.
Zaky diam tak perduli. Ia terus berusaha mencari celah supaya tetap bisa masuk. Namun lagi-lagi usahanya gagal karena tiba-tiba dering ponsel Keinara terdengar begitu menggelegar.
Keinara mendorong tubuh Zaky dengan lumayan kasar. Kemudian segera mencari sumber suara tersebut.
Keinara segera mengambil ponselnya yang ada di dalam tasnya.
"Bunda?" seru Keinara lirih. Lalu menatap Zaky dengan panik.
"Gimana dong? Angkat nggak?" tanyanya pada Zaky, meminta pertimbangan.
Zaky mengangguk. "Angkat aja nggak apa-apa. Dari pada Bunda khawatir." sarannya.
Keinarapun mengangguk. Ia mulai mengusap layar ponselnya.
"Assalamualaikum, Bun." jawabnya pelan.
"Waalaikumsalam, Kei! Kamu dimana Kei? Kok belum pulang?" cecar sang Bunda di seberang sana.
"Emm, hehe, maaf Bunda. Tadi Kei buru-buru jadi nggak sempat kasih tahu dulu ke Bunda. Ini Kei lagi jalan-jalan sama teman-teman, lagi di pantai ini, di daerah Kulonprogo. Hehe, maaf ya Bun udah bikin khawatir."
"Ya ampun, Kei. Kamu ini ya! Bunda itu khawatir dari tadi telfon nggak di angkat. Pesan-pesan Bunda juga nggak ada yang di balas. Coba kamu lihat itu berapa kali Bunda telepon ke nomer kamu! Ini Bunda udah di rumah sakit lagi soalnya." cerocos Sita tak terkendali.
"Hehehe maaf ya Bunda."
"Ya udah kamu hati-hati ya. Pulangnya jangan malam-malam. Maghrib udah harus sampai di rumah!"
"I-iya Bunda. Siap laksanakan, hehehe."
"OK! Bunda jagain Kakek dulu ya, paling sampai rumah nanti sekitar jam sembilanan. Soalnya Pakde ada lembur jadi pulangnya agak telat. Kamu juga jangan lupa makan ya sayang. Sudah ya, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Bun."
Keinara kembali menyimpan ponselnya le dalam tas.
"Bunda marah ya?" sambar Zaky yang juga terlihat menunjukkan wajah khawatir.
Keinara tak langsung menjawab, ia malah diam seraya menatap Zaky dengan wajah yang sulit untuk di gambarkan.
Zaky memegang bahu Keinara, menggoyangnya ringan. "Beb, kok diam sih. Bunda marah ya?" tanya Zaky yang makin panik.
Kali ini tatapan Keinara berubah menjdi sendu, masih enggan bicara.
"Tuh kan, Bunda marah ya? Ya ampun, maaf ya beb. Ini semua gara-gara aku. Coba kalau aku nggak ngajak kamu main kesini pasti nggak akan kaya gini ceritanya. Aduh, maaf ya beb." tutur Zaky penuh penyesalan. "Nanti aku sampai rumah bakalan jelasin ke Bunda deh, aku bakal tanggung jawab. Aku nggak akan biarin kamu sendiri yang dimarahin sama Bunda. Aku nggak apa-apa ikut dimarahin sama Bunda juga." tutur Zaky yang sudah dilanda panik juga cemas.
Keinara masih diam, dan tiba-tiba_
"Hahahahaha! Hahahaha!" tawanya pecah, membuat Zaky berubah terheran.
"Ya ampun beb, sumpah perut aku sakit lihat wajah kamu yang kaya gini. Hahahaha!" Keinara masih terus tertawa. "Lucu banget tahu, beb. Hahaha!" Keinara terus menggaungkan tawanya.
"Kok malah ketawa sih, beb! Ada yang salah?" Zaky masih belum paham juga.
"Hehehe! Bebebku sayang, kamu nggak usah khawatir gitu ih. Bunda itu nggak apa-apa, nggak ada yang marah-marah juga. Cuma tadi khawatir aja, soalnya telepon sama pesan-pesan Bunda nggak ada yang aku balas. Tadi cuma mastiin kalau aku, anak kesayangannya ini dalam keadaan baik-baik saja. Begitu beb! Kayanya sih semua aman terkendali." terang Keinara.
"Ihhh! Kamu ini ya! Paling bisa bikin orang panik!" sahut Zaky seraya mencubit kecil pipi Keinara.
"Maaf beb! Sekali-kali lah ngerjain kamu ya, hehehe!" Keinara masih melanjutkan tawanya.
Keduanyapun tertawa bersamaan, suasana kembali pecah. Zaky meraih jemari Keinara, mengecupnya lagi, lalu menatap lekat mata Keinara.
Pandangan keduanya saling beradu kembali, membuat desir di dalam d**a muncul kembali.
Tanpa ragu, Zaky meraih wajah Keinara, lagi. Memagutnya dengan penuh nafsu. Begitu juga dengan Keinara yang juga merasakan hal yang sama. Kini lebih berani membalas setiap perlakuan yang diberikan oleh Zaky.
Zaky sedikit mendorong tubuh Keinara hingga jatuh ke atas pasir, melanjutkan saling bertukar saliva hingga hampir saja terlena.
Zaky yang hampir saja melanjutkan aksinya, tiba-tiba menarik bibirnya, memandang Keinara lekat-lekat.
"Beb, aku minta maaf ya, kalau udah keterlaluan. Emmm, kebawa suasana sih." ujar Zaky tiba-tiba.
Keinara tersenyum. "Nggak apa-apa, beb. Asal nggak kebablasan aja sih. Asal kita masih bisa kontrol aja."
"Iya, beb. Maaf banget ya."
Keinara mengangguk pelan, Zaky kembali mengecup kening Keinara dengan mesra. Setelah itu ia ikut merebahkan tubuhnya di samping Keinara, menatap langit yang hampir menampakkan gelapnya.
***
Sementara di rumah sakit, perasaan Sita sebenarnya masih saja tidak tenang. Sita masih kepikiran dengan keberadaan Keinara. Walaupun Keinara sudah menjelaskan dimana keberadaannya, hatinya masih saja mengganjal.
"Kalau soal di pantai sih kayanya Kei nggak bohong. Tadi aku juga mendengar dengan jelas ada suara ombak. Tapi apa benar dia ke pantai rame-rame sama teman-temannya? Atau_?"
Pikiran Sita terpecah, menduga-duga yang tidak-tidak. Prayoga terlihat sedang tidur siang karena efek obat yang dia minum. Sita mencari celah untuk bisa keluar dari kamar. Duduk di ruang tunggu depan ruangan pasien. Setidaknya untuk menenangkan pikirannya.
Buru-buru Sita menepis pikirannya sendiri. Ia harus percaya pada putrinya sendiri. Selama ini Keinara tak pernah ketahuan berbohong sedikitpun kepadanya.
"Astaghfirullah! Kenapa aku malah jadi mikir yang nggak-nggak gini sih! Kenapa malah jadi ragu dengan apa yang disampaikan oleh anakku sendiri. Ya Tuhan Sita!" rancaunya sendiri.
"Maafkan Bunda, Kei. Maafkan sudah berprasangka buruk kepadamu, nak!" batinnya penuh sesak.