Enam Empat

1142 Words
Ratna dan sang Ayah menuju ke taman kuliner. Benar saja sampainya di lokasi, suasana sangat ramai. Banyak pengunjung berlalu-lalang disana. Banyak juga orang berjualan berbagai jenis makanan yang membuat ngiler mata dan juga mulut. "Wah, Pak. Ratna mau jajan batagor yang disana ya. Bapak mau?" tawar Ratna. "Batagor? Ndak lah. Makanan apa itu? Bata di goreng?" tanya Wardi dengan polosnya. "Ha ha ha! Bukan bata di goreng, Pak." Ratna terkekeh. "Itu makanan khas dari Jawa Barat. Enak kok. Tepung yang ada rasa-rasa ikan gitu deh pokoknya. Mau nggak?" "Lah ndak lah!" tolak Wardi. Kemudian ia menyebarkan pandangannya ke seluruh area. Berhentilah dia di salah satu jajanan yang menurutnya layak untuk di coba. "Nah, itu saja nak. Bapak mau dawet yang di ujung itu. Dawet ayu gula merah. Itu saja." ungkap Prayoga seraya menunjuk ke penjual dawet yang letaknya paling unjung. "Owh, mau dawet? Siap! Ratna beli dulu ya, Pak. Bapak tunggu aja disini." Ratna pun bergegas menuju ke stand jajanan. Moodnya yang dari pagi berantakan, mendadak menjadi lumayan naik gara-gara diajak oleh sang Ayah ke keramaian pasar kuliner. "Bapak bisa aja ya, tahu tempat kaya gini." ujarnya dalam hati. "Aa, batagornya satu ya. Gorengnya jangan garing-garing!" ucapnya pada abang penjual batagor. "Iya neng. Tunggu sebentar ya." jawab si penjual batagornya. Tak sampai lima menit, batagor sudah di tangan. Saatnya lanjut membeli dawet pesanan sang Ayah. Ratna melanjutkan langkahnya ke stand palung ujung, dimana penjual dawet berada. Stand nya termasuk sepi, karena mungkin letaknya diujung dan pengunjung malas untuk berjalan kesana. Sesampainya di depan stand, Ratna langsung disambut ramah oleh si penjual. Seorang laki-laki muda berparas coklat. "Monggo Mbaknya, mari di beli dawetnya. Dijamin rasanya enak dan asli bahannya dari gula merah aren tanpa campuran." ujar si penjual. "Saya mau dawetnya dua ya Mas. Pakai es tapi dikit aja, di bungkus!" pinta Ratna dengan ramah. "Owh siap Mbak. Mohon di tunggu sebentar." Dengan sigap sang penjual oun segera melayani permintaan Ratna. Seraya menunggu selesainya di bungkus, mata Ratna sengaja menyebarkan ke seluruh area taman. Taman kuliner ini memang luas, dan sepertinya memang dirancang untuk objek wisata. Terlihat penataan tempatnya yang cukup apik, dengan rumput-rumput hijau yang bersih dan disertai kursi-kursi yang di telakan di bawah pohon-pohon. Mata Ratna mendadak berhenti saat melihat Yudha sedang duduk di tikar di bawah pohon. "Lhoh, itu ada Mas Yudha juga." lirihnya, lalu mengurai tawa. "Abis ini aku ajak Bapak gabung kesana aja lah!" ucapnya semangat. Namun seketika d**a Ratna kembali bergemuruh ketika matanya melihat pemandangan di samping Yudha yang begitu menusuk hatinya. Ya, Ratna melihat dengan sangat jelas, ada Seorang wanita di sebelah Yudha yang terlihat begitu akrab dan dekat. Wanita yang sangat cantik. Dari dandannya yang rapi dan berkelas, dia sepertinya bukan wanita sembarangan. "Ya Allah, siapa wanita yang ada di dekat Mas Yudha itu? Apa itu wanita yang di maksud oleh Mas Yudha kemarin? Apa itu yang ia bulang sebagai pacar? Benarkah Mas Yudha memang sudah punya pacar?" batinnya gemuruh. "Mbak, dua bungkus sudah jadi. Totalnya lima belas ribu." ucap si penjual. Ratna terlihat diam. Sepertinya dia tidak mendengar apa yang diucapkan oleh sang penjual. "Mbak cantik!" seru si penjual, lagi. Sontak Ratna terperanjat mendengar seruan tersebut. Ia membalikkan tubuhnya mengarah ke si penjual. "Oh iya, gimana, Mas?" "Ini sudah jadi dawetnya. Total lima belas ribu. Mbaknya melamun apa sih? He he he." gurau si penjual. Ratna menerima bungkusan dalam plastik. "Nggak Mas. Tadi lagi fokus aja melihat kondisi taman ini. Kayanya lain kali cocok juga buat ajak keluarga piknik kesini, he he." sahut Ratna sekenanya. Ratna memberikan uang berwarna hijau pada si penjual. "Ini Mas! Kembaliannya ambil aja ya." "Wah, alhamdulillah! Makasih banyak ya Mbak cantik. Semoga rezeki Mbak cantik diganti makin banyak sama Allah." ucap si penjual sebagai wujud rasa syukurnya. Ratna tersenyum, dan segera meninggalkan tempat itu. Berjalan menuju ke arah sang Ayah dengan gontai. Kakinya seakan lemas tak kuat untuk menapak. Hari ini Yudha benar-benar membuatnya kecewa. "Wah sudah datang nih dawetnya!" sambut sang Ayah dengan girang. "Mana punya Bapak! Panas-panas gini enak nih minum es dawet." ujar Wardi. Ratna duduk di sebelah sang Ayah, lalu memberikan bungkusan plastik tersebut. Wardi segera meminum dawet yang dikemas dalam sebuah gelas plastik tersebut. "Wahhh, benar-benar seger, nak. Mantap juga ini rasanya. Nanti kalau pulang beli lagi ya, buat di minum di rumah." ucapnya. "Beli lagi? Emmm, itu sudah habis Pak. Tadi Ratna kebagian tang terakhir. Dawetnya enak jadi we banyak yg beli. He he. Kalau buat di rumah, ini Ratna masih ada satu, nanti di bawa pulang ya." ucap Ratna. Sengaja menghentikan niat sang Ayah. Tidak mungkin ia akan berani kembali lagi ke tempat penjual dawet, yang ada hatinya akan semakin panas melihat pemandangan yang menyayat hatinya lagi. "Owh sudah habis to. Ya sudah." sahut Wardi sekenanya. "Itu batagor kenapa didiemin aja, dimakan! Keburu dingin nanti ndak enak lho!" imbuh Wardi. "Emm, nanti lah, Pak. Mau di makan di rumah aja. Mendadak perut Ratna nggak enak gini." ujarnya beralasan. Ratna diam, mencari cara supaya bisa mengajak pulang sang Ayah. Dia tidak mau saat nanti jalan-jalan mengelilingi taman, sang Ayah akan mendapati Yudha bersama wanita lain. Tentu saja ini akan menimbulkan masalah baru, bukan masalah kecil karena pasti akan melibatkan kedua belah keluarga. Ratna tidak mau itu terjadi. "Aduhh!" Ratna memegangi perutnya, dengan wajahnya yang meringis. Sontak membuat Wardi yang fokus menikmati dawet pun terhenyak, menoleh ke arah Ratna. "Kenapa perutnya, Nak?" tanyanya panik. Kemudian meletakkan gelas plastik di tangannya ke sisinya. "Pak, perut Ratna sakit banget ini. Aduh nggak tahan, Pak." seru Ratna. "Aduh kok bisa sakit sih? Tadi kan baik-baik aja." Wardi mulai kebingungan. "Kita pulang aja ya, Pak. Ratna pengen tengkurepin di kasur. Biasanya kalau kaya gitu jadi nggak sakit lagi." pintanya mengada-ada. Tentu saja supaya sang Ayah bisa segera meninggalkan taman. "Ya sudah ayok kita pulang, Nak. Sini Bapak bantu jalannya. Duh alah, Na, Ratna! Pakai acara sakit perut segala to, Nak!" tuturnya seraya berjalan menuju ke parkiran. Sesampainya di mobil, Wardi segera tancap gas menuju ke arah rumah. Dia juga sudah tidak tega melihat Ratna yang makin kesakitan memegangi perutnya. *** Sementara rombongan Yudha, Sita, Keinara, dan Vira masih terus menikmati kebersamaan mereka di tengah taman. Bahkan sudah beberapa kali mereka memesan makanan untuk mengganjal perut yang makin kekenyangan. "Aduh, kayanya udah deh pesan makanannya. Perut aku kenyang banget nih." keluh Keinara, memegangi perutnya yang memang terlihat buncit. "Iya ya Kei. Bunda juga udah kenyang banget ini." sahut Sita. "Terus mau ngapain disini kalau nggak makan-makan? Namanya juga wisata kuliner!" celetuk Yudha yang masih semangat menikmati cilok di tangannya. "Kita lanjut jalan-jalan ke mana gitu kek. Ke pantai aja gimana?" imbuh Vira. Ketiganya sontak menatap ke arah Vira, lalu tersenyum bersamaan. "Ide bagus, Bu dokter. Ke pantai. Aku setuju!" ungkap Sita bersemangat. "Aku juga sangat setuju!" timpal Keinara. "Wah, boleh juga. Ya sudah, yok cus pantai!" Yudha pun tak kalah semangatnya. Keempatnya meninggalkan taman kuliner, bersiap menuju ke pantai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD