Bohongin Bunda

1508 Words
Yudha akhirnya memilih diam soal kejadian kemarin saat dia sekilas seperti melihat Rafly di jalan. Yudha masih mempertimbangkan segala kemungkinan. Yudha takut jika Sita justru akan sedih karena harus mengingat kepahitannya kembali. Melihat Sita sudah menghilang, Yudha kembali ke atas ke ruangan sang Ayah. Yudha berada di dalam lift sendirian, tiba-tiba lift berhenti di lantai tiga, karena ada seseorang yang hemdak masuk. Ting! Pintu lift terbuka. Seorang perempuan berkerudung dan menggunakan masker kesehatan berwarna hijau masuk. Tanpa sengaja netra keduanya saling beradu. Sontak membuat si perempuan terhenyak sejenak menatap tajam ke arah Yudha. Yudha yang merasa tidak enak karena merasa diperhatikannya, menjadi sedikit salah tingkah. Ia mengalihkannya dengan bersiul kecil seraya memutarkan bola matanya ke sudut ruangan. Tiba-tiba telunjuk wanita itu mengarah ke Yudha. "Mas Yudha ya?" seru wanita itu. Sontak juga membuat Yudha terperanjat. Dari mana wanita bermasker itu mengetahui namanya? Yudha mengeluarkan kedua tangannya yang ia masukkan ke dalam saku celananya. Menatap ke arah wanita tersebut dengan ragu-ragu. "Emmmm, iya. Saya Yudha. Anda siapa ya?" Wanita itu akhirnya membuka maskernya. "Woy, ini aku! Masih ingat nggak?" Netra Yudha seketika melebar. Mendapati wajah wanita itu yang ternyata adalah teman lamanya yang bernama Vira. Wajahnya yang masih sama seperti dua puluh tahun yang lalu saat mereka sama-sama menempuh pendidikan di kampus yang sama. Hanya berbeda jurusan saja. Vira merupakan adik tingkat Yudha yang selisihnya 2 tahun. Yudha menatap wajah Vira lekat-lekat. "Vira ya?" ujarnya sedikit meragu, takut salah menyebutkan nama. "He he he. Iya Mas Yuda. Masak nggak ingat?" sahutnya dengan senyum khas yang disertai cekungan lesung pipinya. Yudha menepuk jidatnya. "Astaga! Kamu disini?" Yudha memperhatikan penampilan Vira dari atas sampai bawah yang di balut dengan jas berwarna putih. "Kamu kerja di rumah sakit ini, Vir?" "Iya Mas. Baru sekitar dua bulan aku bertugas di rumah sakit ini. Mas Yudha apa kabar?" "Alhamdulillah baik. Kamu sendiri gimana? Tentunya baik dong ya? Hehehe." Yudha menjawab pertanyaannya sendiri. "Mas Yudha, tanya sendiri dijawab sendiri. Masih aja kaya dulu, kocak. Hehehe." timpal Vira seraya tertawa kecil. Yudha melihat angka yang tertera dalam lift, lantai enam. Dan sebentar lagi akan mencapai lantai tujuh. "Ngomong-ngomong Mas Yudha mau ke lantai berapa?" "Aku mau ke lantai tujuh. Kamu sendiri?" "Oh ya? Kebetulan juga aku mau ke lantai sana juga lho mas. Ada kunjungan pasien yang katanya kena serangan jantung ringan sih. Aku harus observasi beliau." "Pasien jantung? Kamu ambil spesialis ya?" "Iya mas. Ahli kardiovaskuler. Menangani masalah penyakit dalam gitu lah, hehehe." "Good! Dari dulu semangat belajar kamu emang nggak pernah kendor ya. Selalu semangat soal menutut ilmu mah." "Hehehe, Mas Yudha biasa aja." Ting! Pintu lift terbuka di lantai tujuh. Yudha dan Vira melangkah keluar bersama. Tibalah di ruang rawat bertuliskan angka 003. Tanpa terduga keduanya juga berhenti di depan pintu yang sama tersebut. Yudha dan Vira saling memandang. "Sebentar. Mas Yudha kok mau ikut masuk aku ke ruangan ini?" tanya Vira dengan wajah herannya. Yudha tersenyum. "Hehehe bukannya mau ikut, Vir. Tapi aku mau masuk ke ruangan Bapak. Kebetulan Bapak dirawat di ruangan ini." "Hah? Bapaknya Mas Yudha sakit? Jadi yang mau aku observasi ini Bapaknya Mas Yudha ya?" Yudha tersenyum, "Ya, bisa jadi." Keduanya tersenyum bersamaan, kemudian masuk ke dalam ruangan. "Selamat sore Bapak Prayoga." sapaan lembut dari sang dokter muda, Vira Andriana Pangestu. "Sore bu dokter." jawab Prayoga. "Saya dokter Vira, pak. Yang bertugas menangani Bapak mulai sore ini ya." "Iya bu." timpal Prayoga singkat. Vira mulai memeriksa Prayoga, mengecek keadaannya dari mulai detak jantung hingga penimbangan berat badan. "Gimana, Vir? Ada yang perlu penanganan khusus nggak?" tanyanya pada Vira setelah selesai melakukan pemeriksaan. "Alhamdulillah, mas. Pak Prayoga sudah makin membaik kondisinya. Kalau sampai besok semuanya stabil seperti kondisinya saat ini, Insha Allah bisa segera pulang." terang Vira. "Alhamdulillah." timpal Yudha dengan perasaan lega. "Bapak Prayoga jangan terlalu memendam pikiran yang berat ya. Kalau ada apa-apa, misal punya pemikiran yang bagaimana-bagaimana, yang agak mengganjal, bisa di diskusikan dengan istri, anak, atau keluarga lainnya. Jangan dipendam sendiri. Ya, pak?" "Iya dokter." "Kalau begitu saya permisi dulu ya, pak, semoga lekas sembuh dan lekas kembali ke rumah." ucapnya berpamitan pada pasien. "Mas Yudha, aku permisi ya." "Iya, makasih ya, Vir." "Sama-sama, mas." Vira membalikkan tubuhnya, melangkah menjauhi ranjang pasien. Yudha berjalan di belakang Vira, mengantarkannya hingga keluar pintu. @@@@@ Dari jarak sekitar dua puluh meter sebelum mencapai rumahnya, Sita mendapati mobil Zaky yang berjalan mulai menjauhi teras butik. 'Kaya mobilnya Zaky? Apa barusan dia abis dari rumah ya?' batinnya seraya membelokkan sepeda motornya ke garasi. Sita bergegas turun dari sepeda motor, sambil membawa sebuah bungkusan di dalam plastik berwarna hitam di tangannya. "Assalamualaikum!" ucapnya di lantai bawah. "Waalaikumsalam." sahut Keinara seraya berjalan menuruni anak tangga, menyambut kedatangan sang bunda. "Bunda!" panggilnya. "Tolong ambil piring sama sendok ya, nak. Kita makan malam bersama, hehehe." "Siapp bunda." Keinara menuju ke dapur. "Tadi bunda kaya lihat mobil Zaky. Dia abis dari sini?" tanya Sita seraya duduk ke atas sofa sambil mengeluarkan dua bungkus makanan dari dalam kantong plastik. Keinara terkejut, hampir saja piring di tangannya terlepas karena kaget. 'Waduh, jadi bunda sempat lihat mobil Zaky di depan ya. Bilang apa ya? Masak harus bohong lagi?' "Owhh, iya bun. Tadi juga ada anak-anak yang lain kok. Biasa ngerjain tugas buat besok." jawab Keinara, mengarang bebas. Keinara duduk di sebelah sang bunda dan meletakkan piringnya. "Owh, belajar kelompok. Kirain dia kesini sendirian. Awas aja berani main kesini sendirian pas bunda nggak ada, hemmm. Belum tahu dia kalau bunda ngamuk seperti apa!" Sita meletakkan bungkusan yang terikat karet gelang tersebut ke atas piring. "Hehehe." sahut Keinara yang sebenarnya was-was. 'Untung bunda percaya! Tapi maaf ya bun, Kei terpaksa berbohong lagi.' "Hemmmm, nasi gorengnya pak gondrong ya bun? Wangiiiii... " celetuk Keinara untuk mengalihkan pembahasan mengenai Zaky. "Iya, tadi bunda sengaja beli, soalnya kamu suka banget kan sama nasi gorengnya pak gondrong." ucapnya seraya membuka bungkusan. "Favorit bun, hehehe." "Tahu nggak,Kei. Dulu, waktu bunda hamil kamu, seneeeenng banget sama nasi gorengnya pak gondrong. Hampir seminggu tiga sampai empat kali bunda pasti beli. Sampai pakde Yudha itu juga paham banget kalau kesini pasti selalu bawain nasi goreng ini." "Oh ya? Hemmmm! Bisa jadi sekarang Kei seneng banget sama nasi goreng ini karena masih ada efek ngidamnya bunda dulu kali ya, hehehe." "Bisa jadi tuh, Kei. Hehehehe." Sepasang Ibu dan anak tersebut melanjutkan menikmati nasi goreng legendaris kesukaan Keinara. @@@@@ Ingin rasanya Yudha menahan kepergian Vira, namun entah kenapa bibirnya kelu, kaku tak bisa ia ajak kompromikan. Hingga Vira benar-benar menghilang di balik lift. "Bodoh! Kenapa nggak minta nomer ponselnya sih! Yudha, Yudha!" umpatnya pada diri sendiri, seraya mengacak rambutnya meluapkan rasa frustasi. Vira, adalah wanita yang Yudha taksir sewaktu masih menjadi juniornya di kampus. Yudha yang kala itu aktif sebagai aktivis kampus dan bernaung di bawah Unit Kerja Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa, tengah melakukan wawancara terhadap calon peserta baru yang kebetulan itu adalah Vira. Dari mulai saat itu, hubungan keduanya terlihat dekat. Sayang sekali langkah Yudha yang mendekati Vira harus terhenti karena saat itu Vira memilih untuk menerima cinta dari laki-laki lain. Yudha membalikkan tubuhnya, masuk kembali ke dalam ruangan. "Kamu mengenal bu dokter yang cantik barusan, Yud? Bapak lihat, kalian seperti terlihat sudah akrab." ucap Prayoga, menyambut kembalinya Yudha yang dari mengantarkan Vira. "Kenal, Pak. Itu tadi adik tingkat aku waktu kuliah dulu. Nggak nyangka juga bakalan ketemu lagi disini." terang Yudha sambil tersenyum sedikit, berjalan menuju bangku di sisi sang Ayah yang sedang terbaring. "Owh, jadi teman kamu to ternyata. Siapa tadi, Yud namanya?" "Vira, Pak." "Ya, ya, ya. Bu dokter Vira. Hehehe, cantik lho, Yud anaknya. Cocok kalau jadi calon mantu Bapak." celetuk sang Ayah yang tiba-tiba membuat Yudha jadi salah tingkah. "Ah, Bapak ini ngarang deh. Mana ada dokter secantik Vira belum ada yang punya. Yang ada nanti Yudha dihadang di jalan sama suaminya kalau berani deketin istri orang." "Hahaha, bisa aja kamu, Yud. Kan kamu belum tahu juga, Vira udah punya suami atau belum. Cari tahu sana, Bapak sih senang-senang aja punya mantu seorang dokter, hehehe." "Udah deh, Pak. Dari pada nyuruh Yudha buat kepo sama istrinya orang, mending sekarang Bapak makan ya, Yudha suapi. Terus minum obat, terus istirahat. Biat besok pagi bangun-bangun badan enak, seger terus bisa pulang." Yudhapun berjalan mengambil makanan yang sudah siap di atas meja. Dengan telaten Yudha menyuapi sang Ayah hingga makanan habis tak tersisa. Entah perasaan apa yang Yudha rasakan kini. Bayangan Vira kian melekat kembali di benak Yudha. Cinta pertamanya yang dulu bertepuk sebelah tangan, kini kembali menghampirinya. @@@@@ Vira yang sampai di ruangannya, tiba-tiba tersenyum sendiri. Vira duduk di kursi kerjanya. Pandangannya menerawang jauh ke arah pintu yang tertutup rapat. Ia juga tidak akan menyangka, jika akan bertemu kembali dengan Yudha. Memori beberapa puluh tahun yang lalu terpaksa dia ingat kembali. Mengingat saat Vira tengah kehujanan dan tidak membawa jas hujan. Yudha dengan rela hati, menyerahkan jas hujan miliknya, membuatnya harus mengendarai sepeda motor dengan berbasah-basahan tanpa terlindungi dari jas hujan. Keesokan harinya Vira mendengar bahwa Yudha gak masuk kuliah karena demam. "Mas Yudha! Masih sama seperti yang dulu. Pendiam, lembut, dan tatapan matanya yang selalu meneduhkan." lirihnya. Tanpa sadar, lengkungan senyum terlihat di bibir ranumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD