Enam Satu

1601 Words
Bugh. Yudha langsung menyambut Rafly dengan pukulannya. Rafly tersungkur di lantai. Terlihat memegangi hidungnya yang mengeluarkan cairan merah segar. Yudha masih dengan tatapan beringasnya, berjalan mendekati Rafly yang urung berdiri. Sementara Sita hanya bisa diam, tak berusaha melerai ataupun melakukan sesuatu. Yudha menekuk lututnya, meraih kerah kemeja Rafly dengan kencang, lalu menariknya. "Manusia sampah! Nyalimu cukup besar juga, berani kamu datang menampakkan wujudmu di hadapan kami! Dasar tidak tahu malu!" umpat Yudha dengan segala luapan emosinya. Bugh! Lagi-lagi, Yudha menghadiahi wajah Rafly dengan pukulannya. Sementara Rafly masih diam, terpaksa menahan sakit di hidungnya, di tambah juga mata kirinya yang menjadi sasaran amukan Yudha. Rafly masih menahan diri, tidak mau terpancing emosi, walaupun dia bisa saja melawan Yudha saat ini. "Maaf, Mas! Aku salah!" lirih Rafly dengan mata yang berkaca. "Heh! Maaf? Maaf untuk apa? Setelah selama puluhan tahun, kamu baru minta maaf hari ini? Di mana otakmu, Rafly!" teriak Yudha tepat di depan wajah Rafly. Yudha menarik krah Rafly. "Bangun b*****t!" Rafly terpaksa bangkit mengikuti tarikan yang Yudha lakukan. Namun ia masih enggan memberikan perlawanan. "Aku tahu, aku tidak layak diberikan maaf, Mas. Tapi setidaknya tolong beri aku kesempatan untuk menebus segala kesalahan dan dosa-dosaku. Aku tahu ini tidak akan sebanding dengan penderitaan yang selama ini Sita dan Keinara rasakan, tapi izinkan aku untuk menebus semuanya, Mas, tolong!" Rafly masih berusaha meminta. "Diam! Kami tidak butuh maafmu! Semuanya sudah terlanjur hancur! Lalu, apa dengan meminta maaf semuanya bisa terbayarkan? Begitu maksudmu!" Bughhh. Lagi-lagi, Yudha tidak bisa mengontrol emosinya yang sudah naik ke ujung kepala. Rasa ingin menghajar Rafly kian membumbung tinggi. Rafly kembali tersungkur, dengan hidung yang berdarah-darah dan mata yang bengkak. Keinara yang sedang berada di dalam kamarnya dan tengah fokus mendengarkan sebuah lagu hiphop kesukaannya. Karena hujannya cukup deras, membuat pendengarannya terganggu, hingga ia memutuskan untuk memakai headphone supaya suaranya bisa ia dengar dengan lebih jelas. Ditengah-tengah keseruannya mendengarkan lagu sambil sedikit menggoyangkan tubuhnya yang berada di atas kasur, sayup-sayup terdengar suara kegaduhan di pendengarannya. Seperti suara seseorang yang sedang berteriak. Keinara diam sejenak, mengecilkan volume suara lagu yang ia putar di ponselnya. "Kaya ada suara ribut-ribut di luar?" lirih Keinara, lalu ia lepaskan headphone di telinganya. Ia pasang lagi pendengarannya. Terdengar seperti ada suara barang yang dibanting secara membabi buta. "Iya! Kaya ada suara barang-barang pecah gitu." ucapnya lagi. Karena penasaran, Keinarapun memutuskan untuk turun dari tempat tidur. Dia ingin memastikan jika itu bukan suatu keadaan yang mengkhawatirkan. Rafly kian terpojok. Yudha menghajarnya tanpa ampun. Kali ini terpaksa dia melawan dengan segenap kekuatan yang tersisa. Keduanya terlibat adu jotos yang tidak bisa di elakkan lagi. "Kamu tidak pantas menjadi seorang Ayah bagi Keinara! Tanpa kamu, hidupnya akan berjalan baik-baim saja." teriak Yudha. Rafly mendadak diam. Bibirnya bergetar. "Jadi, benar, Mas? Keinara itu anakku? Darah dagingku?" Yudha diam, dengan hembusan nafas di dadanya yang terlihat naik turun. Rafly menoleh ke arah Sita yang sedari tadi diam. "Benar, Ta? Keinara anakku?" Hanya aliran air mata yang Sita pertunjukkan, tidak menjawab, iya atau bukan. "Apa? Apa yang pakde Yudha bilang barusan? Om Rafly itu ayah kandungku?" lirih Keinara yang berada di riling tangga lantai dua. Melihat kegaduhan di lantai satu. Hampir saja ia terjatuh karena lemas. Tulang-tulangnya seperti luruh membuat tak bisa menopang berat tubuhnya sendiri, badannya kian teras dingin. Keinara berjalan menuruni tangga, dengan langkah tegak dan wajah yang penuh amarah. Sita yang masih berdiri di tempat semula, terperanjat melihat kedatangan keinara yang tiba-tiba. "Astaghfirullah! Keinara!" ucap Sita seraya menggelengkan pelan kepalanya. Tangan kanannya menyusul bergerak untuk menutup mulutnya. Sita benar-benar sudah tidak bis membayangkan lagi, kejadian apa lagi yang akan terjadi kedepannya. "Hentikan!" teriak Keinara yang berdiri tidak jauh dari Yudha dan Rafly yang terlibat perkelahian. Sontak perkelahian itu terhenti, Yudha dan Rafly sama-sama menatap ke arah yang sama, Keinara. "Kei?" seru Yudha. "Kei?" Raflypun memanggilnya. Keinara berdiri dengan seluruh tubuhnya yang gemetar. Menatap nanar ke arah Rafly yang wajahnya sudah tidak berbentuk lagi. Perlahan Keinara melangkahkan kakinya mendekati Rafly. "Nak," lirih Rafly, dengan mengulurkan tangannya. Yudha menengok ke arah Sita, sementara Sita hanya bisa menggelengkan kepalanya. Rasanya mustahil juga untuk bisa menghentikan ketika suasana sudah dalam kondisi seperti ini. *** Pyar! "Astaghfirullah!" seru Sukma yang tengah mengaduk segelas s**u yang hendak ia seduh. Entah bagaimana ceritanya gelas itu bisa terjatuh, padahal posisinya jauh dari bibir meja. "Ya Allah. Kenapa bisa jatuh sih?" Sukma segera menunduk memunguti pecahan beling yang berserakan. Degh degh degh. Belum selesai ia membereskan pecahan beling tersebut, disusul dengan debaran di dadan yang tiba-tiba menyerangnya. "Ya Allah. Firasat apa ini? Kenapa dadaku deg-degan banget kaya gini?" lirih Sukma. Terdengar suara langkah kaki setengah berlari, dia adalah Mbok Surti, asisten rumah tangga di rumah Sukma. "Ibu! Kenapa Bu?" seru Surti dengan wajah khawatir. Sukma masih memunguti pecahan beling. "Astaghfirullah Ibu!" seru Surti makin menjadi. Melihat pecahan beling berserakan dimana-mana. "Sudah! Sudah! Biar saya saja yang beresin Bu. Ibu minggir saja!" Sukma bangkit dan mundur. "Hati-hati ya, Mbok! Maaf ya, malah jadi bikin Mbok Surti yang repot gini." "Ya ampun, Bu. Nggak usah bilang kaya gitu. Memangnya ini tadi kenapa sih, kok sampai bisa pecah gini." tanya Surti seraya menyapu pecahan beling ke dalam serok sampah. "Aku juga nggak tahu, Mbok! Tiba-tiba aja langsung jatuh. Padahal seingatku letaknya jauh dari bibir meja." terang Sukma. "Mungkin Ibu sedang melamun kali tadi itu ya, atau sedang banyak pikiran?" tebak Surti. "Nggak tahu juga, Mbok. Tapi entah kenapa aku kepikiran sama Bapak terus. Dua hari di luar kota dia jarang memberiku kabar. Tapi kalau mau memberi kabar duluan, aku takut akan mengganggu kegiatannya." ungkap Sukma. Perasaannya saat ini memang tertuju pada Rafly. "Ibu yang tenang aja, Bapak kan sudah biasa ke luar kota gini, Bu. Di doakan saja urusannya biar lancar dan cepat pulang, Bu.' ujar Surti menenangkan. "Iya, Mbok." "Ini mau dibikinin lagi nggak Bu, susunya? Biar Simbok bikinin lagi." tawar Surti pada Sukma. "Iya Mbok! Tapi nanti tolong antarkan ke atas ya, ke kamar!" "Iya siap, Bu." Sukma berjalan keluar dari dapur menuju ke lantai atas. *** Hujan semakin deras, Yudha belum sampai di rumahnya, membuat Mainah begitu khawatir. "Pak, ini Yudha jam segini kok belum pulang juga ya? Mana hujannya makin deras gini. Mampir kemana sih itu anak? Suka nggak ngasih kabar kalau pulangnya telat." gerutu Mainah yang berjalan mondar-mandir di dekat pintu utama depan. Pintu memang sengaja di buka, untuk memastikan Yudha sampai di rumah dengan selamat. Sementara Prayoga tengah duduk santai seraya menikmati teh hangat buatan Mainah beberapa menit yang lalu. Seraya makan camilan berupa ubi goreng yang ia ambil dari kebun belakang. "Halah, udah gede ini lho, Bu. Masih juga khawatir. Nanti juga pulang sendiri. Mungkin lagi main sama teman-temannya atau masih di kantornya. Malas pulang karena hujan gini." sahut Prayoga dengan santainya. "Iya tapi ini hujan gede banget lho, Pak. Takutnya di jalan kenapa-napa, Ibu cuma," Belum selesai Mainah berucap, Prayoga keburu memotongnya. "Ndak usah mikir macam-macam! Mikir yang baik-baik saja! Sudah, dari pada Ibu ndak tenang gini, mending Ibu istirahat aja. Biar Bapak yang nungguin Yudha pulang. Nanti kalau dia datang Bapak bangunin lagi." tutur Prayoga. "Ndak, Pak. Pokoknya Ibu mau nungguin sampai Yudha bener-bener pulang. Ibu ndak tenang ini." Mainah berjalan mendekati Prayoga, duduk di sampingnya. *** "Jadi, selama ini, Om Rafly Ayah kandung Keinara?" tanya Keinara masih dengan bibirnya yang bergetar. Rafly tak lantas menjawab, ia hanya mengangguk dengan bercucuran air mata, dengan menatap lekat ke arah Keinara. Berharap gadis belia itu akan iba dan memberinya maaf. "Laki-laki yang sejak awal kehadiranku di rahim Bunda tidak pernah mau mengakuinya sebagai anak?" lanjut Keinara. Rafly menggelengkan kepala, namun air matanya makin bercucuran. Hatinyapun perih mendengar darah dagingnya sendiri mengucapkan kata-kata itu. Sita yang tidak bisa berbuat apa-apa juga hanya bisa berlinang air mata. "Kei," lirihnya dalam hati. Sementara Yudha sudah bisa sedikit menurunkan amarahnya. Yudha bergerak mundur perlahan. Memberikan sedikit ruang untuk Keinara dan Rafly untuk bisa berbicara dari hati ke hati. "Maaf, nak! Maafin Ayah!" ucap Rafly terbata. Tangannya ingin meraih Keinara namun dengan cepat Keinara tepis. "Jangan sentuh saya! Saya bukan anak yang anda inginkan! Bagi saya Ayah saya sudah mati semenjak dia meninggalkan saya dan Bunda. Saya juga sudah tidak pernah berharap lagi untuk bisa bertemu dengan dia." "Nak," "Ayah saya sudah mati! Jadi tolong, tinggalkan tempat ini sekarang juga!" "Kei," Belum sempat Rafly melanjutkan kata-katanya, Keinara sudah terlebih dulu memotong. "Silakan pergi dari sini. Jangan buat keributan! Saya paling tidak suka dengan orang yang menyakiti Bunda saya. Saya paling tidak akan memaafkan orang yang sudah membuat Bunda saya menderita! Jadi, sebelum saya bertindak yang lebih buruk dari ini, silakan anda keluar dari rumah Bunda saya." ucap Keinara tegas, namun terlihat sekali matanya memendam kepedihan. Sita masih diam, membiarkan Keinara meluapkan apapun yang dia inginkan. "Kei, Ayah cuma mau maaf dari kamu dan Bundamu. Ayah tahu Ayah salah. Tapi saat itu Ayah terpaksa melakukannya karena," "Cukup! Saya dan Bunda saya tidak perlu mendengarkan penjelasan apapun dari mulut anda! Sebelum kesabaran saya habis, silakan tinggalkan tempat ini!" "Kei," "Dan satu lagi! Jangan berani lagi datang kesini atau dimanapun untuk mengusik hidup kami lagi. Karena kami sudah sangat bahagia dengan hidup kami selama sembilan belas tahun ini." Keinara berjalan ke arah pintu, membuka lebar-lebar pintu yang tadi setengah tertutup karena tiupan angin yang cukup kencang. "Silakan pergi! Bapak Rafly!" Degh Ada hati yang begitu sakit ketika ia diusir sendiri oleh darah dagingnya. Penolakan yang jelas-jelas di tunjukkan oleh Keinara membuat Rafly ingin menangis meraung di tempat itu. "Ya Tuhan, mungkin inilah balasan atas semua dosa-dosaku selama ini. Aku memang pantas mendapatkannya. Tapi aku mohon, tolong bukakan pintu hati anak hamba dan Bundanya untuk bisa memberikan maafnya pada hamba ya Tuhan. Hamba tidak mau rasa bersalah ini mengikuti sepanjang hidup hamba."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD