Enam Dua

1171 Words
Keinara membalikkan tubuhnya, lalu memandang ke arah Yudha beberapa detik, kemudian beralih ke sang Bunda. "Kei, sayang," lirih Sita yang berjalan keluar dari meja kasir menuju Keinara yang masih mematung. Sita segera memeluk Keinara erat. "Om Rafly itu benar Ayahku, Bun? Ayah kandungku?" tanya Keinara lirih. Sita tak langsung menjawab, dan sepertinya juga tak mampu untuk menjawabnya. "Ternyata benar, dunia ini begitu sempit ya, Bun. Sampai-sampai harus dia yang mejadi Ayahku. Heh!" Keinara membuang nafasnya melalui mulut. Sita tetap bergeming, dengan terus mengusap punggung sang putri. Ia lalu melepaskan pelukan itu. "Kita duduk dulu yuk, nak!" ajaknya seraya menatap sang putri dengan sendu. Keinara menggeleng. "Kei, ngantuk Bun. Kei ingin tidur." tolak Keinara. Keinara lalu berjalan perlahan menaiki tangga. Ingin Sita mencegahnya namun aksinya keburu dihalangi oleh Yudha. "Mas, aku takut Keinara kenapa-napa. Aku mau menemaninya." ucap Sita dengan khawatir. "Ta, mending kita biarkan Keinara sendiri dulu. Biarkan dia menenangkan diri. Aku yakin saat ini dia pasti masih syok dengan semua ini. Kei butuh waktu. OK?" "Tapi, Mas," "Ta! Percaya sama Mas. Kei, akan baik-baik aja. Hanya saja sekarang dia butuh waktu sendiri dulu." Sita pun mengangguk, menurut dengan apa yang di katakan oleh Yudha. Keduanya berjalan menuju ke tangga, naik ke lantai dua. *** Sementara di dalam mobil, Rafly yang terus bercucuran dengan air mata tan bisa lagi menyembunyikan kehancurannya. Kini keinginannya mengetahui siapa Keinara sudah terwujud. Dan memang benar, Keinara adalah anak kandungnya. "Hukumlah aku, Kei! Hukumlah Ayah dengan caramu jika itu bisa membuat kamu dan Bundamu puas. Ayah memang pantas mendapatkan ini semua. Ayah paham perasaan kamu, nak. Tapi setidaknya sekarang Ayah sudah tahu, kamu memang benar anak Ayah." batin Rafly. Rafly mengusap pipinya dengan telapak tangan. Menghapus guguran air mata yang sedari tadi membanjiri pipinya. "Pak, cepat sedikit ya!" serunya pada sopir taksi di depan. Rafly ingin segera sampai di hotel dan menumpahkan segala perasaannya disana. *** "Bunda, selama puluhan tahun Bunda menahan beban seberat ini. Selama puluhan tahun Bunda harus menahan perih demi Kei. Bunda selalu berusaha menjadi Bunda yang baik untuk Kei. Selalu berusaha mewujudkan semua yang Kei inginkan. Tapi, di belakang Bunda, Kei masih saja sering berlaku tidak jujur. Maafin Kei, ya Bun." lirih Keinara. "Hiks hiks hiks! Ya Tuhan, apa aku sedang bermimpi? Ini terasa buruk sekali. Tolong segara bangunkan aku dari mimpi buruk ini, Tuhan. Aku sudah tidak sanggup lagi meneruskan mimpi ini. Bangunkan aku Tuhan, bangunkan!" ujar Keinara seraya sesenggukan. "Aku baru sadar, kenapa setelah pertemuan makan malam, sikap Bunda mendadak berubah. Karena ternyata Papa nya Rafly adalah Ayahku juga. Dan ini terlihat sangat tidak masuk akal." ujarnya lagi. "Bunda, maafin Keinara ya, selama ini masih menjadi anak yang tidak jujur. Maafkan keegoisan Kei. Tapi mulai detik ini, Kei janji akan jadi anak yang lebih baik lagi dari kemarin. Kei tidak akan pernah berbohong lagi sama Bunda. Kei janji!" Keinara segera mengambil ponselnya, ia buka aplikasi galeri dan menghapus semua foto kenangannya dengan Zaky. Baginya saat ini, orang yang berhubungan dengan Rafly adalah orang yang telah menyakiti hati Bundanya. Kini, Keinara siap memulai lembaran baru tanpa adanya Zaky lagi. *** Pagi ini Keinara bangun lebih awal dari biasanya. Di hari libur biasanya, Kei pasti akan keluar kamar di atas jam sembilan. Dia akan bermalas-malasan di dalam kamarnya terlebih dahulu. "Bunda!" panggil Keinara seraya berjalan menuju sang Bunda yang tengah membuatkan minuman sereal untuk mereka sarapan. Keinara langsung memeluk sang Bunda dari belakang. "Sayang, kenapa? Kamu baik-baik aja kan?" tanya Sita terheran. "Baik dong, Bun! Harusnya kan Kei yang tanya kaya gini. Bunda baik-baik aja nggak?" "Bunda? Ya baik lah sayang. Bunda akan selalu baik-baik aja asalkan anak kesayangan Bunda ini juga dalam keadaan baik-baik saja." ucap Sita. Keinara melepaskan pelukannya, lalu duduk ke kursi. Keinara mendongakkan kepalanya, menatap sang Bunda yang berdiri di sampingnya. "Mulai sekarang, Keinara akan turuti semua maunya Bunda. Keinara akan jadi anak yang penurut, anak yang jujur, dan anak yang tidak membangkang sama Bunda." tuturnya. Sita mengernyitkan keningnya, lalu menyusul duduk di sebelah Keinara. "Hai, kamu kenapa sayang? Kamu ini anak Bunda yang selalu nurut sama Bunda. Anak Bunda yang nggak pernah macam-macam. Itu sudah cukup buat Bunda." tuturnya seraya mengelus rambut Keinara. "Tapi, Kei masih merasa kalau Kei belum bisa jadi anak yang baik. Kei masih bandel masih suka bohong juga sama Bunda. Dan mulai hari ini, Kei berjanji akan patuh dan nurut apapun yang Bunda katakan!" tuturnya. Sitapun tersenyum haru. "OK sayang. Mulai hari ini, mari kita buka lembaran baru. Kita lupakan apa yang terjadi di waktu yang lalu. Anggap aja itu semua adalah angin lalu." "Siap Bundaku sayang!" timpal Keinara lantang. Keduanya pun bertatapan, netra yang saling memancarkan cinta tak bertepi antara seorang Ibu dan anak. Kemudian keduanya berpelukan erat. Cukup lama mereka merasakan hangatnya pelukan satu sama lainnya. Hingga kedatangan Yudha membuat mereka melepaskan pelukannya satu sama lain. "Ehemmm! Pada kenapa ini, pakai acara peluk-pelukan segala. Pakde nggak diajakin pelukan nih?" celetuknya dari sofa di ruang televisi. Sontak membuat Keinara kaget dan melepaskan pelukan dari sang Bunda. "Lhoh, Pakde kapan datang? Kok udah ada disini?" serunya. "Emang Pakde ada disini dari semalam." "Dari semalam?" "Iya, Kei. Semalam hujannya deras banget. Jadi ya, Pakde mutusin buat nginep aja disini." terang Sita. Yudha bangkit dari sofa, berjalan menuju meja makan, bergabung bersama Sita dan Keinara. Yudha memilih duduk di sebelah Keinara. "Wah, sarapan bubur ayam sama sereal. Mantap!" ucap Yudha yang kian bersemangat melihat bubur ayam kesukaannya tersaji di atas meja. "Mari kita sarapan!" seru Keinara girang. "Yuhu!" sahut Yudha tak mau kalah. Ketiganya pun menikmati menu makan pagi yang sederhana namun terasa nikmat karena suasana yang tercipta begitu hangat. Bahkan apa yang dikhawatirkan Yudha semalam tidak benar-benar terjadi. Yudha sempat khawatir dengan Keinara yang mungkin saja akan marah terhadap Bundanya karena selama ini merahasiakan identitas Ayahnya yang ternyata adalah orang yang dangat dikenal oleh Keinara. Namun melihat kedewasaan Keinara pagi ini, Yudha merasa lega. Yudha yang selalu iseng terhadap keponakannya berhasil menciptakan suasana semakin pecah. "Minta ah!" ucapnya seraya memasukkan sendoknya ke dalam mangkok milik Keinara. Membuat isi bubur ayamnya menjadi berkurang. "Yey, Pakde! Udah punya sendiri juga masih nyerobot punya Kei. Rusuh ih, nggak asyik!" semprot Keinara. Tentu saja bibirnya sudah maju sekian senti ke depan. "Halah, bagi dikit lah, Kei. Pelit amat!" elak Yudha tanpa merasa berdosa. "Bukannya pelit! Tapi itu kan punya Pakde masih banyak. Kalau udah abis baru boleh minta punya Kei! Ini mah namanya maruk bin serakah! Wuuuu!" ejek Keinara tak mau kalah. Perdebatan keduanya tak terelakan, saling mengejek yang tiada habisnya. Sita yang menjadi penonton, hanya bisa geleng-geleng kepala melihat pemandangan riuh di hadapannya itu. "Alhamdulillah, kondisinya ternyata tidak seperti yang aku khawatirkan. Semuanya masih baik-baik saja. Ya Tuhan, jagalah selalu keluargaku dari hal-hal buruk. Damaikanlah selalu keluarga kami ini." doa Sita dalam hati. Selesai sarapan, Yudha mengajak Keinara dan Sita pergi keluar utuk cuci mata. Mereka bertiga jalan-jalan ke taman kuliner yang kebetulan bukanya hanya setiap hari minggu saja. Ada banyak makanan yang tersedia disana. Dari mulai jajanan ringan, sampai makanan berat yang beraneka rasa dan macamnya. Hari ini, niat Yudha memang ingin memanjakan keponakan dan adiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD