Selalu Khawatir

1518 Words
Melihat Keinara menepikan sepeda motornya di depan butik, Sita segera beranjak, berjalan keluar menyambut putrinya yang baru saja pulang dari mengejar mimpinya tersebut. Sita melihat sebuah mobil yang berada di belakang Keinara, punjuga berhenti di sisi jalan. Zaky memang selalu mengawal perjalanan pulang Keinara hingga sampai rumah. Walaupun tidak berada di tempat yang sama, namun Zaky selalu ingin memastikan bahwa Keinara sudah sampai di rumah dengan aman dan selamat. Keinara turun dari sepeda motornya. "Assalamualaikum, bun!" ucapnya, langsung mencium punggung tangan sang bunda. "Waalaikumsalam!" timpalnya menyambut sang putri. Sita beralih menatap Zaky yang masih ada di dalam mobil. Dari balik kaca jendela yang di bukanya. "Zaky! Masuk dulu, nak!" ucap Sita. "Makasih tante! Tapi maaf, Zaky lagi buru-buru nih, mau jemput Papa di bandara. Jadi harus langsung pergi. Lain kali aja mampirnya ya, Tan!" tolaknya lembut. "Owh mau jemput Papanya ya. Emmm, ya sudah. Hati-hati ya, Ky! Salam buat Papanya juga ya!" sahut Sita dengan senyum. "Iya tante!" Zaky menoleh ke arah Keinara. "Aku duluan ya, Kei. Byee!" pamitnya pada Keinara. "Bye, hati-hati ya, Ky!" timpal Keinara seraya melambaikan tangannya. Zaky menutup kaca mobilnya, lalu kembali melajukan mobilnya, sementara Keinara masih berdiri melepas kepergian kekasihnya hingga penampakan belakang mobil ditelan bahu jalanan, tidak terlihat lagi. "Eeehheeemmm! Lihatin Zakynya sampai sebegitunya sih, Kei?" tegur Sita. Ia melihat Keinara seperti memandang Zaky dengan tatapan yang berbeda. "Bunda! Apaan sih! Biasa aja kali. Biasanya kan juga gitu!" kilahnya, jadi salah tingkah dan tanpa mau menatap sang bunda. "Ingat lho ya, kata-kata Bunda! Fokus dulu sama pendidikan kamu! Jangan macam-macam, apalagi ini masih semester awal!" imbuh Sita. Tersirat sebuah intimidasi kecil yang ia lontarkan kepada sang putri. "Hemmm, iya Bunda! Kei ingat selalu kok sama pesannya Bunda. Don't worry!" sahutnya enteng. Keinara langsung melengos dan berjalan masuk ke dalam rumah. Sementara Sita masih mematung memandangi kepergian sang putri. Jujur, ada sedikit kekhawatiran tersemat dalam hatinya. Sita pernah muda, dengan jelas iapun bisa melihat, binar tatapan Keinara terhadap Zaky, itu bukan sebuah tatapan lumrah biasanya. Pengalaman Sita di masa lalu benar-benar membuatnya terus berusaha melindungi Keinara supaya anak satu-satunya itu tidak salah langkah, seperti dirinya kala itu. Sita menghela nafasnya, panjang. Kemudian kembali berjalan memasuki butik. *** Selepas mengantarkan Keinara sampai rumah, Zaky segera bergegas menuju ke bandara. Tak sabar rasanya ia ingin segera bertemu dengan sang Papa yang rencananya hari ini akan singgah sejenak setelah perjalanan dinasnya dari Surabaya. Zaky memasuki area ruang tunggu bandara, ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Terlihat jarum jam menunjukkan angka tiga lebih lima menit. "Kata Papa landing pukul tiga, itu artinya udah lima menit yang lalu dong!" lirihnya seraya menyebarkan pandangannya mencari keberadaan sang Papa. "Kemana Papa ya?" ujarnya seraya terus mencari. Zaky merogoh ponsel yang ada di saku kirinya. Baru saja hendak menekan nama kontak sang Papa, tiba-tiba dari belakang ia dikagetkan dengan sosok yang sedang dicarinya itu. "Haii! Anak Papa!" serunya seraya menepuk pundak Zaky dari arah belakang. Sontak membuat Zaky kaget dan segera membalikkan tubuhnya. "Papa!" seru Zaky lalu tersenyum. Keduanya lalu berpelukan, melepas rindu karena selama tiga bulan terakhir mereka tidak bertemu. "Sorry, pa. Tadi Zaky nganter teman dulu, jadi telat jemput Papa." "Nggak apa-apa! Baru juga lima menit Papa nunggunya." Lalu melepaskan pelukannya. "Nganterin teman atau teman sih, Ky?" imbuh sang Papa dengan penampakan wajah yang sepertinya memang ingin tahu. "Ya elah! Teman kuliah, pa!" jawab Zaky singkat. "Cewek atau cowok?" cecar sang Papa, terus menelisik. Zaky terperanjat, tidak siap dengan pertanyaaan yang dilontarkan sang Papa. "Eeee, co.... ce... cewek sih, hehehe." ujarnya sedikit jadi salah tingkah. Sang Papa hanya tersenyum, melihat kelakuan sang anak. Keduanya tak ingin membuang waktu lebih lama lagi berada di bandara. Mereka melanjutkan perjalanannya menuju ke kontrakan Zaky. Rafly, seorang pengusaha tambang batu bara terkenal di pulau seberang, tepatnya di bumi borneo tersebut adalah sosok Ayah dari Zaky. Zaky merupakan anak tunggal dari pasangan Rafly dan Sukma. "Mama nggak ikut ke Surabaya, pa?" tanya Zaky di sela-sela perjalanan menuju ke kontrakan. "Nggak! Katanya kemarin dia lagi nggak enak badan!" "Hemmm, pantesan! Biasanya kalau Papa dinas keluar kota juga pasti ngekor kan, hehehe!" ledek Zaky, sambil terkekeh. Rafly menggaruk leher kanannya. "Ya gitulah, Mama kamu. Kaya nggak hafal aja!" timpalnya. "Tapi Mama mah, kebangetan ya pa! Tingkat kecemburuannya nggak kira-kira. Masak tiap keluar kota dikuntit mulu. Padahal kan Papa itu lagi kerja, bukannya mau main-main atau sekedar jalan-jalan! Itu Mama nggak bisa bedain sih antara urusan bisnis sama urusan senang-senang, parah sih, pa! Nanti kalau Zaky punya istri, nggak mau lah yang model kaya Mama gitu. Bikin nggak nyaman aja! Hahaha!" seloroh Zaky diikuti tawanya yang lepas. "Hehehe, mau bilang sendiri sama Mama? Atau Papa nih yang bilangin ke Mama?" "Hahaha, jangan dong, pa. Dan ini rahasia kita! Hahaha!" seloroh Zaky terbahak. Hubungan antara anak dan Ayah keduanya memang terlihat sangat dekat. Bahkan terlihat seperti hubunhan seorang kakak-adik. Zaky juga terlihat lebih dekat dengan sang Papa daripada dengan sang Mama. Bersama sang Papa, Zaky bisa dengan lepas bercerita tentang apapun yang dia inginkan. Sang Papa adalah tempatnya berkeluh kesah terbaik untuknya selama ini. "Kita mau langsung ke kontrakan atau mau cari makan dulu, Pa?" tanya Zaky. "Terserah kamu aja, Ky. Tapi perut Papa sih masih kenyang. Soalnya tadi makan di pesawat. Tapi kalau kamu lapar ya ayok, nggak apa-apa kita turun cari makan." "Zaky juga masih kenyang sih. Tadi sebelum pulang Zaky juga makan bareng teman-teman dulu. Berarti ini kita langsung ke kontrakan aja ya, Pa!" "OK!" Zaky menambah kecepatan kemudinya ke arah kontrakannya. *** Malam ini, hati Keinara benar-benar merasakan ketidak tenangan. Ia terus dihantui rasa bersalah terhadap sang Bunda. "Aku kok jadi ngerasa bersalah gini ya, sama Bunda. Tapi aku juga nggak bisa bohong kalau aku juga sayang banget sama Zaky. Tapi di sisi lain aku juga nggak mau bikin bunda kecewa! Adduuhhh, gimana Tuhan! Tolong aku dong!" ujar Keinara di tengah-tengah ia mengerjakan tugas di atas meja belajarnya. Kepalanya ia turunkan hingga keningnya melekat pada permukaan meja, matanya terpejam. Krieettt! Terdengar suara pintu kamarnya di buka. Keinara sontak mengangkat kepalanya kembali dan menoleh ke belakang. "Bun!" ucapnya tercengang. Terlihat Sita melemparkan senyumnya. Berjalan membawa segelas s**u hangat untuk putrinya tercinta. "Bunda lihat, lampu kamar kamu belum mati, ya udah bunda pikir kamu pasti lagi belajar. Bunda bikinin aja s**u, biar belajarnya tambah semangat." ujarnya lalu meletakkan segelas s**u itu ke atas meja. Sita mendongak ke atas, menatap binar netra sang bunda yang terlihat begitu ikhlas dalam setiap kali melayaninya. d**a Keinara berdesir, merasakan rasa bersalah yang amat dalam. Ia tak sanggup membayangkan, jika suatu hari nanti sang bunda tahu, jika dia dan Zaky sebenarnya telah membina sebuah hubungan terlarang di belakang sang Bunda. Sita masih berdiri tertunduk menatap sang putri. Tiba-tiba Keinara memeluk Sita dengan erat. Sitapun dibuatnya mengerucutkan kening. "Hei! Kenapa sayang? Kok tiba-tiba meluk bunda, erat gini?" ucapnya seraya mengelus rambut sang putri. "Maafin, Kei ya, bun!" timpalnya lirih. Seperti ragu untuk berucap. "Maaf? Maaf buat apa sayang?" Sita terkejut. "Ya pokoknya, Kei minta maaf! Kei belum bisa jadi anak yang baik buat bunda. Kei pokoknya masih jauh dari apa yang bunda inginkan!" ucapnya penuh sesal. Sita menarik tubuhnya, ia pandangi wajah kusut putrinya, lalu mengelus pipi Keinara dengan lembut. Sita tersenyum. "Hai, anak bunda! Kenapa tiba-tiba melow kaya gini sih? Emang selama ini bunda selalu menuntut kamu supaya kamu menjadi seperti yang bunda inginkan? Begitu?" Keinara menggeleng. "Lantas, kenapa kamu bilang kaya gitu?" Keinara menunduk, tak berani berlama-lama menatap netra sang bunda. Ia memilih untuk memeluk sang bunda kembali. "Bunda tahu kamu anak yang baik, nak. Bunda sangat-sangat tahu dan paham, kamu tidak akan mengecewakan bunda. Jadi, jangan berfikiran yang macam-macam ya? Cukup dengan kamu belajar sungguh-sungguh dan tidak pernah melanggar aturan-aturan yang dilarang sam agama, itu sudah membuat bunda bangga sama kamu!" tutur Sita dengan lembut. "Bun, andai kamu tahu, aku bukanlah anak baik seperti yang barusan bunda katakan! Maafin Kei, bun! Maaf!" batin Keinara pilu. Keinara melepaskan pelukannya, memberanikan lagi menatap netra sang Bunda. "Sudah, dilanjutin lagi belajarnya ya! Bunda mau istirahat, udah ngantuk banget ini." Keinara mengangguk. "Iya, Bun. Makasih ya udah repot-repot dibikinin s**u segala. Kei, sayang banget sama Bunda." "Sama-sama sayang. Bunda juga sayang banget sama, Kei. Jangan pernah ragukan sayangnya Bunda sama kamu. Apapun yang terjadi, kamu itu kekutan Bunda hingga Bunda bisa berdiri sampai detik ini." Keinara mengangguk perlahan, dengan memaksakan bibirnya untuk senyum di hadapan sang Bunda. Sita akhirnya keluar dari kamar Keinara, berjalan menuju ke kamarnya sendiri. "Kenapa tiba-tiba anak itu bicara seperti itu ya? Hemm, dasar anak ABG!" ujarnya seraya menutup pintu kamarnya. Sementara Keinara masih berada di meja belajarnya. Bukan melanjutkan belajar, namun masih memikirkan kesalahan yang ia perbuat tersebut. "Semoga semuanya baik-baik aja. Semoga Bunda nanti bisa memahami perasaanku." Seraya mengambil gelas berisi s**u hangat tersebut, lalu meneguknya sekaligus hingga gelas kosong tiada sisa lagi. Di tengah-tengah kekacauan pikirannya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Terlihat notifikasi dari aplikasi hijau muncul di layar ponselnya sebelah kanan atas. Keinara segera membuka ponselnya. "Zaky!" lirihnya lalu tersenyum. Segera ia buka pesan dari sang pujaan hatinya tersebut. [Selamat tidur beb, semoga mimpi indah ya. Aku mencintai kamu, beb.] Pesan singkat sebagai penutup malam yang dikirimkan oleh Zaky, berhasil memperbaiki kekalutan hati Keinara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD