Sambil menunggu waktu jam masuk kelas, Keinara sedang duduk di sebuah bangku di taman kampus. Zaky yang baru saja datang dan melihat dari jauhpun segera berjalan mendekati Keinara. Zaky sahabat sekaligus laki-laki yang sudah dua bulan ini diam-diam berstatus menjadi kekasih Keinara.
"Hai!" sapanya dari arah belakang. "Kok pagi-pagi udah kusut gitu mukanya? Kenapa? Abis diomelin sama bunda ya? Atau abis diomelin sama Pakdhe Yudha?" todong Zaky, lalu duduk di sebelah Keinara, memasang wajah penasaran, siap mendengarkan segala celotehan Keinara.
Keinara menoleh, "lagi bete aja! Kemarin abis berkunjung ke tempat Kakek Nenek, tapi sikapnya masih sama! Dingin, ketus, nggak perduli gitu! Ada ya, orang yang sampai bertahun-tahun gitu memendam rasa sakitnya, sama anak sendiri pula." seloroh Keinara.
Zaky sedikit mengangkat kedua alisnya. "Hemmmm, mungkin kakek kamu masih butuh waktu. Kamu berdoa aja setiap hari, semoga hatinya segera luluh, melunak. Jadi, bisa menerima kamu sama Bunda dengan hatinya yang lapang. Melupakan semua yang udah pernah terjadi di masa lalu Bunda." tutur Zaky memberikan semangat pada Keinara.
Keinara melepaskan nafas berat yabg tertahan di dadanya. "Aku sampai bosan, berdoa terus sama Tuhan. Tapi sampai sekarang doa-doaku nggak ada yang di kabulin satupun. Hufff!" keluhnya.
"Eeettss! Nggak boleh bilang gitu, Kei! Pamali! Bukannya nggak dikabulkan sama Tuhan, cuma memang belum saatnya aja. Makanya kamu harus terus kencengin doa kamu, jangan sampai putus. Kelak janji Tuhan itu pasti datang." ucap Zaky yakin.
Keinara terdiam, masih dengan wajah kusutnya.
"Ini semua gara-gara laki-laki itu!" celetuk Keinara.
Zaky menatap Keinara. "Laki-laki itu? Siapa?" sahut Zaky.
"Ya laki-laki yang udah ninggalin Bunda lah. Laki-laki yang nggak bertanggung jawab! Laki-laki yang nggak punya otak! Laki-laki yang cuma mau enaknya aja! Awas aja kalau sampai suatu saat aku ketemu sama dia, bakalan aku kasih pelajaran yang sangat berharga buat dia!" seru Keinara, menabuh genderang perang pada Ayahnya sendiri.
Zaky menghela nafasnya. "Hemmm, kamu nggak boleh ngomong kaya gitu, Kei. Laki-laki itu tetaplah a... "
"Tetap apa? Ayah? Seorang Ayah nggak akan kaya gitu kelakuannya! Seorang Ayah nggak akan biarin wanita yang dicintainya menanggung sendirian kesalahan yang udah mereka buat bersama! Dia seorang pengecut! Kalau dia kesatria, pasti saat ini dia ada sama aku dan juga Bunda. Tapi kenyataannya, kita nggak ada yang tahu dia saat ini ada dimana. Bahkan masih hidup atau nggak, kita nggak ada yang tahu, Ky!" tutur Keinara emosional.
Zaky, memilih diam. Sementara Keinara makin tersulut emosinya. Ya, selama ini dia selalu menyalahkan semuanya pada Ayahnya. Seandainya dulu sang Ayah mau bertanggung jawab atas kesalahan yang dia buat dengan bundanya, tentu keadaannya tidak akan seperti saat ini. Tentu, Kakeknya tidak akan memperlakukan bundanya dan juga dia seperti ini.
"Gara-gara laki-laki itu juga kan, sekarang kita jadi main umpet-umpetan kaya maling. Bahkan umpet-umpetan dari teman-teman kita sendiri! Nggak enak banget tahu, beb, kaya gini terus. Capek aku tuh!" lanjut Keinara meluapkan segala kekesalannya.
"Iya, aku juga paham, beb. Tapi gimana lagi. sekarang ini, kita nyari aman aja dulu ya. Biar semuanya adem dulu, baru nanti kita jujur ke semua orang, kalau kita ini ada hubungan. Sabar ya!" terang Zaky, mencoba untuk menenangkan Keinara.
"Iya gimana lagi. Emang yang bisa kita lakukan sekarang ya hanya itu!" timpal Keinara, lalu berdiri. "Udah yok, masuk kelas. Tar yang ada pada curiga lagi, kita duduk berduaan lama disini. Kelar dah rahasia kita!" ucap Keinara, kemudian berjalan lebih dulu.
Zaky hanya bisa menjadi pendengar setia untuk Keinara. Ia juga memilih bangkit dan berjalan di belakang Keinara.
***
Pagi ini, sebelum Yudha berangkat ke kantor ia sempatkan mampir ke rumah adiknya terlebih dahulu. Seperti biasa, setiap bulan, ada saja sesuatu yang ia berikan pada adik dan keponakannya itu. Semua itu tidak lepas dari rasa tanggung jawabnya sebagai seorang Kakak. Rasa perduli dan empati yang besar membuatnya melakukan semua itu tanpa pamrih sedikitpun.
"Mas, udah lah nggak usah kasih-kasih aku uang lagi. Aku masih bisa kok makan dari hasil jualan. Uangnya disimpan aja buat bekal Mas Yudha nanti, buat tabungan nikah." tolak Sita, halus, seraya memandangi layar ponselnya, melihat sebuah struk transfer yang Yudha kirimkan. Setiap bulan, Yudha memang selalu rutin memberikan uang untuk membantu perekonomian Sita.
Sita merasa selama ini sudah menjadi beban Kakaknya sendiri. Hampir dua puluh tahun juga, sang Kakak selalu memberikan apapun yang Sita dan Keinara butuhkan, tentu saja secara suka rela.
"Cuma sedikit, Ta! Lagian sekarang ini Keinara juga butuh biaya yang jauh lebih besar kan? Butuh buat beli buku, buat penelitian, ngerjain tugas yang bejibun banyaknya. Kita dulu juga pernah kan merasakan kuliah? Jadi pasti paham, banyak biaya yang harus dikeluarkan selain bayar y
uang semesteran. Kalau mau buat nikah, siapa juga yang mau nikah sama aku? Nggak ada yang mau juga kali, Ta! Hehehe." timpal Yudha dengan gelak tawa. Ia menyeret sebuah kursi plastik di hadapan meja kasir, duduk di seberang Sita.
"Ya kan mas Yudha sendiri yang nggak mau nyari! Coba siapa yang bakalan nolak sama laki-laki yang udah mapan kerjaannya, PNS pula, ganteng, baik hati kaya gini! Ayolah mas, harapan Bapak sama Ibu itu sekarang ya cuma sama Mas Yudha. Kasihan mereka, makin lama udah makin tua. Pasti pengen banget melihat anak laki-lakinya naik pelaminan, bahagia melihat anaknya udah ada yang ngerawat, punya cucu lagi. Hidup Bapak sama Ibu bakalan jauh lebih tenang lagi, mas!" celoteh Sita.
"Heemmmm! Ta, emang masih ada ya, perempuan yang mau sama laki-laki yang usianya udah hampir kepala empat gini? Udah tuirrr aku ini, Ta!" lalu mengacak rambutnya. "Nih coba lihat, udah banyak uban di rambutku! Udah aki-aki! Hahahaha!" Yudha tertawa berbahak-bahak. Lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri.
Semasa kuliah dulu, Yudha pernah memendam rasa pada adik tingkatnya, namun sayang, perasaannya justru bertepuk sebelah tangan. Gadis incarannya memilih untuk menerima cinta dari laki-laki lain. Semenjak itu, Yudha lebih memilih fokus untuk menyelesaikan pendidikannya.
"Ya ada lah! Cewek-cewek model sekarang itu nggak bakalan lihat ke usia kali, mas. Kakek-kakek aja di embat sama mereka asal ada duitnya kok!" timpal Sita.
"Terus maksud kamu, Mas di suruh nikah sama perempuan yang cuma lihat mas dari segi finansial aja? Bukan karena cinta sama mas, gitu?"
"Hehehe, ya kan siapa tahu, lama-lama jadi cinta beneran kan! Tahu kan pepatah, witing tresno jalaran seko kulino! (Tumbuhnya cinta karena terbiasa)!"
"Dua ribu dua puluh dua udah nggak ada pepatah itu, Ta! Yang ada, cinta karena banyak uang!" sanggah Yudha. "Udah ah, aku berangkat dulu ya. Ngobrol sama kamu lama-lama malah bikin kepalaku pusing!" seloroh Yudha, lalu berdiri.
Sitapun keluar dari kursi kasir, berjalan mengiringi langkah Yudha. Sebelum Yudha masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba Sita meraih lengan Yudha. Yudha terdiam, menatap mata Sita.
"Mas, beneran pikirin apa yang Sita bilang ya! Cari pendamping, nikah! Kasihan Bapak sama Ibu!"
Yudha menghela nafas panjang. "Heemm, iya. Nanti Mas pikirin lagi Tapi saat ini, prioritas Mas adalah Keinara dan kamu. Kalian lebih berarti dari apapun!" ucap Yudha tegas.
Yudha masuk ke dalam mobil, lalu perlahan melaju menjauhi rumah Sita. Sementara Sita hanya bisa menghela nafasnya dalam-dalam, melepas kepergian sang pahlawan dalam hidupnya selama ini.
"Mas, maafin aku dan Keinara. Yang masih selalu menyusahkan kamu. Doaku hanya satu, semoga Mas Yudha segera di pertemukan dengan orang yang tepat. Wanita yang nantinya bisa jagain Mas Yudha dengan baik." doa Sita untuk sang Kakak.
Sita kembali berjalan memasuki butiknya.
***
Di tengah rasa sakit hati yang masih ia rasakan hingga kini, separuh jiwanya sebenarnya merasakan kekosongan.
Prayoga tengah berada di dalam kamarnya, memandangi sebuah bingkai foto. Ada Naimah yang kala itu mengenakan pakaian khas perempuan Jawa. Kebaya berwarna merah muda dengan bawahan kemben dan rambut yang di sanggul. Sementara dirinya sendiri juga menggunakan pakaian berupa beskap lengkap dengan blangkon. Berdiri bersandingan, dengan ada dua orang anak yang masih berusia sembilan dan tujuh tahun, berdiri di depan mereka. Mereka adalah Yudha dan Sita. Yudha berdiri tepat di depan sang Ayah, sementara Sita berdiri di depan sang Ibu. Keempatnya sedang melakukan sesi foto keluarga di sebuah studio.
Terlihat sekali pancaran bahagia di wajah ke empatnya. Semuanya menunjukkan senyum terbaiknya saat menghadap ke arah kamera.
Tanpa terasa, cairan bening menetes di pipi Prayoga. Mengingat masa dimana tiga puluh tahun yang lalu, masa dimana keluarga mereka sangat terlihat bahagia. Masa dimana anak-anak mereka masih polos dan selalu menurut apa kata orang tua. Masa dimana Prayoga mempunyai harapan-harapan indah yang ia tujukan pada kedua anaknya.
Namun semenjak kejadian sembilan belas tahun yang lalu, saat Sita melakukan sebuah kesalahan besar, harapan itu sirna tak tersisa, membuat Prayoga mati rasa.
Kekecewaan besar ia rasakan, menghujam hingga ke hatinya yang paling dalam. Namun hati orang tua mana yang bisa menahan rindu terhadap buah hatinya sendiri, darah dagingnya sendiri. Sembilan belas tahun diam, sembilan belas tahun memendam amarah, namun rindu pada sosok anak perempuan yang manja itu masih tetap ada. Sayang, gengsi dan ego masih merasuk di hatinya. Membuatnya terpaksa mengingkari perasaannya sendiri.
Semakin lama air mata itu tak terbendungnya, seraya mengusap wajah sang putri di atas kaca pigura, Prayoga tergugu.
"Sita... " ucapnya lirih. Ia tidak mau isak tangisnya sampai terdengar oleh sang istri, Mainah.
"Bapak rindu, nak! Bapak ingin sekali memelukmu!" ucapnya yang lirih. "Bapak sudah mencoba untuk melupakan semuanya, tapi sulit, nak. Rasa sakit itu terlalu dalam. Kekecewaan Bapak terhadapmu begitu besar." Prayoga terus berucap, berbicara pada foto sang putri.