Sembilan Belas

1511 Words
Menjelang waktu maghrib, Zaky dan Keinara memutuskan untuk pulang. Keinara tidak ingin mengingkari janjinya pada sang Bunda. Hari ini benar-benar hari yang menyenangkan untuk Zaky dan Keinara. Mereka berdua bisa menikmati waktu dengan tanpa adanya kepura-puraan. Mereka bisa melepaskan rasa yang selama ini sering mereka tahan karena menjada perasaan orang-orang di sekelilingnya. "Mau mampir nyari makan dulu nggak, beb?" tanya Zaky do pertengahan jalan. "Emm, kayanya nggak usah deh. Kita langsung ke kampus aja buat ambil motor aku, ya?" sahut Keinara. "Kamu yakin nggak lapar?" "Masalah makan mah gampang, beb. Yang penting aku sampai rumah aja dulu sebelum maghrib. Biar nanti kalau Bunda tiba-tiba telepon kan aku udah ada di rumah. Biar Bunda nggak curiga." terang Keinara. "Ya udah deh kalau gitu. Tapi nanti sampai rumah kamu langsung makan lho ya. Aku nggak mau kamu sakit gara-gara seharian pergi sama aku tapi nggak aku kasih makan. Bikin mencoreng muka laki-laki itu mah namanya, hehehe." "Iya tenang aja, bebeb. Nanti aku sampai rumah langsung makan." "OK, bagus! Ngomong-ngomong, lain waktu, kita mau jalan-jalan kemana lagi, beb?" tanya Zaky bersemangat. "Hemmm, kemana ya? Ke pantai lagi kali ya, beb. Tapi pantai yang jauh dari jangkauan anak-anak juga kali ya. Biar tetap aman dan terkendali, hehehe." tutur Keinara dengan antusias. "Emmm, gimana kalau ke Gunungkidul aja. Itu kayanya jauh dari jangkauan anak-anak dan pastinya Bunda juga." "Gunungkidul? Hemm, boleh juga tuh beb. Tapi besok alasan apa lagi sama Bunda ya?" Keinara berfikir sejenak. "Itu kita pikirkan nanti aja, masih banyak waktu untuk mencari alasan yang tepat nantinya. Masalah utamanya, kita bisa nggak misah dulu dari anak-anak?" timpal Zaky. Keinara menepuk keningnya. "Eh, iya ya, beb. Yang utama itu kan emang kita harus lepas dari anak-anak. Nggak mungkin kan kita pergi terus mereka tahu?" "Nah itu dia." sambar Zaky. "Hadeuh, nasib, nasib! Gini amat yak!" gerutu Keinara seraya membuang nafasnya melalui mulutnya. Zaky hanya tersenyum. Hari makin gelap, Zaky semakin melajukan mobil dengan menambah kecepatan supaya segera tiba di pusat kota. Tak lupa ia harus mampir terlebih dahulu ke kampus kembali untuk mengambil sepeda motor Keinara yang masih ia tinggalkan disana. Seperti biasa, Zaky akan mengawal Keinara dari belakang hingga sampai rumah, memastikan sang belahan jiwa sampai dengan selamat. Keinara berhenti tepat di depan garasi. Masih dalam posisi naik di atas jok sepeda motornya. Ia kemudian menoleh ke belakang dengan membuka kaca helmnya. "Bye, beb!" seru Zaky seraya melambaikan tangan dari dalam mobilnya. "Jangan lupa mandi sama makan ya, terus istirahat!" imbuhnya. "Siap, beb!" sahut Keinara, kemudian membalas lambaian tangan Zaky. Zaky melemparkan senyuman, tanda perpisahan. Perlahan ia tutup kaca mobilnya, kemudian memacu mobilnya kembali, melanjutkan perjalanan pulangnya ke kontrakan. *** Seorang perawat masuk ke dalam ruangan, membawa sebuah nampan yang berisi makan malam untuk Prayoga. "Selamat malam, Bapak. Gimana sudah lebih enakan badannya, Pak?" tanyanya ramah, seraya meletakkan nampan berisi makan malam ke atas meja. "Alhamdulillah, sudah lebih baik dari kemarin, sus." jawab Prayoga. "Syukur, Pak. Sekarang waktunya makan malam ya, Pak. Jangan lupa dihabiskan, biar badannya makin kuat, dan juga setelah itu minum obatnya juga ya, Pak!" tutur si perawat Dengan semangat. "Iya, sus." "Baik, kalau begitu, saya permisi dulu ya, Pak. Selamat menikmati makan malamnya. Permisi." "Iya. Makasih, ya sus." ucap Sita. Sita beranjak dari sofa, mengambil makanan yang ada di dalam wadah. "Pak, makan dulu ya, Sita suapin." ucap Sita seraya membuka plastik pembungkus yang ditutupkan di atas wadah menu makan malamnya. Prayoga tak menjawab, hanya anggukan pelan yang ia tunjukan. Sita tersenyum kecil, melihat sang Ayah yang sudah bisa merespon ucapannya dengan sebuah tindakan. Karena kemarin-kemarin, jangankan ucapan atau tindakan, bahkan Prayoga hanya diam ketika Sita mengajaknya berbicara. Prayoga menikmati suapan demi suapan makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Tak perlu menunggu lama, dalam hitungan menit makanan sudah habis tak tersisa. "Bapak lapar ya? Ini udah langsung habis makannnya, hehe." ucap Sita, mengajaknya bergurau. Tiba-tiba saja terlihat dari bibir sang Ayah. Ada untaian senyum yang jelas terlihat disana. Sepertinya sang Ayah nampak malu-malu. "Iya, Ta." Sontak membuat hati Sita seperti runtuh seketika. Baru kali ini ia melihat sang Ayah menunjukkan respon yang baik atas pertanyaannya. Ada haru di dalam hati Sita. Ia seperti tidak percaya sang Ayah tidak menunjukkan sikap dingin atau kaku seperti biasanya. Sita tersenyum, dengan menahan buih-buih kaca di matanya. Karena dengan mengedipkannya sekali saja, pecah sudah air matanya. "Ya Allah, Bapak sudah mau merespon pertanyaanku. Apa ini benar? Apa aku sedang tidak bermimpi?" batinnya bergemuruh. "Ta, ambilkan minum! Bapak haus." tiba-tiba keluar lagi ucapan dari sang Ayah yang membuat Sita semakin ternganga seakan tidak percaya. "Ya ampun, Pak. Maaf Sita lupa. Abis makan bukannya diambilin minum, malah di ajak ngobrol ya, Pak." ujar Sita, lalu memutar tubuhnya untuk mengambil botol air minum di atas meja. Perlahan, Sita membantu sang Ayah untuk minum dengan sedotan. Ada rasa haru yang Sita rasakan. Setelah bertahun-tahun lamanya dia tidak pernah bisa dekat dengan sang Ayah, kali ini Sita bisa merasakan kedekatan itu. "Pelan-pelan, Pak, minumnya." ucap Sita sambil ikut memegangi botol minuman yang di pegang oleh Prayoga. Suasana hening seketika, Sita seperti bingung ingin memulai pembicaraannya dari mana. Prayoga juga sepertinya enggan untuk memulai pembicaraan. "Assalamualaikum!" ucap seseorang dari luar seraya membuka pintu ruangan. Yudha sudah datang. "Waalaikumsalam." sahut Sita seraya menoleh ke belakang. "Lhoh, Mas, kok udah pulang? Katanya pulang jam sembilanan." tanya Sita. "Iya, tadi kebetulan kerjaannya selesai cepat. Jadi ya aku langsung aja ke sini." jawab Yudha seraya berjalan mendekati Sita yang duduk di pinggir ranjang. "Bapak udah makan malam belum?" "Sudah, Mas. Barusan selesai, belum ada lima menit." timpal Sita. "Syukur lah. Terus gimana? Badannya udah enakan belum? Atau masih ada keluhan-keluhan lainnya, pak? Biar nanti Yudha sampaikan pada dokter." "Sudah, Yud. Cuma masih lesu saja rasanya. Ini jadinya kapan kita pulang?" ujar Prayoga. "Sebentar lagi ada dokter datang. Coba nanti Yudha tanya ya, bisa pulang pastinya kapan. Mudah-mudahan besok pagi udah boleh pulang." tutur Yudha. "Pulang sekarang aja ya. Bapak udah nggak betah disini. Makan, tidur, makan, tidur terus. Nggak enak." timpal Prayoga. Yudha mengulas senyum mendengar penuturan sang Ayah. "Ya kan lagi sakit, Pak. Makanya cuma boleh tiduran sama makan. Kalau lagi sehat, mau bajak sawah juga nggak apa-apa, hehehe." ledek Yudha yang membuat seisi ruangan tertawa. Di saat riuh tawa ketiganya pecah, pintu ruangan terbuka kembali. "Selamat malam." sapa seseorang dari balik pintu. Dia adalah dokter Vira. "Malam dok." balas Sita seraya berdiri, memberikan ruang untuk sang dokter yang akan memeriksa sang Ayah. "Wah, kelihatannya lagi pada bahagia ini ya, ketawanya sampai kedengaran dari luar." ujar dokter Vira. "Masak sih, dok?" sahut Yudha. "Iya, Mas. Aku pikir ada apa, ternyata suara dari ruangan ini." timpal dokter Vira. Melihat Yudha dan sang dokter seperti sudah dekat, membuat Sita sedikit berfikir lebih keras. Banyak pertanyaan dalam hatinya. "Permisi, Pak. Diperiksa dulu ya." ucap dokter Vira. Yudha dan Sita terlihat diam, ikut fokus melihat dokter yang sedang memeriksa kesehatan sang Ayah. "Bagus ya, Pak. Detak jantung sudah normal, tekanan darah juga sudah stabil. Alhamdulillah semuanya sudah normal. Besok pagi sudah bisa pulang." "Alhamdulillah." ucap Yudha dan Sita bersamaan. "Bu dokter, kalau pulang sekarang bisa tidak?" tanya Prayoga tiba-tiba. Sepertinya dia memang sudah tidak sabar ingin segera pulang. "Sekarang, pak? Bisa sih, tapi kan ini sudah malam. Apa tidak sebaiknya nunggu besok pagi saja, biar enak siap-siapnya." "Nggak lah bu dokter, saya sudah ndak betah tidur disini. Pengen tidur di rumah saja malam ini." timpal Prayoga dengan semangat. "Pak, besok aja sih pulangnya. Ini udah malam, benar apa kata bu dokter tadi." sahut Sita yang sependapat dengan sang dokter. "Iya pak, besok sekalian aja lah ya!" tambah Yudha. "Bapak pengen pulang sekarang saja. Ya? Kasihan Ibu kalian di rumah pasti kesepian, tidur sendirian. Lagian ini Bapak juga sudah kuat jalan sendiri kok. Pokoknya Bapak mau pulang sekarang saja." tutur Prayoga yang kukuh ingin segera pulang. Yudha dan Sita saling menatap. "Emm, Vir, ini beneran kalau dibawa pulang malam ini juga sudah aman? Nggak bahaya buat kesehatan Bapak saya?" tanya Yudha pada sang dokter, untum memastikan kondisi sang Ayah. "Sudah, Mas. Kalau maksa mau pulang sekarang juga nggak apa-apa. Tinggal urus administrasinya aja." jawab sang dokter. "Vir? Mas? Ini mereka berdua udah saling kenal apa ya? Aku perhatikan dari gelagatnya kok seperti udah dekat aja." batin Sita yang semakin penasaran. Ada hubungan apa sang kakak dengan sang dokter. "Ya sudah kalau gitu, aku urus administrasinya malam ini juga." timpal Yudha. Vira mengangguk seraya tersenyum."Ya sudah, kalau gitu saya tinggal dulu ya, Pak Prayoga selamat kembali ke rumah, hati-hati di jalan dan tetap jaga kesehatannya ya, Pak. Jangan lupa perasaannya di bawa senang terus. Berfikir selalu dengan yang hal-hal yang positif aja. Biar terbawa perasaannya. Begitu, Pak sekiranya ya, pak." "Iya bu dokter." ujar Prayoga. "Saya permisi. Selamat malam." pamit dokter Vira lalu berjalan menuju pintu keluar. "Terimakasih bu dokter, selamat malam juga." "Eemm, Pak, Sita, aku urus administrasi dulu ya. Kamu siap-siap aja, beresin barang-barang yang mah dibawa pulang." tuturnya pada Sita. "Iya, Mas!" jawab Sita sekenanya. Yudha segera keluar dengan sedikit terburu-buru. Sepertinya dia ingin mengejar Vira. "Vir, Vira!" panggilnya pada Vira yang sudah berjarak sekitar sepuluh meteran di depan Yudha. Vira berhenti lalu menoleh ke belakang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD