Enam Puluh

1114 Words
Di bawah rintik hujan yang menyelimuti kota Jogja, Yudha segera bergegas menuju ke kediaman Sita. Hatinya seperti khawatir akan terjadi sesuatu terhadap sang adik. Menembus rintikan hujan di sore yang gelap karena sang awan yang tertutup mendung. Yudha menancapkan gasnya ke arah kediaman Sita. Sesampainya di rumah Sita, Yudha segera masuk. Karenaelihat situasi butik yang masih ramai, Yudha memilih untuk naik ke lantai dua. Di sana ada Keinara yang sedang santai menikmati acara televisi. "Kei! Lagi santui nih!" celetuk Yudha, yang berjalan ke arah kulkas. Mengambil minuman dingin di dalamnya. "Hemmm! Lumayan lah, buat refreshing otak." ucap Keinara sekenanya. Yudha berjalan mendekati Keinara, masih dengan membawa minuman botol di tangannya. Yudha memperhatikan wajah sang keponakan yang di rasanya begitu berbeda. Wajah yang biasanya ceria itu tidak lagi ditemukannya. "Manyun! Kenapa?" tanya Yudha seraya duduk. "Siapa yang manyun?" elak Keinara, masih fokus pada tontonan televisi. "Itu! Bibirnya maju sepuluh senti gitu kok! Kenapa manyun? Dimarahin sama Bunda?" Tebak Yudha. Keinara membenarkan posisi duduknya, serong ke arah sang Pakde. Menatapnya dengan sendu. Ada kesedihan yang tersimpan di mata Keinara. "Yok cerita sama Pakde. Biasanya kalau kamu sedih atau ada apa-apa, kamu pasti cerita semua." bujuk Yudha. Keinara memang dekat dengan Yudha. Apapun yang ia rasakan selalu ia tumpahkan padanya. Namun setelah memasuki bangku kuliah, waktu intensitas pertemuan mereka memang jauh berkurang. Sebagian waktunya digunakan untuk kuliah atau mengerjakan tugas yang bisa dikatakan banyak. Selain itu, Keinara juga sudah memiliki dunianya sendiri, bersama teman-temannya. "Menurut Pakde, Kei ini udah dewasa belum?" tanyanya. Sebuah pertanyaan yang belum pernah ia tanyakan pada Yudha sebelumnya. Tentu saja membuat Yudha terhenyak sesaat. "Emmm, Keinara itu sudah hampir sembilan belas tahun, ya menurut usianya sih harusnya sudah, tapi belum terlalu matang." jawab Yudha berbelit-belit. "Emangnya kenapa?" "Kenapa Bunda masih belum mengizinkan Kei untuk pacaran sih? Kei kan juga pengen kaya teman-teman yang lainnya. Kei juga bisa kok jaga diri! Kei bukan gadis bodoh yang mau di bodoh-bodohin sama laki-laki!" ucap Keinara, sesaat ia berhenti sejenak, mengambil jeda untuk membuang nafas. "Bunda segitu nggak percayanya sama Kei, sampai seusia ini Kei masih beluk boleh kenalan sama laki-laki. Dengan alasannya yang Kei kira nggak masuk akal. Kei sama Bunda kan beda. Dulu Bunda memang punya kesalahan yang sangat fatal. Lantas, apakah kesalahan fatal itu akan Kei ulangi? Tentu nggak kan, Pakde?" Suara Keinara terdengar lantang di telinga Yudha. Melihat rau wajah sang keponakan yang terlihat sangat kecewa dengan apa yang diputuskan oleh Bundanya. Yudha pun paham, di usia Keinara saat ini, pasti gejolak muda itu tengah membara. "Kei, Bundamu itu cuma ingin yang terbaik untuk kamu. Apapun yang dia lakukan, di tengah segala keterbatasannya, dia berusaha memberikan yang terbaik untuk kamu. Bundamu pasti punya alasan yang sangat kuat dengan apa yang diputuskannya." ungkap Yudha, mencoba untuk menengahi. "Ah, Pakde sama aja kaya Bunda. Nggak bisa diandalin! Percuma juga Kei curhat sama Pakde!" Keinara merubah posisi duduknya menjadi membelakangi Yudha. Kalau sudah seperti ini, Yudha pasti tidak bisa berbuat apa-apa. Kelemahan Yudha adalah, dia paling tidak bisa jika harus dimusuhi oleh keponakannya sendiri. "Hemmm, kok malah jadi ngambek gini sih? Coba dengerin Pakde dulu!" Yudha berusaha membujuk Keinara. "Kei," Keinara kembali duduk mengarah pada sang Pakde, dengan wajah mendungnya. Yudha memegangi kedua bahu Keinara. "Iya, nanti Pakde akan coba buat bicara sama Bunda ya. Mudah-mudahan Bunda kamu bisa menerima dan merubah pola pikirnya. Semoga aja Bundamu bisa memahami apa yang kamu rasakan saat ini." "Pakde janji? Mau bantu Kei buat kasih pengertian ke Bunda?" "Ya, sayang." Keinara langsung memeluk sang Pakde dengan erat. "Makasih Pakde. Pakde emang terbaik deh!" puji Keinara dengan girang. Yudha hanya bisa tersenyum, seraya mengelus kepala sang keponakan. *** Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Setelah menutup rolling door butik, Sucy meminta izin pada Sita untuk pamit. Sepeninggalan Sucy, Sita masih berada di lantai bawah untuk mengecek stok barang yang masih ada. Yudha menyusul Sita, ia ikut membantu sang adik membereskan pakaian yang agak berantakan karena di pegang oleh beberapa pengunjung. "Kei, kemana Mas?" tanya Sita, masih fokus mengecek barang-barang. "Tadi sih katanya ngantuk, terus mau tidur gitu." sahut Yudha. "Hemm, tumben jam segini udah mau tidur. Biasanya juga kalau malam minggu kan begadang nonton drama." balas Sita. Ia berjalan menuju ke meja kasir untuk menulis sisa stok barang yang masih ada. Yudha pun ikut berjalan ke belakang, duduk ke sofa biasanya. "Ta! Tadi Kei sempat curhat sebentar sama aku." Yudha memulai untuk bicara serius. "Hemmm, curhat apa?" "Curhat soal kamu yang over protektif!" "Ha ha ha. Over protektif gimana sih, Mas?" "Ya, katanya kamu yang membatasinya dalam bergaul dengan lawan jenisnya gitu. Dia merasa tertekan aja. Teman-teman yang lainnya bisa melakukan apa yang mereka inginkan. Tapi dia sendiri terhalang oleh aturan yang kamu buat. Begitu!" Sita mengehentikan aktifitasnya, lalu menatap Yudha dengan serius. *** Sementara Keinara memilih berdiam di kamar. Sebenarnya dia sedang tidak mengantuk. Hanya saja dia malas aja kalau harus berbicara dengan sang Bunda. Dia sengaja menghindar. Keinara membuka ponselnya, menuju ke sebuah galeri yang menyimpan banyak foto-foto kenangannya bersama Zaky yang ternyata belum ia hapus. Ia lihat lagi foto-foto saat mereka berlibur ke pantai Glagah. Tawa riang jelas terlihat di wajah keduanya. Seolah saat itu dunia hanya menjadi milik mereka berdua. Begitu indah dirasa. Namun sekarang semuanya terbalik sudah. Foto-foto itu hanya akan menjadi sebuah kenangan. Keinara memang sudah bersikap biasa di hadapan Zaky, namun jauh di dasar hatinya. Ia masih sangat menyayangi laki-laki itu. Dia masih belum ikhlas harus melepaskan hubungan yang mereka perjuangkan selama beberapa bulan ini dan harus berakhir dengan sebuah perpisahan paksa. *** Hujan semakin lebat, suara halilintar juga saling bersahutan menunjukkan kekuatannya. Agas memilih untuk pulang dan membiarkan Rafly berfikir dengan tenang. "Apa yang harus hamba lakukan ya Allah? Apakah hamba harus tetap melanjutkan niat hamba untuk tes DNA. Tapi bagaimana jika Sita benar-benar memberitahu Sukma soal ini?" lirihnya seraya berdiri di depan jendela, menatap gelapnya kota karena hujan yang kian derasnya. *** Sita menghela nafas, membuangnya perlahan. "Mas Yudha tahu persis kan, apa alasanku melarang Keinara untuk tidak pacaran? Apalagi teman dekatnya ini anak dari siapa? Mas Yudha tahu kan?" "Iya, Ta! Mas tahu. Tapi apa sebaiknya kamu memberikan kebebasan pada Kei? Tentu saja harus tetap kamu awasi." Di tengah perdebatan antara Sita dan Yudha, tiba-tiba terdengar sapaan halus dari seseorang yang entah sejak kapan sudah sampai di tempat itu. "Selamat malam." ucapnya dengan suara menggelegar. Mata Sita dan Yudha menatap ke sumber suara. Betapa terkejutnya meraka saat mendapati Rafly yang sudah berdiri di ambang pintu masuk butiknya. Rafly, malam ini datang kembali. Apa yang akan dia lakukan? Yudha seketika kalap, melihat wajah laki-laki yang dulu sudah merusak hidup adiknya. Membiarkan adiknya harus menanggung beban sendirian. Perlahan Yudha bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Rafly, dengan kedua tangan yang ia genggam cukup kuat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD