Mulai Mencair

1511 Words
Suasana canggung tentu saja menyelimuti suasana dalam ruang rawat inap yang Prayoga tempati, karena hanya ada dirinya dan Sita disana. Prayoga yang hampir tidak bicara kecuali ketika ia ingin minum, makan, atau minta tolong untuk diambilkan sesuatu. Sita sudah mencoba untuk lebih mendekatkan diri pada sang Ayah, namun hasilnya masih nihil. Prayoga masih saja tetap dingin. Sita tak mau memaksakan perasaan sang Ayah. Ia sadar betul bagaimana sifat keras sang Ayah yang selama ini ia lihat. Biarlah, hati yang membeku itu mencair dengan sendirinya suatu saat nanti secara perlahan. Tugas dia hanya terus menerus berusaha mendekatinya. "Pak, mau makan buah nggak? Biar Sita kupasin." tawarnya dengan hati-hati. Menawarkan buah apel yang masih utuh terbungkus kantong plastik di atas meja. "Ndak." jawab Prayoga singkat. "Emm, ya sudah. Atau mau Sita pijitin, Pak? Biar badannya lebih enakan nggak kaku-kaku." imbuhnya lagi. "Ndak." jawab Prayoga lagi. "Atau mau... " "Ndak usah! Nanti kalau Bapak ada perlu juga pasti bilang!" sentak Prayoga, membuat Sita mati gaya. Akhirnya Sita menyerah juga. Dia memilih menepi, beralih duduk di sofa dan memainkan ponselnya. "Bapak, masih aja ketus gitu sama aku. Ya Allah, kuatkan aku." ujarnya dalam hati. Kurang lebih pukul lima sore, Yudha tiba di rumah sakit. "Assalamualaikum." ucapnya seraya membuka pintu. Prayoga dan Sita nampak kompak menatap ke arah pintu. Suasana yang benar-benar dingin perlahan mencair. "Waalaikumssalam!" jawab keduanya serempak. Yudha berjalan ke sisi ranjang prayoga. Memegangi lengan sang Ayah. "Gimana, pak? Sudah baikan belum?" tanyanya penuh kehangatan. Sedangkan Sita bangkit menghampiri sang Kakak, ikut mendekati ranjang sang Ayah. Untaian senyum terlihat jelas di bibir sang Ayah. "Sudah, Yud. Sudah nggak nyeri lagi d**a Bapak." jawab Prayoga yang sudah sedikit bertenaga. "Alhamdulillah." sahut Yudha lebih tenang. "Yud, bilang sama dokternya, Bapak pengen pulang ya?" Yudha mengernyitkan keningnya. "Lho, kok udah pengen pulang? Kan belum sembuh, pak. Nanti kalau kondisikan sudah jauh lebih baik, baru kita pulang. Ya?" "Tapi Bapak sudah merasa baikan kok. Sudah ndak sakit lagi dadanya, sudah ndak sakit kepalanya. Bapak ndak betah lama-lama disini. Kangen sama ayam Bapak di rumah. Kasihan mereka pasti nggak ada yang ngurusin. Kasihan, Yud, pasti kelaparan." terang Prayoga. Seketika Yudha dan Sita melengkungkan tawanya, membuat suasana sedikit mencair. "Bapak ini ada-ada saja! Lagi sakit gini masih ingat aja sama ayamnya." celetuk Sita. "Iya, bukannya mikirin kesehatan diri sendiri, malah mikirin ayam. Masalah ayam, Yudha sudah nyuruh paklik Sugi yang ngurusnya, pak. Bapak nggak usah khawatir, ayam Bapak aman nggak bakalan kelaparan. Pokoknya sekarang fokus pemulihan aja dulu disini." timpal Yudha. "Tapi nanti bagaimana dengan biaya rumah sakit, Yud! Bapak nggak mau ngerepotin kamu. Kamu itu punya uang buat kamu sendiri, buat di tabung, buat masa depan kamu. Jangan terlalu fokus mikirin orang lain, sampai diri kamu sendiri tidak kamu pikirkan!" tutur Prayoga. Degh! Seperti ada cubitan yang mengenai hati Sita. Mendengar apa yang diucapkan oleh sang Ayah. 'Jangan terlalu fokus mikirin orang lain.' Ya, selama ini Yudha memang terlalu fokus dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk dirinya dan juga Keinara. Hingga Yudha lupa, masih ada yang harus ia perjuangkan mengenai jodohnya, mengingat usianya kini sudah tak muda lagi. Sita hanya bisa menunduk, merasa bersalah karena selama ini masih menjadi beban untuk sang Kakak. Yudha yang merasakan perubahan di mimik sang adikpun sadar, sang Ayah mungkin terlalu kentara menyindirnya. "Orang lain siapa sih, Pak. Masak Yudha bayar uang rumah sakit buat Bapak sendiri dibilang orang lain. Udah deh, Bapak nggak usah mikirin biaya rumah sakit! Nggak usah juga mikirin ini itu. Biar menjadi urusan Yudha saja! Yudha juga masih memikirkan masa depan Yudha kok, pikiran Bapak nggak usah kemana-mana, fokus sembuh! Titik!" tegas Yudha. "Tapi, Yud_ " "Nggak ada tapi-tapi, pak!" cela Yudha, mematahkan sanggahan sang Ayah. Prayoga tak bisa membantah lagi kata-kata sang anak. Memilih mengalah dan kembali diam. Yudha tampak menggeser badannya mendekati meja untuk menyimpan tas kerjanya. "Emmm, maaf pak. Ini kan Mas Yudha udah datang, jadi aku pamit ya Mas, pak!" tiba-tiba Sita meminta izin untuk pulang. Prayoga enggan menjawab. Justru malah terlihat memfokuskan pandangannya mengelilingi seluruh ruangan kamar. "Oh, iya, Ta. Kamu bawa motor atau mau naik ojek aja?" tanya Yudha. "Aku bawa motor sendiri kok, mas." jawabnya lesu. "Ya sudah, ayo mas antar sampai parkiran!" "Nggak usah lah, mas. Pakai diantar segala kaya anak TK. Udah mas Yudha disini aja nemenin Bapak. Nanti kalau Bapak tiba-tiba minta tolong apa Mas Yudha nggak ada kan kasihan." Sita berusaha menolak. "Ya kan mas pengen pastiin kamu pergi dengan selamat, Ta! Udah ayok!" "Nggak usah, mas!" timpal Sita seraya berdiri. Yudha dan Sita justru berdebat. Membuat Prayoga harus turun tangan menengahi. "Sudah! Anterin saja adikmu, Yud!" seru Prayoga tiba-tiba. Membuat kedua anaknya seketika menatap ke arah sang Ayah bersamaan. Ada gemuruh yang Sita rasakan saat itu juga. Sita menerima perkataan Prayoga itu diartikan sebagai rasa perduli terhadap dirinya, yang sudah sekian tahun tak pernah ia rasakan. Sang Ayah yang selama ini dingin, hari ini menunjukkan rasa perhatiannya. "Apa pak?" tanya Yudha memastikan. "Kamu nggak dengar Bapak bilang apa? Anterin adikmu sampai bawah!" seru Prayoga, lagi. Ada senyum mengembang di bibir Yudha. Sepertinya dia juga menganggap bahwa sang Ayah telah memberikan suatu bentuk perhatian pada putri yang selama ini di diamkannya. Yudha menarik lengan sang adik. "Sudah ayok, jangan kebanyakan protes! Kamu nggak dengar, ini perintah langsung dari Bapak!" ucapnya dengan senyum. "Tapi kan mas_" "Nggak ada tapi-tapi!" Sitapun mengalah, lalu meraih punggung sang Ayah, meminta izin untuk meninggalkannya sejenak. Esok hari mungkin akan kembali lagi. "Sita pulang dulu ya, pak. Besok siang kesini lagi. Jangan lupa nanti setelah makan obatnya di minum ya?" pesannya pada sang Ayah. "Ya" jawab Prayoga singkat. Ingin rasanya tangan kiri Prayoga meraih dan mengelus rambut sang putri, namun karena masih ada rasa gengsi, ia harus sakit menahannya sendiri. Sita dan Yudha meninggalkan kamar Prayoga. "Ta, emmm_ " "Apa, mas?" jawabnya di sela-sela perjalanannya menuju parkiran. "Kamu merasa nggak, kalau Bapak sudah bisa sedikit diajak kompromi. Mas sih merasanya begitu." "Emmm, kompromi gimana sih, Mas?" "Tadi, waktu Bapak nyuruh aku buat anterin kamu sampai tempat parkir. Secara tidak langsung itu, Bapak khawatir sama kamu. Bapak juga ingin memastikan, kamu meninggalkan rumah sakit ini dengan aman." "He, iya sih. Mas Yudha juga merasa kaya gitu?" Berbalik tanya. "Iya jelas. Walaupun sikapnya masih dingin, tapi dengan melihat tatapan Bapak tadi, mas yakin, hati Bapak juga sebenarnya sudah sedikit luluh. Mas yakin, Bapak itu rindu sama kamu, Ta." tutur Yudha. "Hemmm, mudah-mudahan ya, mas. Sita itu rasanya udah lelah banget buat dapatin hati Bapak lagi. Tapi setelah hari ini, rasa semangat itu muncul kembali. Sita akan terus berusaha mengambil hati Bapak lagi." timpalnya. "Aamiin." Keduanya sudah sampai di parkiran. Sita mengambil helm yang ia simpan di kaca spion motornya, bersiap memacu meninggalkan rumah sakit. Sekilas, ingatan Yudha tertuju pada kejadian kemarin siang saat ia berada di warung makan dan seperti melihat Rafly kala itu. Ingin rasanya ia bicarakan dengan Sita, namun masih sedikit ragu-ragu. "Ta. Kemarin Mas ketemu sama_" tiba-tiba Yudha menghentikan bicaranya. Sita yang sudah berada di atas jok sepeda motornya, sontak fokus memandang sang Kakak, sambil menunggu penyelesaian ucapan darinya. "Heemmmm! Ketemu sama siapa, mas?" Yudha semakin meragu, dia berfikir ulang. "Eemm, nggak, Ta. Ketemu sama teman lama Mas aja. Kamu ingat nggak sama Bony, teman Mas yang orang Sumatra itu?" "Mas Bony?" Sita terpaksa ikut berfikir mengingat-ingat kembali. "Sebentar! Kayanya Sita ingat deh. Yang gendut, putih, yang suka nginep di rumah itu bukan?" "Nah, iya itu. Bony yang itu." "Owhh, iya, iya. Kenapa Mas?" "Itu, dia sekarang ada di Jogja lho. Jadi pengusaha ayam geprek di daerah Bantul sana, hehehe." Sita melongo. "Terus kenapa Mas cerita ke Sita? Hubungannya apa coba?" Yudha malah jadi salah tingkah. "Owh, kenapa cerita? Ya, nggak apa-apa. Pengen cerita aja, he he he." ujarnya seraya nyengir. "Hadeeeh Mas, mas! Nggak penting banget tahu! Kirain mau cerita soal apa kek yang lain. Tahunya cerita unfaedah kaya gini. Udah buang waktu Sita sepersekian menit nih." gerutu Sita. ""He he. Ya maaf. Kirain kamu tertarik dengar cerita dari mas. Tahunya nggak!" ucapnya sambil garuk-garuk kepala. "Ya kan siapa tahu nanti atau kapan-kapan kiya mau makan di luar bareng sama keluarga, kan bisa ke restoran milik Bony. Ya kali aja nanti juga ada potongan harga kan. Harga teman lah, he he he." imbuhnya makin mengarang. "Eh, tapi bener lho, Mas. Nanti kali aja kita ada agenda makan-makan acara apa gitu. Bisa kesana aja. Wah, betul juga ide kamu, Mas." sahut Sita. "Hehehe, iya gitu maksudnya." Yudha terlihat nyengir memaksakan senyumnya. "Hemmm, udah ah, Sita jalan ya, Mas. Keburu Keinara kelaparan ini. Anak segede gitu suruh belajar masak aja susahnya minta ampun." gerutunya sendiri seraya menyalakan mesin sepeda motornya. " Udah ya, Mas. Assalamualaikum!" "Waalaikumssalam. Hati-hati ya, sampai rumah langsung kabari!" titah Yudha. "Siap komandan!" sahut Sita lalu meluncur dengan sepeda motornya. Yudha menghela nafasnya memanjang, sembari melepas kepergian sang adik yang kian hilang di telan gelapnya jalanan malam. Yudha menutup mulutnya dengan jemari kanannya. "Huufff! Untung aku nggak keceplosan!" ujarnya dengan menghela nafasnya yang terasa berat. "Sebaiknya aku nyari momen yang pas aja lain kali, kalau mau cerita soal masalah ini. Kasihan Sita, nanti yang ada malah dia kepikiran lagi soal ini." batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD