Selepas sholat isya', semuanya berkumpul di meja makan. Prayoga, Mainah, Sita, Keinara, dan juga Yudha tengah menikmati makan malam bersama.
Menu masakan ikan nila goreng dan bumbu kecap yang Mainah sajikan dengan cita rasa khas yang dari dulu tidak pernah berubah. Mengingatkan Sita pada masa-masa silamnya ketika masih berada di rumah itu.
Ketika liburan tiba, maka Sita dan Yudha akan penuh semangat memancing ikan nila di tempat pamannya yang rumahnya tak jauh dari kediaman mereka. Pamannya kebetulan adalah seorang juragan ikan, membuat Sita dan Yudha dengan bebas bisa mengambil ikan sebanyak apapun yang mereka inginkan, dan pasti diizinkan, dengan syarat harus memancingnya sendiri. Setelah selesai memancing, Sita dan Yudha pulang membawa beberapa ekor ikan dan menyerahkannya pada sang Ibu untuk di masak.
Sita terlihat menahan gejolak perasaannya ketika mengingat masa-masa indah itu. Masa sebelum dirinya membuat kesalahan fatal hingga tak termaafkan hingga saat ini.
Matanya sedikit berkaca, batinnya meronta, tapi ia menahannya
"Enak nggak, Kei, masakan Nenek?" celetuk Mainah, bertanya pada cucunya.
Keinara manggut-manggut. "Mantap, Nek. Apalagi sambel kecapnya ini, hemmmm nggak ada yang ngalahin rasanya, hehehe." jawab Keinara yang terlihat sangat menikmati makanannya.Bahkan terlihat lebih dari satu kali Keinara mengambil nasi lagi ke dalam piringnya.
Mainah tersenyum. "Itu di belakang masih ada ikannya. Nanti di bawa pulang ya, buat sarapan besok pagi, tinggal diangetin aja." timpal Mainah.
"Owh, dengan senang hati dong, Nek, hehehe." sahut Keinara antusias.
"Hemmm, kalau soal makanan aja, gercep ya, Kei!" ledek Yudha yang ikut berpartisipasi menyumbangkan suaranya.
"Hahaha, abisnya Bunda tuh kalau masak nggak pernah seenak ini, Pakde. Padahal bumbunya sama, takarannya sama, tapi tetep aja, rasanya beda. Bunda payah ah, harusnya lebih rajin lagi belajar masak memasaknya sama Nenek, biar makin lihai." tukas Keinara.
Sita sedikit melotot. "Lhoh, kok jadi Bunda yang di salahkan sih. Hemmm ngajak ribut kamu ini, Kei! Padahal selama ini bunda udah berusaha mati-matian buat masak mengikuti panduan online buat kamu lho! Kemarin kamu minta dimasakin apa itu, emmm, cumi saus tiram sambel ijo. Bunda bikinin juga kan? Terus waktu itu juga pengen dimasakin garang asem, Bunda turutin. Kurang usaha apalagi coba Bunda ini? Masih aja diprotes!" seru Larasita, membela diri.
"Hehehe, iya sih. Tapi maaf bunda, kalau diadu sama hasil masakannya Nenek, memang rasanya masih jauh banget, upsss!" timpal Kei sambil nyengir.
"Ya tapi kan Bunda juga udah berusaha, masak tiba-tiba langsung dijatuhkan gini sih di depan Nenek, huuuu!" sahut Sita.
"Hehehe, ya maaf ya Bunda. Tapi kan realita, he he he!" balas Keinara.
"Huussh. Sudah! Ini kok malah jadi berantem sih. Masakan Bunda kamu ataupun masakan Nenek, semuanya enak!" tutur Mainah menengahi.
Keinara menoleh ke arah Mainah sambil menutupi mulutnya. "Tapi masih enakan masakan Nenek, he he he!" ucapnya dengan suara berbisik.
Mainahpun tersenyum lebar hingga kelihatan gigi putihnya yang tinggal beberapa biji, tak bisa menyembunyikan tawanya.
"Apaan sih, Kei. Ngomong bisik-bisik gitu!" semprot Sita yang penasaran.
"Ada deh, rahasia!" sahut Keinara dengan menunjukkan wajah tengil. Membuat Sita sedikit memajukan bibirnya.
"Nenek dari dulu memang jago masak, Kei. Kalau bunda kamu itu, jagonya cuma ngabisin makannya aja!" timpal Yudha.
Mata Sita makin melebar, mendengar Yudha juga ikut-ikutan menjadi tim Mainah. "Ya ampun, ini kok Mas Yudha tiba-tiba jadi ikutan menjatuhkan harga diri aku soal masak memasak gini sih! Hemmm, baiklah, tunggu besok ya, lihat aja, aku bakalan masak makanan yang super enak, melebihi rasa enak masakannya Ibu! Lihat aja besok, Mas!" ujar Sita dengan penuh berkobar semangat.
"Yakin?" timpal Yudha singkat.
"Yakin dong!" sahut Sita cepat.
Sontak, semuanya memasang gelak tawa, kecuali Prayoga yang tetap dengan wajah dinginnya.
"Gusti, Gusti! Ini makan malam kok malah jadi acara humor!" celetuk Mainah, yang masih menahan perutnya karena sakit setelah tertawa.
Di tengah-tengah keributan perdebatan soal rasa makanan, tiba-tiba terdengar gelegar suara sang kepala rumah tangga.
"Gimana Yud, lancar hari ini kerjaannya? Kok Bapak perhatiin akhir-akhir ini kamu sering banget pulang telat. Lagi banyak kerjaannya atau gimana sih?" Tiba-tiba Prayoga mengambil alih situasi pembahasan. Sontak semua mata tertuju pada sosoknya. Dalam sekejap, semuanya terlihat diam.
"Ya, begitu lah, pak. Akhir tahun pasti banyak laporan yang harus di kerjain. Semuanya pada sibuk." jawab Yudha.
"Bagus lah! Mending sibuk punya kerjaan dari pada sibuk karena ndak ada kerjaan to! Bapak sama Ibu nyekolahin kamu tinggi-tinggi itu ya biar kamu dapat kerja!" celetuknya lagi. Tapi kali ini pernyataan itu sedikit membuat hati Sita bergetar. Ia merasa sang ayah sedang menyindirnya terang-terangan.
Mainahpun merasa demikian. Ia menoleh ke arah Sita yang tepat duduk di sebelahnya. Demikian juga Keinara yang berperasaan sama.
Tiba-tiba Prayoga bangkit dari duduknya. Mainahpun dengan cepat bertanya.
"Mau kemana, pak? Itu makannya belum habis."
"Bapak udah kenyang! Bapak ke depan dulu, malam ini jatah Bapak ronda." ucapnya datar, lalu pergi begitu saja.
Yudhapun menatap ke arah Ibunya. Keduanya saling menatap dengan gemuruh batinnya masing-masing.
Suasana hening seketika. Keinara yang sedari tadi lahap dengan makan di piringnya tiba-tiba terlihat kaku. Bahkan kunyahannya tak secepat tadi.
***
Pukul 01.00 Prayoga kembali ke rumah. Terlihat rumah sudah dalam keadaan sepi, tentu saja pasti penghuninya sudah pada terlelap ke alam mimpi.
Prayoga masuk ke kamarnya, namun betapa kagetnya ketika ia dapati Mainah masih terjaga, sedang duduk bersandarkan kursi kayu di dalam kamar.
"Lho bu, belum tidur to? Sudah malam lho! Buruan tidur!" ucapnya seraya menutup kembali pintu kamar.
"Belum. Dari tadi di paksain tidur, tapi ndak bisa juga." sahut Mainah sekenanya.
"Nggak bisa tidur ya kalau nggak ada Bapak? Sengaja kan nungguin Bapak pulang? Hehehe." gurau Prayoga.
"Mau sampai kapan Bapak terus bersikap seperti ini terhadap Sita. Ini bahkan sudah hampir dua puluh tahun sejak kejadian itu, pak. Kasihan juga sama Keinara. Dia tidak tahu apa-apa." ujar Mainah dengan nada lemah dan tatapan memelas ke arah suaminya.
Prayoga berjalan ke tepi ranjang, lalu duduk. Terlihat membuang nafas dari dalam mulutnya. "Bapak ndak tahu, bu. Perasaan Bapak masih begitu sakit. Setelah apa yang Bapak lakukan, perjuangan Bapak saat itu, semuanya demi anak. Tapi dengan mudahnya dia hancurkan. Mempermalukan Bapak, mencoreng muka Bapak dengan begitu jelas!" timpal Prayoga dengan suara berat, netranya terlihat nanar.
Mainah bangkit dari duduknya, berjalan mendekati suaminya, lalu ikut duduk di sebelahnya. "Manusia itu tidak ada yang sempurna, pak. Begitu juga dengan anak kita. Saat itu dia sedang khilaf. Tidak baik semuanya berlarut-larut sampai seperti ini. Baik buruknya Sita, dia itu tetap anak kita, darah daging kita, pak!" kali ini Mainah seperti tak bisa menahan emosinya.
Prayoga terdiam, nafasnya terdengar makin berat.
"Mungkin, ini juga bukan salah Sita sepenuhnya, pak!" Mainah menggeser duduknya sedikit.
Prayoga menoleh ke samping. "Bukan salah Sita sepenuhnya? Maksud Ibu apa?"
"Mungkin juga kita yang!"
"Kita yang salah? Jadi maksud Ibu, kita salah mendidik anak-anak kita? Begitu!" sambar Prayoga yang dengan cepat memotong bicara Mainah, kini wajahnya terlihat memerah.
Mainah terdiam, menunduk.
"Ibu lihat sendiri bukan, Yudha itu juga anak kita juga. Kita mendidik mereka dengan cara yang sama. Buktinya Yudha bisa menjadi orang yang kita inginkan. Dia lulus kuliah dengan tepat waktu. Bahkan dengan nilai yang sangat bagus. Sekarang Yudha sudah bekerja, mapan pula. Kita sukses mendidik Yudha, bu. Lalu kenapa Sita nggak bisa? Anaknya saja yang memang susah di atur dan tidak bisa diarahkan! Lalu Ibu masih mau menyalahkan kita sendiri sebagai orang tuanya?" ujar Prayoga makin emosi.
Mainah makin tak berdaya, ketika suaminya sudah meledak-ledak diterpa emosinya seperti itu, mau menjelaskan seperti apa juga pasti tidak akan di terima dengan baik oleh Prayoga.
***
Pagi hari.
"Pagi Bunda!" sapanya pada sang Bunda, yang baru saja turun dari atas sudah dengan pakaian rapinya hendak berangkat ke kampus.
"Pagi sayang!" sahut Sita terlihat tengah memeriksa stok barang-barang jualannya. "Udah rapi, ada kuliah pagi ya?" imbuhnya.
"Iya bun, ada jam tambahan. Malas banget sebenarnya, masih ngantuk!" ujarnya polos, lalu duduk di bangku kasir tempat sang bunda biasanya menghabiskan waktunya selama menjaga toko.
Sita tersenyum, berjalan mendekati putrinya. Lalu menyeret bangku lain dan duduk di sebelahnya.
"Nggak boleh malas!" ucapnya seraya mengelus kepala sang putri. Harus semangat, biar nanti kamu bisa lulus dengan baik, dengan nilai yang bagus. Lalu dapat kerjaan yang mapan, biar nggak direndahkan sama orang lain, biar nggak di pandang sebelah mata." ucapnya penuh makna. "Cukup bunda saja yang gagal, nak!"
Keinara terdiam, berusaha meresapi kata-kata dari bundanya. Lalu menatap mata sang Bunda dalam-dalam.
"Bun!"
"Apa, nak?"
Keinara menatap bundanya makin dalam. "Emmm, kenapa sih, Kakek masih bersikap seperti itu sama kita ya? Masih dingin, nggak mau negur juga. Kei jadi segan kalau setiap berkunjung kesana selalu diperlakukan seperti itu. Nggak enak bun! Jadi nggak betah lama-lama disana."
Sita tersenyum. "Kakek memang begitu kan orangnya. Super dingin pada siapapun! Nggak cuma sama kita. Sama orang lainpun begitu!" Sanggah Sita.
"Masak sih, Bun?" telisiknya masih tak percaya.
"Iya! Makanya, kalau kamu merasa Kakek bersikap dingin sama kamu, jangan di ambil hati ya!" tuturnya meyakinkan sang putri.
Keinara mengangguk! "Ya ya ya!"
"Ya sudah, sekarang kamu berangkat kuliah, nanti telat!" seru sang Bunda.
"Siap bunda. Keinara akan belajar dengan baik dan sungguh-sungguh. Biar nggak di anggap remeh sama orang lain, hehehe." janjinya pada sang Bunda.
Keinara bangkit dari duduknya, mengambil punggung tangan sang bunda, menciumnya dengan lembut, lalu pergi dengan mengendarai sepeda motor matic kesayangannya. Sebuah kado spesial yang diberikan oleh Yudha, sang Pakde ketika Keinara merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas, dua tahun silam.