Empat Tiga

2034 Words
Darrrr! Kilat dan suara halilintar terdengar di langit Jogja. Langit yang semakin menunjukkan sisi gelapnya. Angin yang bertiup juga terasa menyapu tubuh, biasanya menandakan sebentar lagi akan datang hujan lebat. Sita menyunggingkan senyum sinisnya. Melipat kedua tangannya ke d**a. "Berani sekali anda bertanya seperti itu? Hai! Siapa anda? Apa hak anda bertanya demikian?" ucapnya seperti terlihat menantang. Rafly masih mempertahankan tatapannya pada Sita. "Sita, jawab! Apa Keinara itu anak kita?" Netra Rafly makin penuh dengan buih-buih yang siap meluruh saat itu juga. "Bukan urusan anda, Keinara itu siapa. Anda juga tidak berhak menanyakan identitas anak saya, Keinara. Ingat ya, 'anak saya'. Dan jangan coba-coba untuk menyentuhnya walaupun hanya seujung kuku hitam jari anda! Karena saya tidak akan pernah mengizinkannya." gertak Sita semakin tersulut emosinya. Rafly menggelengkan kepalanya. Dia sadar kemarahan Sita tidak bisa ia salahkan sepenuhnya. Semuanya memang salah dirinya sendiri. "Dimana Keinara, Ta? Aku ingin bertemu dengan dia." "Apa? Sebentar! Apa penjelasan saya barusan kurang jelas ya! Anda tidak berhak atas apapun yang terjadi pada Keinara. Keinara tidak memiliki hubungan apapun dengan anda. Jadi saya mohon, cukup sampai disini! Silakan anda meninggalkan tempat ini. Saya capek dan mau beristirahat!" ujar Sita. "Sita aku mohon! Jangan buat aku gila seperti ini. Iya, aku mengaku salah! Aku khilaf! Tidak seharusnya saat itu aku pergi, tidak seharusnya aku meninggalkan kamu, memberikan beban yang harus kamu pikul sendiri. Aku salah, Ta. Tapi tolong, berikan maaf itu untukku. Jangan siksa aku seperti ini. Jangan buat aku merasakan penyesalan seumur hidupku. Aku mohon!" Rafly masih terus mencoba membuat hati Sita tersentuh. "Sudah cukup bicaranya?" timpal Sita datar. Seolah dia tidak perduli dengan rengekan Rafly. Sita melepaskan lipatan tangannya. Meraih pintu dan ingin menutupnya. Tapi tangan Rafly masih berusaha untuk menghalanginya. "Keinara itu anak kita kan, Ta? Dia anak kita kan, Ta?" seru Rafly dengan sebuncah kegamangan di hatinya. Kali ini suara Rafly terdengar cukup keras. Bersamaan dengan itu turun hujan lebat secara tiba-tiba. Agas yang menunggu di dalam mobil sempat tercengang karena mendengar soal anak diantara Rafly dan Sita. "Anak? Anak siapa sih yang mereka maksud? Makin aneh aja!" ujarnya lirih. Daaaarrrrr. Halilintar terdengar menunjukkan digdayanya. Hujan pun makin deras. "Saya tegaskan sekali lagi, Keinara bukan anak anda." seru Sita seraya menunjuk ke d**a Rafly. "Keinara itu anak saya. Dan asal anda tahu, Ayah Keinara sudah lama meninggal dunia. Jadi tolong, jangan usik kehidupan kami. Pergi dari sini!" usir Sita. Melihat pertahanan tangan Rafly yang melemah, Sita segera mengambil inisiatif untuk menarik pintu, dan akhirnya berhasil tertutup juga. Sementara Rafly justru malah mematung. "Ayah Keinara sudah meninggal?" ucap Rafly lirih. Tentu saja ada rasa sayatan yang perih dalam hatinya mendengar pernyataan yang Sita lontarkan barusan. 'Meninggal'. Rafly membalikkan tubuhnya, perlahan berjalan menembus derasnya hujan menuju ke mobil. Dia masuk ke dalam mobil dengan pakaiannya yang basah kuyup. Terlihat kentara sekali wajah kecewanya karena dia tidak berhasil mendapatkan jawaban yang dia inginkan, dan justru permintaan maafnya terhadap Sita di tolak mentah-mentah. "Raf, kamu baik-baik aja kan?" tanya Agas yang terlihat khawatir melihat temannya dengan tatapan datarnya. "Aku nggak apa-apa, Gas! Kita balik ke hotel aja." ucapnya lesu. "OK, Raf!" sahutnya. Agas melajukan mobilnya menuju ke hotel. Karena hujan sangat lebat dan jarak pandang yang terbatas, mobil hanya bisa melaju dengan kecepatan dua puluh kilo meter per jam, sangat pelan. "Raf, apa aku tadi nggak salah dengar? Sita tadi nyebutin soal anak. Anak siapa si, Raf?" tanya Agas, mencari tahu tentang rasa penasarannya sedari tadi. Rafly tersenyum getir. Seraya mengelap wajahnya yang masih basah karena guyuran air hujan. "Anak kita, Gas!" timpal Rafly singkat. "Anak kita gimana sih, Raf? Aku nggak paham deh." cecarnya. "Kamu dulu pernah dengar kan, kalau aku dan Sita sempat berpacaran di awal kita masuk kuliah?" Agas mengangguk. "Iya, aku mendengarnya. Lantas?" "Aku dan Sita, kami punya anak, Gas. Dan bodohnya saat itu adalah, aku kabur dan tidak siap untuk bertanggung jawab saat itu. Aku meninggalkan Sita begitu saja, dengan membebankan semua penderitaannya pada dia sendiri." Nggiikk. Mendadak Agas menginjak rem. Menepikan mobil di sisi jalan. Dia menoleh cepat pada Rafly. "Sebentar! Aku makin bingung ini, Raf! Kamu sama Sita punya anak? Emang saat itu kalian udah nikah, atau gimana sih?" tutur Agas dengan wajah bingung. Rafly menegakkan pandangannya ke depan, menatap derasnya hujan di luar sana. Kemudian dia mulai bercerita. "Saat itu kami terlalu menikmati gaya pacaran kami yan kelewat batas. Hingga suatu hari, Sita hamil." Mata Agas sontak melebar. Mulutnya pun setengah terbuka. Ia terkejut dengan penjelasan yang keluar dari mulut Rafly. "Aku bingung, panik. Aku sudah mencoba untuk membujuk Sita untuk menggugurkan kandungan itu, tapi Sita menolak dengan keras. Dia kukuh meminta tanggung jawab dariku. Saat itu yang ada di pikiran aku hanyalah, pendidikan yang selama ini aku jalani pasti kaan sia-sia kalau aku tinggal menikah. Aku nggak mau itu terjadi. Terlebih, orang tuaku juga pasti akan menentang mentah-mentah pernikahan dini itu. Terpaksa aku membohongi Sita. Aku mengatakan padanya jika aku akan pulang untuk menjemput orang tuaku, dan membawanya kembali ke Jogja untuk meminangnya. Tapi itu hanya akal bulusku aja. Setelah aku meninggalkan Jogja, aku tak pernah kembali lagi ke sini. Aku benar-benar pergi. Tidak meninggalkan jejak sedikitpun." "Hah! Astaghfirullah Rafly. Gila kamu ya! Anak orang itu kamu perlakukan kaya gitu? Gila, Raf!" seru Agas, yang tidak menyangka jika sahabatnya ini bisa melakukan hal seburuk itu. "Iya, Gas. Aku gila! Aku laki-laki yang tidak punya perasaan. Memang, aku akui itu." "Terus waktu kamu ngurus-ngurus soal pindah kampus itu memang kamu sengaja?" Rafly mengangguk. "Ya. Aku sengaja mengurus kepindahan kuliahku diam-diam. Karena kalau sampai Sita tahu, itu nggak akan mungkin terjadi." terangnya lirih, kembali menatap derasnya air hujan yang mengguyur kaca mobil. "Kejam memang! Tapi saat itu aku benar-benar kalut. Aku takut masa depanku akan terhenti jika aku menikah saat itu. Makanya aku membuat keputusan yang sangat ceroboh!" "Heh, masih bisa kaya gitu! Kejam banget kalau aku bilang! Jahat tahu nggak, Raf. Kamu bayangin nggak, setelah Sita tahu kalau janji kamu semua itu cuma palsu. Gimana hancurnya dia saat itu? Gimana perasaannya Raf! Ya Allah! Benar-benar b******n kamu ya!" Agas masih tidak bisa mengontrol emosinya. Sementara Rafly hanya diam. Dia sadar dia memang seorang b******n. "Lalu, tadi aku juga dengar nama Kei, Keinara. Siapa dia?" "Dia adalah anaknya Sita. Tapi tadi dia bilang kalau Keinara itu bukan anakku. Keinara anak dari laki-laki lain, dan sudah meninggal. Tapi aku nggak percaya, Gas. Aku yakin Keinara itu anak aku!" tutur Rafly yakin. "Lalu sekarang, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" "Aku akan berusaha untuk terus meminta maaf sampai Sita mau memberikan maaf itu kepadaku. Aku ingin kehidupanku berjalan dengan tenang, Gas. Selama ini Tuhan sudah menghukumku. Dengan penyakit yang aku derita hingga dokter memvonis jika aku akan sulit untuk mempunyai keturunan. Mungkin itu adalah karma yang pantas aku dapatkan. Tuhan sudah berbaik hati memberikan kesempatan untukku menjadi seorang Ayah kala itu. Tapi dengan bodohnya, justru aku buang dia dengan sengaja. Heh! Tuhan memang maha adil. Tuhan lah sebaik-baiknya pembalas bagi umatnya yang dzolim ini." Rafly menarik tubuhnya, menyandarkan kepalanya ke belakang. Agas yang masih tidak percaya atas perbuatan yang sudah dilakukan oleh sahabatnya, hanya bisa terus menggelengkan kepalanya. "Sulit dipercaya! Huhhh!" celetuk Agas. Agas mulai menyalakan mobilnya, memacunya kembali ke hotel. Sementara Rafly masih memejamkan matanya, menenangkan hatinya yang tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk ke depannya nanti. *** Sepeninggalan Rafly dari rumahnya, Sita masih terduduk di lantai di balik pintu. Dadanya berdebar begitu hebat. Bahkan tangannya juga belum lepas memegangi dadanya. Sesak itu kian mencekiknya, entah kenapa tak mau pergi dari dadanya. "Ya Allah! Dia datang! Dia benar-benar datang! Nggak! Aku nggak bisa tinggal diam! Aku tidak bisa membiarkannya mengacak-acak kembali hidupku yang sudah damai tanpa adanya dia." tuturnya nelangsa. Sita bangkit dari duduknya, berjalan gontai menaiki tangga menuju ke lantai dua. Bekas mangkok dan gelas masih ia biarkan tergeletak di atas meja. Sita langsung menuju ke kamarnya. "Mas Yudha! Aku harus menghubungi Mas Yudha!" ujar Sita. Sita mengambil ponsel yang ada di atas meja lampu tidur samping ranjangnya. Ia cari kontak Yudha. Tut tut tut "Ya ampun, Mas Yudha kemana sih? Kok nggak di angkat-angkat! Aku coba sekali lagi!" Tut tut tut "Astaga nggak di angkat juga!" Sita menurunkan ponselnya. Menatap layar yang masih memancarkan cahaya putihnya. *** Derasnya hujan yang hampir rata mengguyur kota Jogja, membuat Yudha memilih untuk tidur cepat karena tidak ada lagi hal yang bisa ia lakukan kecuali tidur dengan berselimut tebal. Ia harap esok pagi akan bangun dengan sebuah kabar baik yang ia harapkan. Sementara Ratna masih meragu dengan jalan yang akan ia lanjutkan esok hari. Apakah iya dia harus tetap melanjutkan perjodohan yang diinginkan oleh orang tuanya, atau menyudahinya karena Yudha sudah jelas menolaknya. Ratna duduk di teras depan, seraya menikmati turunnya hujan dan suara halilintar. Sang Ayah menyambanginya, membawakan segelas s**u hangat untuk sang putri tercinta. "Anak Bapak lagi mikirin apa to? Kok kayanya berat banget yang dipikirkan, he he he." gurau Wardi seraya meletakkan gelas tersebut ke atas meja. "Bapak, repot-repot segala bikinin Ratna s**u. Makasih ya, Pak." ucapnya tak enak. "Lagi mikirin apa to, nduk? Kerjaan atau yang lainnya?" telisik sang Ayah. Ratna menoleh ke arah sang Ayah. Seperti ingin bercerita namun tampak ragu. "Cerita saja sama Bapak, ada apa?" *** Suasana pantai Sepanjang terlihat gelap mencekam. Sepertinya tanda-tanda hujan akan segera tiba. "Gaes, ini gimana, kita mau tetap bertahan disini atau mau nyari penginapan? Aku takut tiba-tiba hujan deras nih." ucap Rony. "Iya nih! Tuh lihat langitnya gelap banget. Hawa anginnya juga nggak enak kay gini. Mending soh kita cabut aja nyari penginapan." imbuh Sandrina. "Aku sih ngikut aja lah, gimana baiknya." timpal Michel. "Ah, kamu mah tukang ngikut aja. Tar jangan-jangan diajak nyebur ke sumur mau-mau aja kamu mah. Dasar nggak punya pendirian!" seloroh Rony. "Yey, Rony apaan sih? Berisik!" timpal Michel yang masa bodoh. Zaky dan Keinara saling menatap, mereka sebenarnya juga mengkhawatirkan apa yang di khawatirkan oleh Rony dan Sandrina. "Ya udah deh, mending kita nyari penginapan aja, biar lebih aman. Aku juga nggak mau ambil resiko kalau nanti terjadi sesuatu sama kita berlima." tutur Zaky. "Ya udah kalau gitu, kita cepat kemas-kemas ya. Keburu hujan datang nanti." usul Keinara. Kelimanya segera bergerak. Zaky dan Rony bertugas membongkar tenda. Sedangkan para perempuan bertugas membereskan peralatan yang tergeletak di tanah. Semuanya bahu membahu memasukkan peralatan ke dalam tas ransel masing-masih. Setelah lebih dari tiga puluh menit membereskan tenda, kelimanya bergegas menjauh dari bibir pantai. Kelimanya mendatangi penginapan terdekat yang ada di sekitar pantai. Memesan dua kamar terpisah untuk istirahat sampai besok pagi. Tak selang setelah mereka masuk ke penginapan, hujanpun turun begitu derasnya. "Alhamdulillah, untung kita udah dapat kamar. Kalau masih di tenda mah nggak tahu deh bakal jadi apa. Huufff!" ungkap Michel merasa lega. "Iya Chel. Alhamdulillah ya. Malah ini kita bisa tidur dengan nyaman." sahut Keinara. Dia sedang sibuk menata bantal di atas kasur. "Hoaaaeemm!" Michel terlihat menguap. "Aku mau tidur cepat ya gaes. Ngantuk banget nih." ujar Michel sambil berjalan menuju ke kasur ukuran king tersebut. "Dasar pelor lah!" seloroh Sandrina yang masih duduk di sofa. Kini tinggal Keinara dan Sandrina yang masih terjaga. Hujan deras beserta suara halilintar membuat keduanya susah untuk memejamkan mata. Sandrina masih di posisi semula, duduk di atas sofa seraya memainkan ponselnya. Sementara Keinara terlihat membuka tas ranselnya, hendak mengambil camilan yang masih tersisa disana. Keinara mengambil satu bungkus besar keripik kentang rasa balado. Membawanya ke dekat Sandrina yang fokus pada ponsel di tangannya. "Makan San. Enak lho, tapi rada pedes dikit." tawarnya pada Sandrina, seraya meletakkannya ke atas meja. Keinara mengambilnya duluan, memasukkan makanan tersebut ke dalam mulutnya. "Eemmmm, enak San. Cobain sih! Keburu aku abisin nanti." celoteh Keinara. Sandrina mengalihkan fokusnya pada keripik di depannya. Dia ambil lalu memakannya. "He emm! Enak juga ya Kei." "Apa aku bilang! Emang enak kok. Biarpun ini tuh cuma produk rumahan, tapi rasanya nggak kalah sama brand terkenal lainnya kok." timpal Keinara. "Betul. Oh iya, Kei. Tahu nggak, tadi itu aku lihat kamu lagi ciuman sama Zaky lho. Pas di depan api unggun." celetuk Sandrina dengan santainya, sambil menjilati jari-jarinya yang masih ada sisa bumbu balado yang melekat disana. "Hah! Jadi kamu tadi lihat, San?" teriak Keinara. Ia tidak bisa menahan suaranya karena saking terkejutnya. Pernyataan Sandrina sontak membuat Keinara lemas seketika. Dadanya terguncang hebat, nafasnya juga ikut sesak. Dia bingung mau memberikan penjelasan seperti apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD