Empat Dua

2078 Words
Sesampainya di rumah Sita, Yudha langsung masuk. Tak sabar ingin segera menemui sang keponakan dan segera mengajaknya jalan-jalan kemanapun yang Keinara suka. "Kei mana, Ta? Aku mau bawa dia keluar sebentar ya, udah lama nggak ngajak dia jalan-jalan." ujarnya seraya berjalan, lalu mendekati sofa dan mendudukkan diri disana. Sita yang tengah sibuk memasang sebuah dress bermotif tule mutiara ke sebuah manekin, pun terpaksa menghentikan aktivitasnya. Ia membalikkan tubuhnya ke belakang. "Kei hari ini camping ke pantai, Mas. Sama teman-temannya. Ke pantai Sepanjang di gunungkidul sana. Besok sore sih pulang." "Camping sam teman-temannya? Sama Zaky juga?" telisik Yudha. "Iya. Ya mau gimana lagi, terpaksa aku izinin, soalnya dia udah seneng banget waktu beberapa hari yang lalu aku izinin buat ikut. Nggak tega kalau tiba-tiba harus melarang begitu saja." terang Sita. Sita kemudian meninggalkan patung manekin yang sudah cantik ditutup dengan dress koleksi terbaru di butiknya tersebut, menyusul sang Kakak. "Kok, kamu izinin sih, Ta. Bukannya kalau kaya gitu, mereka justru akan sulit untuk dipisahkan?" "Aku sih berharapnya ini pertemuan terakhir mereka, Mas. Aku yakin, Keinara akan menepati janjinya padaku kemarin untuk menjauhi Zaky." "Lalu, apa kamu sudah bilang yang sebenarnya?" Sita menggeleng. "Belum, Mas!" Yudha membuang nafas melalui mulutnya, menetapkan pandangannya ke depan, ke arah pintu masuk butik. "Aku pikir-pikir lagi, biar nantinya dia tahu dengan sendirinya, siapa sosok Zaky dan Rafly sebenarnya. Entah kenapa, Mas, aku berkeyakinan kalau Rafly pasti akan kembali, firasat ini begitu kuat, Mas." imbuh Sita. Yudha menatap ke arah Sita. "Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" "Nggak ada, aku akan pasrahkan semua pada Tuhan. Lagian aku juga percaya, Keinara pasti bisa berfikir jernih menghadapi ini semua. Aku yakin dia sudah paham mengenai kondisinya saat ini. Dia pasti juga akan bertindak sesuai porsinya." "Ya, Ta. Mudah-mudahan." Kedua Kakak beradik itu sama-sama terdiam. Bergelayut dalam pikiran masing-masing. "Oh iya, Mas. Gimana sama Mbak Ratna? Sudah ada getaran-getaran yang menyelinap di d**a belum? He he he." ledek Sita dengan sengaja. "Halah, apaan sih! Kamu juga mau mulai ikut-ikutan Ibu, mau dukung perjodohan ini? Gitu, Ta?" sungut Yudha. "Ya ampun, Mas. Sewot amat sih! Aku kan cuma nanya. Gitu aja sensi!" semprot Sita, menyerongkan duduknya. "Itu barusan bukan nanya, tapi meledek. Puas!" seru Yudha dengan wajah kesalnya. "He he he. Ngeledek dikit, Mas. Tapi Mbak Ratna itu cantik lho, Mas. Udah ASN juga kaya Mas Yudha, materi Insya Allah cukup lah buat masa depan anak nanti. Mikir apa lagi coba?" desak Sita yang mulai jadi kompor, persis seperti sang Ibu. "Emangnya hidup hanya cukup dengan materi yang berlimpah? Percuma lah, materi ada tapi nggak ada kebahagiaan di hati kita. Ya nggak?" "Halah, basi lah, Mas. Hari gini jangan terlalu memikirkan soal cinta-cintanan segala. Mikirnya yang realistis aja, kita hidup butuh materi, Mas, butuh uang. Mas pernah baca berita nggak, kalau sebuah perceraian itu sembilan puluh persen terjadi karena faktor ekonomi! Nah, kadi bisa disimpulkan bukan, kalau menikah itu yang penting materi dulu." tutur Sita penuh keyakinan. "Hemmm, gimana ya, Ta. Ratna itu, canti sih. Tapi kok Mas sama sekali nggak ad rasa tertarik sama Ratna ya? Entahlah." terang Yudha, yang terlihat sulit untuk menjelaskan semua. Sontak mata Sita terbelalak, bola matanya terlihat ingin melompat keluar, lalu menepuk pundak sang kakak. Bukkk! "Awww!" seru Yudha dengan kagetnya. "Sakit, Sita! Ngapain sih mukul pundak orang segala." "Mas, jangan-jangan! Hah! Nggak, nggak, nggak! Nggak mungkin ini!" seru Sita seraya memasang wajah tidak percaya, dan sambil menggelengkan kepalanya. "Eh, apaan sih, Ta! Nggak, nggak apaan? Ngomong yang jelas!" semprot Yudha yang kesal melihat tingkah adiknya. "Jangan-jangan, Mas Yudha, emmm, emmm, nggak, nggak suka ya sama perempuan! Mas Yudha belok ya? Astaghfirullah, Mas. Sita beneran nggak nyangka!" ujar Sita dengan penuh emosional. Mendengar tuduhan dari sang adik, sontak membuat Yudha makin kesal. Yudha membalas dengan mendorong kening Sita. "Kaga sopan banget sih jadi adik! Aku masih normal, Ta. Adikku masih mau berdiri kalau lihat perempuan jalan di depanku cuma pakai bajau seksi. Sekata-kata kalau ngomong! Mau bukti kalau adikku bisa berdiri, aku buka nih!" Yudha reflek memegangi ikat pinggangnya. "Aaaaaaa! Jangan gila, Mas!" seru Sita seraya menutupkan tangannya ke wajah. "Iya, aku percaya!" ucapnya berteriak. "Lagian dikasih perempuan cantik kaya Mbak Ratna aja nggak mau. Gimana aku nggak mikir yang macam-macam coba!" "Ya kan bukan berarti aku belok kali. Nih dengar ya, aku punya inceran sendiri. Perempuan yang nggak kalah cantiknya sama Ratna. Sekarang Mas lagi nyoba buat PDKT sama dia." jelas Yudha, yang akhirnya mau membuka mulut mengenai sosok yang didambakannya selama ini. Pengakuan Yudha membuat Sita makin penasaran. "Wah, siapa dia, Mas? Aku kenal nggak?" "Ada deh, nanti kalau sudah pasti, Mas bakal kasih tahu kamu. Kalau sekarang kan posisinya kita lagi PDKT aja, jadi Mas belum bisa koar-koar. He he." terang Yudha, masih menyembunyikan identitas Vira. "Ih, nggak seru! Siapa sih? Kasih tahu buruan!" "Nggak mau ah. Nanti yang ada kamu malah ember sama Bapak, Ibu. Nggak mau!" tolak Yudha. "Nggak bakal ember, Mas. Janji deh! Ayolah!" rengek Sita, memasang wajah memelas. Yudha bangkit dari duduknya. "Kisi-kisinya udah dulu ya! Aku mau pergi, Keinaranya juga nggak ada kan." "Eh, tapi kan belum dijawab pertanyaan Sita tadi!" "Jawabnya lain waktu, ha ha ha!" gelak tawa Yudha pecah. Ia langkahkan kakinya menjauhi Sita. "Dasar! Bikin orang penasaran aja! Awas aja kalau pilihannya nanti lebih jelek dari Mbak Ratna. Aku nggak bakalan setuju!" seru Sita. Yudha mendadak berhenti, lalu menengok ke belakang. "Bisa diam nggak! Dari pada kamu ngurusin jodoh Mas, mending kamu juga nyari gih. Siapa tahu nanti kita kawinnya bisa barengan! He he he." "Kawin! Kawin! Nikah kali ah!" semprot Sita. "Udah ah, mau pulang! Dadaaaa Tata!" seru Yudha melewati pintu keluar. "Dasar! Bisa aja membalikkan keadaan. Orang lagi bahas soal jodohnya, eh malah dibalikin ke aku. Hih!" gerutu Sita. Sita beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu keluar. Ia lihat mobil sang Kakak masih sedikit terlihat bumper belakangnya, lalu perlahan menghilang ditelan bahu jalanan. Sita diam sejenak. Tiba-tiba dirinya menyadari satu hal mengenai kehidupannya selama ini. Sita baru menyadari jika selama dia membesarkan Keinara, tidak pernah terbersit di kepalanya untuk memulai kehidupan baru dengan laki-laki lain. Sita selalu menolak ajakan laki-laki yang bermaksud untuk meminangnya. Karena dia ingin fokus membesarkan Keinara. "Tapi, siapa juga yang bakal mau sama aku ya? Udah mah nini-nini, udah usia segini, belum tentu bisa punya anak lagi. Hemmm!" ujarnya lirih. Tiba-tiba Sita menepuk mulutnya sendiri. "Astaghfirullah. Barusan aku ngomong apaan sih? Malah jadi ngelantur! Gara-gara Mas Yudha ini. Hihhh!" Sita kemudian membalikkan tubuhnya, menutup pintu utama sekaligus pintu butiknya. *** Malam yang begitu sunyi, hanya ditemani oleh suara gemuruh ombak di pantai. Keinara yang sudah berada ke dalam tenda tak bisa memejamkan matanya. Ia tengok Sandrina dan Michel yang sudah terlelap di sebelah kirinya. Keinara bangkit, perlahan beringsut keluar dari tenda, bermaksud ingin mencari udara di luar. Namun begitu keluar tenda, Keinara nampak terkejut karena ia dapati Zaky sudah ada diluar, duduk di dekat api unggun yang tadi malam mereka buat. Zaky memandang ke arah Keinara, lalu tersenyum. "Sini!" serunya dengan nada berbisik, seraya melambaikan tangan kanannya. Keinara sebenarnya ragu untuk melangkah, namun apa boleh buat, tidak ada pilihan lain. Keinara duduk di sebelah Zaky, dengan bibir mengerucut. "Kok belum tidur? Pasti lagi mikirin aku ya? Hayooo ngaku! He he he." gurau Zaky. "He emm! Mukirin nasib hubungan kita." ujar Keinara. Zaky membuang nafasnya melalui mulut. "Aku juga bingung, kenapa mendadak Bunda jadi gitu sih, beb? Apa salah aku coba?" "Aku juga nggak tahu, beb. Tapi yang jelas, alasan Bunda itu klise banget, masih sama seperti dulu. Pokoknya dia nggak mau aku terjerumus di lubang yang sama seperti dia. Itu aja sih." jelas Keinara. "Ya udah, kalau gitu kita kaya dulu lagi aja. Gimana?" tawar Zaky. Keinara menoleh, "Maksudnya mau sembunyi-sembunyi gitu?" Zaky mengangguk. "Tapi aku takut ketahuan, beb. Aku yamin Bunda juga pasti akan jauh lebih waspada dengan hubungan kita. Dia pasti juga akan semakin protektif sama aku. Aku nggak mau bikin Bunda kecewa." tutur Keinara lirih. Zaky tiba-tiba meraih jemari Keinara, memegangnya erat. "Kei, kamu percaya sih sama aku. Semua akan baik-baik aja asalkan kita bisa rapat-rapat menyembunyikan hubungan ini. Masak iya, hubungan yang udah kita perjuangkan selama ini harus kandas dengan cara kaya gini sih?" "Tapi, beb!" "Sssttt!" potong Zaky. "Kita buktikan sama Bunda jika kita bisa tetap berprestasi walaupun. sambil pacaran. Dan pacaran kita juga sehat kan, nggak ngapa-ngapain." tutur Zaky, mencoba membangun kepercayaan pada Keinara. Zaky menatap Keinara dengan tatapan penuh cintanya. Keduanya terbawa dalam suasana. Zaky semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Keinara. Sementara Keinara seperti terhipnotis untuk tidak bisa menghindarinya. Kedua bibir itupun bersatu kembali, saling memagut dengan pelan. Hampir saja Zaky kebablasan dengan apa yang ia lakukan. Tangannya mulai aktif menelusup ke dalam kaos yang dikenakan oleh Keinara. Keinara segera sadar lalu melepaskan pagutan bibirnya. Mendorong Zaky dengan keras. *** Setelah menghabiskan makan malam, Rafly dan Agas segera bergegas menuju ke kediaman Sita. Jaraknya dari hotel yang tidak terlalu jauh, cukup ditempuh dengan waktu dua puluh menit, mobil Agas sudah sampai di depan sebuah ruko berlantai dua milik Sita. Rafly terlihat menghela nafas, menata hatinya berharap apapun yang akan terjadi nanti, dia bisa siap menerimanya. "Gimana, Raf? Udah siap?" tanya Agas. Rafly menoleh ke samping kanan. "Insya Allah, Gas! Siap nggak siap, harus aku hadapi." terangnya setengah ragu. Agas menepuk pundak Rafly. "Aku doakan, semua lancar dan akan baik-baik saja." "Makasih, Gas!" Rafly mulai membuka pintu mobil, lalu turun dan berjalan perlahan menuju ke depan pintu. Sementara Agas memilih untuk menunggu di dalam mobil. Bagaimanapun, urusan Rafly adalah urusan pribadi. Agas tidak berhak ikut campur. Dengan tangan yang gemetar, Rafly memencet bel yang terpasang di samping pintu. Ting tong! Sita yang sudah berada di lantai dua, tengah menikmati mi instan rebus kuah. Makanan sederhana yang dari dulu menjadi favoritnya "Aduh, siapa sih malam-malam bertamu? Lagi tanggung-tanggungnya nih!" gerutunya yang merasa terganggu. Sita menatap mangkok yabg masih berisi seperempat mi instan tersebut. Terpaksa dia menghentikan aktifitasnya. Meminum sedikit air putih lalu beranjak turun untuk membukakan pintu. Masih mengusap bibirnya yang memerah karena kepedasan, Sita membukakan pintu tersebut. "Iya, Ada yang bisa saya bantu," ucapnya seraya membuka pintu. Sontak wajah Sita yang memasang keramahan berubah layu seketika. Dia mendapati sesosok laki-laki yang membuat pikirannya kacau selama berhari-hari ini. Ya, dia adalah Rafly. Kini kekhawatirannya benar-benar terbukti. Rafly kini ada di hadapannya, dia benar-benar datang. Tatapan layunya berubah menjadi tatapan nanar yang jelas sekali melukiskan kemarahannya. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Sita segera melangkahkan kakinya mundur dan hendak menutup pintu lagi. Namun dengan sigap, Rafly segera menahannya. "Sita! Tolong, beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya!" ujarnya memohon. Sita bergeming, bahkan untuk mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya dia tidak sudi. Keduanya terlihat saling memegangi pintu, yang satu ingin menutupnya, yang satu lagi berusaha untuk menahannya agar tetap terbuka. "Sita aku mohon!" ujar Rafly sekali lagi. Sita bersikeras untuk menutup paksa pintunya. Sekuat tenaga ia keluarkan agar pintu bisa tertutup. Keduanya saling tarik menarik. Namun sayang, apalah arti dari tenaga seorang wanita dibandingkan dengan laki-laki. Tidak ada setengahnya. Agas yang melihat pemandangan di depan matanya itupun penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi antara kedua temannya tersebut. Karena kesal, Sita akhirnya melepaskan pintu tersebut dengan membantingnya. "Mau apa? Mau anda apa!" teriaknya dengan wajah yang semakin nanar. Rafly terdiam, memandang sebuah kemarahan yang Sita tunjukkan. Mungkin itu adalah sebuah kemarahan yang sudah ia tahan selama bertahun-tahun. Kaca-kaca bening jelas terlihat di netra seorang Rafly. Memandang wanita yang dulu sudah ia perlakukan dengan sangat tidak adil. Meninggalkannya begitu saja di saat wanita ini membutuhkan rangkulannya. "Maaf, Ta! Maaf!" ucap Rafly dengan bibir bergetar. Mendengar kata maaf yang dilontarkan oleh Rafly, perlahan bibir Sita terlihat mengurai senyum, namun sinis. "Maaf? Apa saya tidak salah mendengarnya?" timpalnya dengan sinis. Rafly menunduk, perlahan ia tekuk kakinya hingga ia bersimpuh di depan Sita. Agas yang makin penasaran, terkejut melihat apa yang dilakukan oleh Rafly. Sementara Sita, sama sekali tidak tersentuh melihat adegan yang ada di depannya saat ini. "Hei, anda! Apa-apaan! Sepertinya anda terlalu sering menonton sinetron ya? Berlutut segala! Lantas, kalau anda berlutut seperti ini, apa anda pikir semuanya akan selesai? Terlalu picik pemikiran anda!" Sita mengalihkan pandangannya, tak sudi menatap laki-laki yang masih bersimpuh di dapannya tersebut. "Mendingan sekarang anda pergi dari sini, sebelum saya teriak meneriaki anda maling yang akan jadi sasaran amukan warga sekitar. Pergilah!" usir Sita tanpa basa-basi. Rafly masih berlutut, enggan untuk bangun. Suasana terlihat hening. "Apa Keinara itu anak kita, Ta?" tanya Rafly tiba-tiba. Sontak membuat hati Sita semakin panas. Dadanya terlihat naik turun menahan gejolak di hatinya. Rafly perlahan berdiri, beranikan diri untuk menatap ke arah Sita yang masih terlihat nanar. Keduanya saling menatap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD