Enam Tiga

2001 Words
Pagi-pagi sekitar pukul delapan, Agas sudah sampai di depan pintu kamar hotel. Setelah memencet tombol bel, tak selang berapa lama, Rafly membukakan pintu. Betapa terkejutnya Agas ketika melihat wajah Rafly yang biru-biru dan bengkak karena babak belur akibat di hajar oleh Yudha tadi malam. "Astaga! Raf! Muka kamu kenapa? Habis berantem sama siapa sih?" serunya masih keadaan berdiri di tengah pintu. Rafly tak lantas menjawab. Ia membalikkan tubuhnya dan kembali ke dalam. Agas pun menyusulnya berjalan di belakang Rafly. "Semalam aku di hajar sama Mas Yudha." terang Rafly seraya duduk di sofa. "Semalam? Maksudnya semalam kamu ketemu sama Mas Yudha gitu?" "Ya, semalam aku ke rumah Sita lagi, Gas. Kebetulan pas Mas Yudha juga ada di sana. Baru juga aku ngucapin selamat malam, udah di hadiahi pukulan bertubi-tubi. Aahhh!" sahutnya, seraya memegangi pipinya yang juga terlihat memar. "Itu namanya kamu cari mati, Raf! Kamu kenapa nggak kabarin aku? Aku kan bisa nemenin kesana. Setidaknya kalau kamu di hajar, aku bisa melerai dan nggak akan separah ini kejadiannya. Nggak sabaran banget jadi orang!" hardik Agas yang merasa jengkel. Merasa perjuangannya selama beberapa waktu ini sia-sia karena kecerobohan yang di lakukan Rafly. "Ya gimana lagi,Gas. Hatiku nggak tenang. Aku nggak bisa nahan lagi, Gas! Aku juga mikir-mikir ulang, seandainya Sukma tahu soal ini, dia pasti akan sangat marah dan kecewa sama aku. Apalagi dia tahu selama ini aku sudah membohonginya tentang banyak hal. Hubungan rumah tanggaku bisa jadi taruhannya. Sudah masalah dengan Sita belum selesai, ditambah dengan rumah tanggaku. Aku nggak mau itu terjadi. Jadi ya, semalam aku putuskan buat datang lagi ke rumah dia. Tapi ternyata, malah Mas Yudha ada di situ juga. Ya sudah. Dia langsung menghajarku habis-habisan." ungkap Rafly, sambil mengelus bibirnya yang masih bengkak. "Terus, maksudnya kamu sama sekali nggak melawan, gitu?" Rafly mengangguk. "Ya. Aku biarkan Mas Yudha memukuliku sepuasnya. Lagian, pukulan-pukulan yang aku terima ini juga rasanya belum cukup untuk membayar penderitaan yang aku berikan pada keluarga mereka selama hampir dua puluh tahun ini. Jadi ya, aku pasrah aja." "Rafly! Rafly! Ikut pusing aku mikirin masalah yang nggak kelar-kelar ini. Haduhh!" keluh Agas. Kemudian ia mengambil sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah benda kecil berbentuk kotak. Di dalamnya masih ada sebuah benda berbentuk panjang berwarna putih yang siap untuk ia bakar dan nikmati asapnya. Rafly menjatuhan tubuhnya ke bahu sofa, terlihat frustasi. "Terus, sekarang apa yang akan kamu lakukan? Nggak mungkin juga kan kamu pulang dalam keadaan wajah bonyok kaya gini? Mau alibi apa sama istrimu?" seraya mengepulkan asap ke atas. "Iya, aku juga mikir kali, Gas. Aku mau menunda kepulanganku sementara. Aku akan bilang kalau urusan di Malang masih belum selesai. Mudah-mudahan saja Sukma masih percaya." "Syukurlah kalau masih percaya! Aku harap juga seperti itu." timpal Agas. "Sekarang, mau di antar ke dokter dulu nggak? Udah bibir jontor, mata picek, pipi bengkak. Udah kaga berbentuk wajah orang tuh muka mu, Raf! Heh!" ujar Agas setengah meledek. "Iya rencananya aku juga mau ke dokter, Gas. Biar mempercepat penyembuhannya." Agas menghela nafas. *** Di tengah-tengah menikmati jajanan ringan di taman kuliner, tiba-tiba Vira datang menyambangi Yudha yang tengah menikmati baso mercon yang sedang hits mewarnai iklan kuliner di kota Jogja saat ini. "Pagi semua." sapa Vira dengan ramah. Ketiganya pun sontak bersamaan memandang ke sumber suara. Sita dan Keinara nampak terkejut, melihat orang yang menurut mereka masih asing, karena hampir tidak pernah bertemu secara langsung. "Eh, Vir! Udah datang. Sini duduk!" timpal Yudha. Virapun ikut bergabung duduk di tikar, sebelah Yudha. Sita dan Keinara saling bertatapan, lalu saling melempar kode. Keinara menggerakkan alisnya, seakan bertanya, siapa wanita yang baru saja datang tersebut. Namun karena Sita juga tak begitu paham, ia pun hanya menjawab dengan gelengan kepala. "Sita, Keinara! Kok kalian diam aja sih? Malah bengong kaya gitu!" seru Yudha, yang aneh melihat Sita dan Keinara jadi diam tanpa suara. "Hai, semua. Senang bertemu dengan kalian. Tadi aku di WA sama Mas Yudha, katanya lagi ada di taman kuliner. Ya udah jadi aku nyusul aja kesini. Nggak apa-apa kan, kalau aku ikut gabung sama kalian disini?" tanya Vira agak segan. Takut saja jika kehadirannya bakal mengganggu acara keluarga mereka. "He he he. Nggak apa-apa kok, Kak. Banyak orang jadi makin rame." timpal Keinara. Lalu mengulurkan tangannya, mengajak Vira berjabat tangan. "Keinara!" Dengan senang hati, Vira segera membalas jabat tangan Keinara. "Vira. panggil aja tante atau bude deh. Kalau Kakak itu terlalu muda. Nggak cocok sama usia, he he." gurau Vira. Kemudian melepaskan jabatan tangannya. "Nggak cocok gimana sih, Kak. Orang masih muda dan cantik kaya gini ya masih pantes lah di panggil Kakak." timpal Keinara. "Hih, cerewet banget sih anak satu ini. Orangnya aja nggak mau di panggil Kakak kok maksa." seloroh Yudha. Vira beralih menyalami Sita. "Eh bentar, ini Sita baru ingat deh. Ini Bu dokter Vira kan ya? Dokter yang menangani Bapak waktu di rumah sakit? Terus kita pernah ketemu waktu di acara resepsinya Mbak Tantri kan?" Vira pun senyum. "Iya benar sekali, Mbak Sita. Kita pernah ketemu!" "Ya ampun iya. Aku baru ingat!" Ke empatnya pun langsung bisa membaur satu sama lain dengan begitu akrab. *** Ratna merasa jika hari liburnya kali ini cukup membuatnya tidak bersemangat. Entahlah, hanya saja Ratna merasa malas untuk melakukan apapun. "Udah jam sembilan aja! Tapi kenapa mager gini ya. Malas mau ngapa-ngapain juga. Huff!" gerutu Ratna, masih berada di dalam kamar dan di atas kasur bertutupkan selimut. Ini tidak seperti biasanya. Ratna yang selalu mengisi hari liburnya dengan semangat melakukan berbagai kegiatan, seperti memasak atau membuat resep kue baru yang baru ia lihat di Utube, atau juga memilih merawat tanaman hias koleksinya yang cukup banyak ia simpan di teras. Sama sekali tidak ada semangat yang ia rasakan. Sang Ayah pun nampak terheran melihat putrinya yang belum menampakkan diri keluar kamar. Bahkan pintu kamarnyapun masih tertutup rapat. "Ratna kok belum keluar kamar ya? Apa lagi nggak enak badan?" gumam sang Ayah yang sudah berdiri di depan pintu kamar Ratna. Wardi pun segera mengetuk pintu kamar, ingin memastikan sang putri baik-baik saja. "Nak! Sudah bangun belum? Boleh Bapak masuk?" seru Wardi. "Masuk aja, Pak. Nggak di kunci pintunya." sahut Ratna dari dalam. Wardi segera membuka pintu, dan terang saja masih mendapati sang putri terbaring bertutup selimut. Wardi segera berjalan cepat mendekati Ratna. Ia periksa keningnya untuk mengecek suhu tubuh. Ratna mengernyitkan keningnya. "Ratna baik-baik aja, Pak! Nggak sakit!" ujarnya. Kemudian ia bangun, menyingkap selimutnya dan duduk. Wardi pun ikut duduk di samping Ratna. "Syukurlah! Bapak khawatir, Nak. Soalnya dari tadi kamu ndak ada keluar kamar. Kenapa kok jam segini masih betah selimutan gini? Tuh mataharinya saja sudah jauh tinggi." "He he. Ratna lagi malas aja, Pak. Lagian kan hari ini libur juga. Jadi ya nggak ada yang perlu di kerjain. Mau ngapain lagi coba?" "Ya ngapain lah, nak. Nyuci-nyuci genteng apa ngepel kebon gitu. Biar ada kegiatan!" "He he he. Bapak ada-ada aja lah. Masak genteng di cuci sih." sahut Ratna seraya terkekeh. "Lha katanya ndak ada kegiatan to, he he he." Wardi ikut terkekeh. "Ya tapi kan nggak perlu nyuci genteng sama ngepel kebon juga kan, Pak. Nanti disangkanya orang, Ratnanya oleng!" "Ha ha ha." keduanya pun tertawa terbahak-bahak. Wardi tiba-tiba mengelus kepala sang putri, menatapnya dengan lembut. Ratna pun mencoba menatap netra sang Ayah dan berusaha menyembunyikan kesedihannya. "Kamu lagi ada masalah, nak? Cerita sama Bapak!" Hati Ratna berdegup. Sang Ayah sepertinya curiga dengan keadaan batinnya saat ini. "Apa Bapak tahu kalau aku lagi sedih? Ah, jangan sampai! Aku nggak mau Bapak sampai kepikiran. Apalagi ini menyangkut soal Mas Yudha. Aku harus bisa mengalihkan perhatian Bapak." batin Ratna. "Masalah apa sih, Pak? Ratna baik-baik. Cuma lagi malas-malasan aja, Pak. Bapak nggak udah aneh-aneh deh mikirnya, ya!" "Beneran kamu baik-baik aja? Bapak ndak mau lihat anak kesayangan Bapak ini sedih. Pokoknya anak Bapak harus selalu bahagia. Bapak akan lakukan apapun kebahagiaan kamu, nak!" ungkap Wardi penuh dengan keseriusan. Ratnapun langsung memeluk sang Ayah. Ia tidak bisa membendung lagi rasa harunya atas segala apapun yang sudah sang Ayah lakukan untuknya selama ini. "Makasih banyak ya, Pak. Selama ini Bapak sudah selalu bisa menuruti apa yang Ratna inginkan. Selalu berusaha membahagiakan Ratna dengan berbagai cara. Bapak adalah orang tua yang sangat luar biasa. Maaf, Ratna belum bisa membalas semua kebaikan Bapak. Dan rasanya juga, Ratna nggak akan pernah bisa membalas ini semua. Sekali lagi terimakasih ya, Pak." ucap Ratna terbata dalam dekapan sang Ayah. "Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk membahagiakan anaknya. Kamu ndak perlu bilang terimakasih segala, nak! Bapak bahagia melakukan ini semua untuk kamu." balas Wardi yang tak kalah haru. Orang tua manapun tentu akan bersikap sama seperti Wardi. Apapun akan dilakukan demi kebahagiaan anak-anak mereka. Beruntungnya Ratna, mempunyai Ayah sepertu Wardi. "Nak, bagaimana kalau kita jalan-jalan saja yuk, ke tamam kuliner." ajak Wardi penuh semangat. "Taman kuliner? Yang di dekat kantor pemerintah daerah itu, Pak?" ucap Ratna, kemudian menarik tubuhnya dari dekap sang Ayah. "Iya. Mau ndak? Bapak dengar disana banyak hiburannya. Banyak makanannya juga. Gimana, mau ndak? Itung-itung buat refreshing, nak." terang Wardi. Ratna terlihat berfikir sejenak. "Emmm, boleh deh, Pak. Tapi Ratna mandi dulu ya." "OK Siap! Bapak tunggu! Jangan lupa dandan yang cantik juga ya, he he." Wardi beranjak dari kamar sang putri. Sembari menunggu selesai membersihkan diri, dia pergi ke garasi untuk memanasi mobilnya terlebih dahulu. *** Perasaan Sukma masih saja merasa tidak enak. Apalagi setelah kejadian gelas pecah tadi malam. Hatinya makin tidak tenang. "Zaky? Aku telpon Zaky aja kali ya. Kalau telpon Mas Rafly, nanti takut ganggu! Kali aja dia lagi ada meeting penting sama kliennya, kan." ujarnya sendiri. Sukma pun segera menekan kontak sang putra, Zaky. Tut tut tut. "Hemmmm, apa Ma?" sahut Zaky di seberang pulau sana, dengan suaranya yang parau. "Ya ampun, Ky? Kamu belum bangun, Nak? Ini sudah jam berapa!" seru Sukma. "Hemmm, Zaky masih ngantuk, Ma. Lagian kan ini hari libur. Nggak ada kuliah juga. Zaky mau tidur seharian." timpal Zaky, masih dengan suara beratnya. "Ya tapi kan," Belum selesai berbicara, Zaky memotong bicara sang Mama. "Ma, udah ya! Zaky masih ngantuk banget ini. Mau lanjut tidur lagi. OK Ma! Bye, Ma, muach!" Zaky langsung menutup telponnya. "Haloo, Ky? Zaky? Hallo!" Sukma melihat layar ponselnya yang menunjukkan sambungan telepon sudah terputus. "Astaga! Ini anak!" seru Sukma sedikit kesal. "Nggak tahu apa Mamanya ini kangen, pengen ngobrol, pengen kangen-kangenan. Malah ditinggal tidur! Zaky! Zaky!" Tak selang berapa lama, ponsel Sukma berdering. Segera ia periksa siapa gerangan yang menelponnya. "Mas Rafly telpon. Tumben ih!" ujarnya sambil senyum-senyum sendiri. Sukma segera mengangkat telepon dari Rafly. "Iya, Mas. Ada apa? Meetingnya udah selesai?" "Iya ini lagi break aja, sayang. Makanya aku sempetin buat telfon kamu, he he." Sukma tersenyum salah tingkah. "Halah, disempatin katanya!" "Iya nanti takutnya yang di rumah pikirannya kemana-mana kalau nggak disempetin telpon mah. Bisa-bisa nanti pulang nggak di kasih jatah mingguan nih." seloroh Rafly serata tertawa kecil. "Ya iya lah! Nggak dikasih jatah sekaligus tidurnya di luar! Mau? He he he." balas Sukma. "Hemm, gitu sekarang ya. Awas aja nanti sampai rumah aku bikin kamu klepek-klepek baru kapok deh. "Coba aja!" tantang Sukma. "OK, kita lihat aja nanti, tunggu tiga hari kedepan ya, he he he." Mendengar Rafly akan pulang tiga hari lagi, membuat Sukma sedikit bertanya. "Kok tiga hari lagi sih, Mas? Bukannya nanti sore udah balik ya?" "Gini sayang, kebetulan ini aku ada sedikit masalah di luar rencana. Dan kayanya nggak busa aku tinggalin gitu aja. Ini harus aku sendiri yang urus. Jadi ya, mau nggak mau aku harus tinggal agak lebih lama lagi disini. Kamu nggak apa-apa kan?" "Ya nggak apa-apa sih, Mas. Yang penting semuanya lancar aja deh." "Atau, kalau kamu mau nyusul kesini biar aku pesenin tiketnya, gimana?" "Nggak usah lah, Mas. Aku nunggu disini aja. Yang penting kamu sehat, usaha lancar, itu udah cukup membuatku tenang." tolak Sukma. "Alhamdulillah, istriku pengertian sekali. Kalau gitu udah dulu ya sayang. Bentar lagi meeting akan dimulai lagi. Baik-baik di rumah ya. Bye sayang, muach." "Bye sayang, muach." balas Sukma. Sambungan telepon terputus. Sukma diam sejenak. Baru kali ini suaminya pergi keluar kota lebih lama dari biasanya. "Ya Allah! Lindungi suamiku dimanapun dia berada." doa Sukma kali ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD