"Makan yang banyak biar cepat sembuh, biar bisa segera pulang, bisa nyiram cabe lagi, bisa ngasih makan ayam-ayam Bapak yang banyak jumlahnya itu. Ya, pak!" ucapnya Sita. Ia mencoba untuk bisa merasa lebih dekat lagi pada sang Ayah. Walaupun tanggapan sang Ayah tak seperti yang ia harapkan.
Prayoga masih saja diam. Matanya tetap terpaku memandang lurus ke depan. Ada gemuruh di dalam hatinya. Jujur, dia sangat merindukan putri kecilnya ini. Ingin sekali rasanya dia membelai rambut sang putri. Namun ia tahan karena egonya masih meninggi.
Ada sedikit tetesan air yang jatuh dari sudut mata Naimah. Melihat Sita yang begitu gigih untuk terus meluluhkan hati sang Ayah. Naimah bisa membaca bahwa sebenarnya suaminya juga memendam rasa yang sama. Namun entah apa yang ada di isi kepala sang suami, hingga kini masih saja bertahan dengan segala egonya.
Perlahan, isi makanan di dalam piring habis tak tersisa. Prayoga memakannya dengan sangat lahap. Entah karena lapar, atau karena makanannya terasa enak, atau juga karena Sita yang menyuapkannya.
Setelah selesai menyuapi sang Ayah, dan memberikan obat, Prayoga terlihat mulai merasakan kantuk. Perlahan netranya terpejam, hingga akhirnya benar-benar tertidur pulas.
Sita bangkit dari bangku samping ranjang, berjalan mendekati sang Ibu yang masih duduk di sofa belakang, selesai meneguk air mineral dalam botol.
"Bu, habis makannya?" sapanya lalu duduk di samping sang Ibu.
"Alhamdulillah, habis. Makasih ya, Nak. Enak ini nasi ramesnya." sahut Mainah seraya memutar tutup botolnya.
"Ini itu Sita belinya di warung makan langganannya Ibu itu. Warung Ramesan Mbak Jum, yang selatan alun-alun itu." terang Sita.
Mainah membuka mulutnya setengah lebar. "Lhoh, kamu belinya disana to? Pantesan Ibu itu nggak asing sama rasanya. Wah, sudah berapa lama Ibu ndak mampir kesana. Sudah lama banget. Sita, Sita! Masih saja kamu ini ingat makanan senengnya Ibu, makasih ya nduk." ujar Mainah terharu.
"Iya, Bu. Sama-sama."
"Kamu sudah perhatian sama Ibu sama Bapak. Walaupun Ibu lihat, Bapak juga masih segan sama kamu, tapi Ibu yakin, lama-lama Bapak juga pasti luluh, Ta."
Sita meraih jemari sang Ibu. "Semoga ya, Bu. Sita akan terus berusaha. Bagaimanapun sikap Bapak nanti, Sita nggak akan ambil hati."
"Iya nduk. Buktinya tadi, Bapak mau disuapin sama kamu. Padahal tadi itu Ibu hampir saja marah-marah. Bapak itu lho, susahnya suruh makan saja, masih mending nyuruh anak kecilnya dari pada Bapak. Haddduuhh!" tutur Mainah, menggelengkan kepalanya, meluapkan kekesalan dalam hatinya yang sedari tadi ia pendam.
Sita tersenyum geli. "Ya namanya juga orang sudah berumur, bu. Orang tua kan tabiatnya akan kembali lagi seperti anak-anak. Ibu harus ekstra sabar pokoknya ya. Sekarang Bapak sudah enak tidur itu. Efek obt sam kekenyangan juga, hehe." ujarnya tertawa kecil.
"Marah sih nggak, Ta, tapi batinnya di sini ya jengkel." ujar Mainah memegangi d**a.
"Hehehe, sabar, Bu. Mending sekarang Ibu siap-siap buat pulang aja ya. Udah jam segini, Ibu istirahat di rumah aja."
Naimah tercengang. "Lho, kok pulang? Terus Bapakmu siapa yang jaga, nak?"
"Kan ada Sita disini. Biar Sita yang siang ini nungguin Bapak. Ibu pulang istirahat, kalau mau kesini besok pagi aja. Nanti sekitar jam limaan gantian Mas Yudha yang jaga. Sepulang kerja biar langsung kesini buat nemenin Sita. Ya?"
"Terus butikmu gimana? Siapa yang jagain?"
"Kan ada Keinara yang jaga, Bu. Hari ini dia libur nggak ada kuliah." ucapnya lalu mengelus punggung sang Ibu. "Sudah pokoknya Ibu nurut ya apa kata Sita. Sekarang pulang! Sita pesanin taksi." titahnya pada sang Ibu.
Akhirnya Mainah menurut juga apa kata sang putri. Jujur saja, Mainah memang merasakan lelah karena semalam juga tidak bisa tidur dengan nyenyak selama menjaga sang suami di rumah sakit. Raga yang sudah menua tentu saja berpengaruh dengan stamina dan daya tahannya. Sitapun juga tidak ingin sang Ibu terlalu kelelahan, khawatir nanti justru akan ikut jatuh sakit karena lelah.
***
Keinara yang berada di rumah sendirian merasa kesepian. Tak ada kawan yang bisa diajaknya bercerita. Sementara menunggu kedatangan pelanggan sang bunda yang masih lama, tentu saja membuatnya bosan.
Keinara memutuskan untuk menghubungi Zaky, supaya datang dan menemaninya sebelum bundanya kembali.
[Ky, bunda nggak ada di rumah. Kayanya sih pergi sampai sore, main sini gih, temenin aku.] send.
Sebuah pesan yang dikirim oleh Keinara pada Zaky.
Hubungan diam-diam di belakang membuat keduanya harus bermain cantik supaya tidak ketahuan. Cara yang salah memang, tapi bagaimana lagi, gejolak muda mereka sedang naik-naiknya. Tentu akan sulit untuk mengontrol perasaan yang menggebu di kalbu mereka.
Zaky yang dari tadi hanya bermain game di dalam kamarnya, mendapatkan secercah harapan ketika sang kekasih mengirimkan kode bahwa dirinya sedang membutuhkan teman untuk menemani.
Zakypun tak ingin bertele-tele. Ia segera mandi dan berdandan wangi demi memberikan penampilan terbaiknya di depan Keinara.
Tak selang berapa lama, Zaky tiba di rumah Keinara. Mendengar deru mobil yang terdengar berhenti di depan rumahnya, Keinara yang berada di lantai atas segera turun menyambut Zaky dengan penuh semangat.
Keinara membuka pintu, terlihat Zaky sudah berdiri di samping mobil, melemparkan senyuman manis pada kekasih hatinya.
Zaky berjalan mendekati Keinara. Keinara langsung bereaksi ketika mencium parfum yang begitu menyengat mampir di hidungnya.
"Ya ampun. Pakai parfum berapa botol sih, Ky? Baunya sampai nyengat gini!" protes Keinara seraya menutupi hidungnya dengan tangan kanan.
"Hehehe, wangi kan, beb?" timpal Zaky seraya mengedipkan mata sebelahnya.
"Wangi sih wangi! Tapi nggak gini juga kali ah. Buruan masuk!" seru Keinara, seraya membalikkan badannya.
Zakypun dengan yakin melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
Zaky duduk di sebelah Keinara. Di sebuah sofa panjang yang biasa digunakan untuk menerima para pelanggan butik sang bunda.
"Emang bunda kemana, Beb? Tumben nggak ada di rumah." tanyanya basa-basi, matanya seraya menyebarkan pandangannya ke seluruh isi ruangan. Memandangi penampakan macam-macam pakaian yang berjajar dalam gantungan dan juga patung manekin.
"Kakek aku masuk rumah sakit. Jadi ya, harus gantian jagain disana. Pakde Yudha kan harus kerja. Terus kalau Nenek sendiri yang jaga, kasihan juga kan." terang Keinara.
"Owhhh! Semoga kakek kamu cepat sembuh ya." timpalnya bersimpati.
"Makasih, Ky."
Keduanya nampak mulai mengobrol santai, mulai membicarakan masalah mata kuliah, membicarakan kepandaian Sandrina yang tidak ada tandingannya di kelas, lama-lama beralih membicarakan hal-hal yang tak begitu penting lainnya.
Keduanya terlihat begitu menikmati alur yang mengalir begitu saja. Tidak harus pura-pura menjaga jarak seperti saat sedang membaur dengan teman-temannya.
Pernah mendengar pepatah, 'jangan berdua-duaan karena nanti ke ketiga itu adalah setan?'
Layaknya pasangan muda lainnya yang tengah di mabuk asmara. Keinara dan Zakypun akhirnya terjebak juga dalam kondisi yang demikian. Didukung dengan suasana yang sepi dan hanya ada mereka berdua.
Awalnya hanya saling lempar pujian, lalu colek-colekan, di lanjutkan dengan saling pegangan tangan, namun lama-kelamaan tangan Zaky mulai nakal.
Zaky tiba-tiba meraih dagu Keinara. Naasnya, Keinara membiarkannya tanpa penolakan. Keduanya saling menatap mesra. Semakin dalam, semakin membuat setan bebas leluasa membisikkan kalimat-kalimat penggoda untuk keduanya. Jelas, ada terbersit nafsu dalam pandangan kedua anak muda tersebut.
Perlahan bibir keduanya saling mendekat, terasa saling merasakan hembusan nafas yang keluar dari lubang hidung keduanya, hingga akhirnya bibir keduanya saling menyatu dan terus tenggelam saling memagut satu sama lain.
Tangan Zaky juga tak bisa berdiam begitu saja. Tangannya mulai bergerilya kemana-mana. Lagi-lagi Keinara pasrah tanpa penolakan. Menjelajahi hampir sebagian tubuh Keinara, hingga akhirnya ia menghentikan pada sebuah gundukan yang sensitif milik Keinara.
Ternyata Tuhan masih menyayangi keduanya, Keinara mendadak terbangun dari kenikmatannya. Ia tersadar bahwa apa yang ia lakukan ini sudah terlalu jauh. Keinara menarik paksa bibirnya dari pagutan Zaky.
Zaky terperanjat, iapun sadar apa yang ia lakukan sudah terlalu jauh.
"Ky, udahan ya? Aku takut nanti... "
Zaky tertunduk sesaat, lalu memberanikan diri menatap Keinara. "Maaf, beb. Aku kelepasan!" tuturnya penuh penyesalan.
Keinara tersenyum walaupun terlihat getir. Kemudian menggeleng. "Nggak apa-apa, Ky. Untung kita cepat sadar, kalau nggak bisa entah sudah sampai mana kita tadi. Huufffft!" Keinara menjatuhkan pundaknya di bahu sofa, memejamkan mata dan terus menata nafasnya.
"Untung aku masih sadar!" ucapnya dalam hati.
Zaky ikut menjatuhkan punggungnya ke bahu sofa, sekarang kepala keduanya terlihat berdekatan.
"Gimana ya kalau tadi kita kelepasan? Udah beda ceritanya kali ya, Kei? Hehehe." ucapnya menertawakan dirinya sendiri.
Keinara menoleh. "Tuhan masih sayang sama kita, Ky. Lain kali jangan kaya gini lagi ya? Aku beneran takut sama bunda kalau dia sampai tahu hubungan kita memang sudah sejauh ini. Aku nggak mau bikin bunda kecewa. Bunda sudah terlalu kecewa dengan dirinya sendiri, dan sekarang harus kecewa juga karena ulahku lagi." tuturnya dengan netra yang berkaca.
Zaky menarik kepalanya, lalu menatap Keinara dengan penuh makna. Menggerakkan tangan kanannya ke pipi Keinara. "Aku janji, aku nggak akan mengulanginya lagi. Aku akan jaga kamu, Kei, sampai suatu saat nanti bunda kamu benar-benar memberikan restunya pada kita." ujarnya penuh kesungguhan.
Keinara mengangguk pelan. Zaky beringsut, membenarkan posisi duduknya.
"Owh iya, Kamu dapat salam dari Papaku, Kei. Katanya nanti kalau dia ke Jogja lagi, pengen ketemu sama kamu. Mau nggak?"
"Papa kamu? Kok dia tahu tentang aku? Emang kamu cerita ya sama Papa kamu?"
"He he he, awalnya sih nggak cerita. Cuma ketahuan aja pas aku lagi buka foto kamu di galeri. Ya udah, kepalang tanggung juga mau bohong kan." tutur Zaky.
"Terus... kamu nggak dimarahi sama Papa kamu gitu?"
"Ya nggak lah! Papa aku kan juga pernah muda, dia paham lah urusan anak muda kaya mana, hehehe."
"Iya juga ya. Bundaku juga pernah muda, tapi karena pengalaman buruknya, sekarang aku yang kena imbasnya, hi hi hi."
Keduanyapun saling menatap, lalu tertawa lirih.