Empat Empat

2056 Words
Adegan pertukaran saliva yang Keinara lakukan dengan Zaky, ternyata diketahui oleh Sandrina. Keinara masih membisu, bingung harus bersilat lidah seperti apa. "Haduh, kalian ngapain sih, pada berisik banget. Udah malam tidur aja napa!" seloroh Michel yang terbangun karena mendengar teriakan Keinara. Namun setelah beberapa detik, Michel tertidur kembali. "San, kamu," "Apa? Aku itu udah curiga dari awal, kalau kamu sama Zaky itu pasti ada apa-apa. Dan ternyata benar, kebukti kan sekarang!" tutur Sandrina, mulutnya komat-kamit menikmati keripik kentang di depannya. Wajah Keinara berubah layu, menjatuhkan badannya bahu sofa. "Terpaksa, San!" "Terus kenapa kalian merahasiakannya dari kami? Udah nggak anggap kita-kita ini teman? Atau gimana? Tega kamu, Kei. Padahal nih ya, kemana-mana itu kita bareng, apa-apa juga bareng. Bisa ya kalian berdua merahasiakan tentang hubungan kalian! Parah sumpah!" Keinara memegang bahu Sandrina. "Dengerin penjelasan aku dulu, San! Sebenarnya bukannya kita nggak mau cerita sama kalian, cuma aku takut kalian nanti ada yang kelepasan bicara sama Bunda. Tahu kan gimana Bunda bakalan marah kalau aku udah pacaran." kilah Keinara. "Itu kan Rony sama Michel. Aku jangan disamain sama mereka berdua kali." sungut Sandrina. "Iya sebenarnya beberapa hari yang lalu, Bunda udah izinin sih, San. Terus aku sama Zaky juga udah berencan buat kasih tahu ke kalian. Tapi, tadi malam Bunda mendadak menarik izinnya lagi. Aku juga nggak tahu kenapa, tapi yang jelas, Bunda kembali melarang hubungan aku sama Zaky! Dan sekarang aku bingung. Antara mau selesai atau mau lanjutin hubungan dengan cara sembunyi-sembunyi lagi, San. Haduh, pusing nih kepala!" Sandrina menyerongkan posisi duduknya. "Emangnya Zaky bikin salah apa sama Bunda, sampai Bunda nggak jadi ngasih kalian restu?" "Ya aku juga nggak tahu! Zaky sendiri juga bingung kenapa bisa kaya gini. Seingat aku nih ya, terakhir Bunda kita itu di undang makan malam sama keluarga Zaky, tapi nggak tahu kenapa tiba-tiba Bunda bisa pusing, akhirnya Bunda pulang dan nggak jadi makan malam. Nah setelah dari kejadian itu, aku lihat sikap Bunda itu agak aneh gitu, San. Jadi lebih pendiam, suka menyendiri, suka melamun gitu. Aku sih belum berani nanyain. Yang ada kalau aku cerewet malah makin di semprot lagi sama Bunda. Takut kan, San." tutur Keinara. Sandrina diam, namun terlihat sedang berfikir. "Emm, kalau menurut aku sih pasti ada apa-apanya, Kei. Nggak mungkin kan tiba-tiba Bunda menarik keputusannya tanpa ada alasan yang jelas." "Ya iya, San. Cuma aku sama Zaky belum nemu tuh alasan Bunda yang sebenarnya itu apa. Tapi kalaupun nanti terpaksa aku harus pisah sama Zaky, ya aku harus ikhlas. Aku nggak mungkin nyakitin hati Bundaku sendiri hanya untuk mempertahankan Zaky, bukan? Bunda itu segalanya buat aku. Kebahagiaan Bunda juga kebahagiaanku. Aku nggak mau egois." tutur Keinara lemah. Sandrina kembali mengambil keripik kentang di dalam wadah. "Iya juga sih, Kei. Bunda kan orang yang selalu ada dari kita hadir di dunia ini. Orang yang selalu ada di garda terdepan saat keadaan kita susah maupun senang. Nggak sepantasnya juga kan, kita menyakiti hatinya hanya demi menjaga hati laki-laki yang kita mengenalnya aja belum juga hitungan tahun. Ya, aku rasa keputusan kamu sih udah tepat banget!" tutur Sandrina, menguatkan keputusan yang Keinara ambil. "Iya, San. Itu lebih baik." timpalnya. Keinara menarik nafasnya, panjang. Kemudian ia bangkit dari sofa. "Udah ah, San. Aku pusing, tidur aja yuk!" ajak Keinara. "Duluam aja. Aku mau habisin ini keripik dulu. Abisnya enak banget sih, hehe." sahutnya. Keinara berjalan duluan, sementara Sandrina masih ingin menikmati keripik kentang yang masih tinggal seperempat bungkus lagi. *** Hujan deras masih mengguyur kota Jogja. Bahkan semakin lebat dengan suara halilintar yang saling bersahutan. Sita. tiba-tiba ingat dengan sang putri yang tengah camping di pantai. "Astaghfirullah. Kei gimana nasibnya? Di pantai sana hujan nggak ya? Aku harus segera cek keadaannya." Sita mulai panik. Sita beralih mencari kontak sang putri. Tut tut tut "Keinara angkat! Lagi apa sih!" terdengar suara Sita semakin panik. Sambungan telepon terhubung, namun tidak juga ada di angkat.Ia hubungi lagi hingga berkali-kali namun hasilnya sama, tidak diangkat juga. Sita makin khawatir. "Ya ampun, Keinara! Ini kok teleponku nggak di angkat sih! Ini anak kemana, Bunda khawatir Kei!" serunya terus berusaha menelepon sang putri. Sita mengakhiri panggilannya. "Aku hubungi Sandrina aja kali ya! Iya, iya. Aku hubungi dia aja." Sita segera beralih mencari kontak Sandrina. Tut tut tut. "Hallo Bunda." sambut Sandrina dengan suara ramahnya. "Halo, San! Alhamdulillah di angkat juga. Ini tante cuma mau nanyain Keinara aja. Dia baik-baik aja kan? Terus kalian ini kondisinya gimana. Soalnya di kota hujan lebat banget. Di situ gimana?" cecar Sita yang sudah dangat khawatir dengan keadaan anak-anak. "Owh, kami baik-baik aja Bunda. Iya di sini juga hujan lebat. Tapi kami udah pindah dari tempat camping, sekarang ada di penginapan. Biar lebih aman." Jelas Sandrina. Sita menghela nafasnya. "Alhamdulillah, Bunda lega mendengarnya, San. Syukurlah. Terus ini Keinaranya kemana? Ada di kamar nggak?" "Hehe, tenang aja Keinara udah molor, Bun." Sita tidak bisa melukiskan perasaannya lagi, akhirnya sang Putri dan kawan-kawannya dalam keadaan baik-baik saja. "Alhamdulillah. Bunda lega, San. Ya. sudah kalau kalian semua baik-baik aja ya. Ya sudah kalau gitu Bunda tutup ya teleponnya. Besok pulangnya hati-hati ya, Nak." "Siap, Bunda. Bunda met malam ya, met tidur dan mimpi indah, hehehe." "Iya sayang, kamu juga ya. Jangan tidur malam-malam." "Siap laksanakan!" Sambungan telepon terputus. "Huhhh! Alhamdulillah! Anak-anak juga baik-baik aja. Aku bisa tidur dengan tenang." lirih Sita. Sita kemudian menyimpan ponselnya kembali ke atas meja. Ia benamkan tubuhnya ke dalam selimut untuk menghangatkan raga yang mulai merasakan dingin karena hujan. *** Sesampainya di hotel, Rafly segera membersihkan badannya dari pakaian yang membasahi tubuhnya. Sementara Agas memilih menunggunya di resto. Hanya butuh waktu tidak kurang dari lima belas menit, Rafly sudah rapi dengan setelan celana selutut dan kaos berkerah. Walaupun penampilannya sederhana, namun tetap terlihat sebagai orang kaya "Benar-benar b******k kamu ini ya, Raf! Orang sebaik Sita kamu perlakukan kaya gitu! Sumpah aku masih nggak habis pikir lho. Kamu setega itu sama Sita." ujar Agas, yang sampai detik ini belum bisa percaya dengan apa yang diungkapkan oleh Rafly. Keduanya tengah menikmati kopi panas di resto hotel. "Apapun yang bakalan orang katakan sama aku, bakalan aku terima kok, Gas. Karena memang aku demikian. Aku b******k, aku b******n! Aku terima!" timpal Rafly, terkesan pasrah. "Ya iya lah, emang kenyataannya kaya gitu kan?" semprot Agas. "Tahu kaya gini, ogah aku bantuin kamu sampai mati-matian!" imbuhnya lagi, sebagai ungkapan rasa kecewanya. "Jadi nyesel nih, udah bantuin aku sejauh ini?" "Iyalah! Tahu gitu udah aku biarin aja kamu kesana-kemari kesini. Bodoh amat!" "Hehe, jangan gitu lah, Gas. Kita kan teman, harus saling bantu membantu. Terus kalau aku lagi salah gini, seharusnya kamu juga support dong buat menyemangati aku supaya bisa lebih baik lagi. Malah ikutan ngebully!" protes Rafly. "Terus, istri sama anak kamu tahu soal ini belum?" Rafly menarik nafas. "Nah, itu dia masalahnya, Gas. Belum ada yang tahu selain kamu sama kelurganya Sita." "Hah? Edan! Edan! Edan! Edan kamu, Raf! Masalah sebesar ini mereka sampai nggak tahu? Terus nanti, kalau sampai mereka tahu dari orang lain, gimana? Aku yakin istri dan anak kamu akan jauh lebih kecewa. Jadi saran aku, mending pelan-pelan kamu jelasin ke keluarga kamu deh. Duduk permasalahan yang sebenarnya." "Aku juga bingung gimana jelasinnya nanti." "Terus masalah nyari tanah kemarin, jangan-jangan itu semua rentetan kejadian yang saking berhubungan dengan ini semua? Iya, Raf?" Rafly mengangguk. "Ya! Aku jadi harus berbohong dan terus menutupi kebohonganku sebelumnya. Aku lelah, Gas. Aku juga terus dihantui rasa bersalah terhadap istri dan anakku. Aarrggghhhh! Sakit kepalaku kalau harus membayangkan bagaimana kelak jika mereka semua tahu." jelas Rafly terlihat kebingungan. Agaspun tidak bisa berbuat apa-apa. Agas juga tidak mau masuk terlalu jauh ke dalam permasalahan, Agas sadar itu bukan ranahnya. *** Yudha yang terbangun dari tidur lelapnya karena merasakan ingin buang air kecil, terpaksa bangkit dari kasur empuknya. "Sialan! Pengen pipis segala sih!" gerutunya seraya bangun dengan keadaan mata setengah tertutup. Yudha berjalan menuju keluar kamarnya. Mengingat kamar mandi di rumahnya letaknya di luar kamar. Sekembalinya dari kamar mandi, Yudha berinisiatif memeriksa ponselnya. Siapa tahu ada pesan dari Vira yang masuk ketika dia tertidur lagi. Mata Yudha mendadak lebar. Terhitung ada lima kali panggilan tak terjawab dari sang adik yang sama sekali tidak terdengar oleh telinga Yudha. "Sita telfon? Ngapain?" lirih Yudha penasaran. Yudha melirik angka waktu di ponselnya. Waktu menunjukkan pukul dua puluh tiga lebih tujuh belas menit. Yudha berinisiatif menelfon balik sang adik, namun setelah dipikir-pikir kembali, ia urungkan niatnya. "Sita udah tidur kali jak segini. Apa aku telpon baliknya besok aja kali ya. Kasihan kalau jadi harus bangunin tidurnya." lirih Yudha. Yudha mengurungkan niatnya. Ia simpan kembali ponsel ke atas meja, kemudian melanjutkan tidurnya yamg terganggu karena rasa ingin buang air kecil tadi. *** Keesokan harinya, Keinara dan kawan-kawan sudah bersiap untuk kembali ke pusat kota. Segala perlengkapan sudah mereka bawa masing-masing. Dengan menumpangi mobil milik Zaky, akhirnya mereka berlima meninggalkan acara camping yang bisa dikatakan gagal tersebut. "Akhirnya pulang juga!" seloroh Rony yang ada di bangku paling belakang. "Ya pulang, lah. Masak iya mau bikin rumah di pantai." seloroh Michel ketus. "Ya kamu kali yang mai bikin rumah di pantai noh." balas Rony tak mau kalah. "Hhhheeeesss! Stop! Udah ya, jangan mulai keributan lagi. Puyeng kepalaku dengar kalain berdua ini berisik aja tiap ketemu! Heran!" semprot Sandrina yang duduk di samping Michel. Michel dan Rony hanya saling memandang, Michel menunjukkan ejekan dengan menjulurkan lidahnya. Sedangkan Rony yang selalu tidak mau kalah juga melakukan hal yang sama. Dengan menempuh perjalanan selama satu jam setengah, akhirnya rombongan tiba juga di kota. Zaky mengantarkan satu per satu teman-temannya ke rumah masing-masing. Dari Rony, Sandrina, Michel, lalu yang terakhir ke rumah Keinara. Tidak lupa sebelum sampai, sewaktu di tengah jalan tadi, Keinara mengganti posisi duduknya di bangku belakang. Menghindari prasangka buruk sang Bunda jika nantinya dia terlihat duduk di samping Zaky. "Makasih ya, Ky, udah dianterin sampai rumah. Tapi maaf banget, kamu langsung balik aja ya. Soalnya nggak enak sama Bunda. Kamu paham kan?" terang Keinara, yang sebenarnya tidak enak harus memperlakukan Zaky demikian. Zaky tersenyum dengan terpaksa. "Iya! Aku paham, Kei." Zaky menarik nafas panjang. "Jangan lupa mandi sama makan ya. Terus istirahat, pasti kamu capek banget!" ucap Zaky nelangsa. "OK! Kamu juga ya." Keinara segera keluar dari mobil. Sita yang mengintip dari balik tirai jendela di lantai dua, sedikit bisa bernafas lega. Melihat gelagat yabg ditunjukkam oleh kedua anak remaja tersebut seperti mengisyaratkan kika mereka berdua tengah berusaha untuk menjaga jarak. "Maafkan Bunda, Kei, Zaky! Bunda terpaksa melakukan ini sama kalian. Maaf!" lirih Sita dengan sedikit berkaca. Zaky segera memacu mobilnya meninggalkan pelataran rumah Keinara. Keinara masuk ke dalam rumah, disambut oleh suara sang Bunda yang dengan cepat menuruni anak tangga. "Hai, anak Bunda udah pulang." ucap Sita riang. Keinara menurunkan tas ranselnya, berjalan menuju sofa. Ia jatuhnya begitu saja tubuhnya ke atasnya. "Capek banget, Bun!" ujarnya dengan suara lemas, matanya juga tertutup. Sita menyusul sang putri, duduk di sampingnya. "Capek ya? Sini Bunda pijitin." ucapnya lalu meraih lengan Keinara. Pijitan hangat yang membuat Keinara membuka matanya. Ia tatap wajah sang Bunda yang terlihat seperi sayu, namun masih sempat memberikan pelayanan terbaiknya pada dirinya. "Bunda! Bunda pasti sebenarnya juga capek ya. Kelihatan banget mukanya lusuh banget kaya gitu. Tapi, Bunda masih mau memijat aku. Padahal seharusnya aku yang memijat tin Bunda." ucap Keinara dalam hati. Jiwanya kembali bergejolak. Rasanya dia tidak tega jika harus membohongi Bunda dengan cara yang sempat ia sepakati dengan Zaky kemarin. Keduanya sempat mempunyai pikiran untuk kembali sembunyi-sembunyi dengan hubungan mereka. "Udah Bunda. Capeknya udah ilang, hehe." ujar Keinara, menghentikan aktifitas sang Bunda. Sita memandangi wajah cantik sang putri, lalu tersenyum. "Gimana campingnya? Seru nggak?" "Ya, gitu lah, Bun. Setengah seru." jawab Keinara tak bersemangat. "Kok setengah seru? Artinya apa itu kok ada embel-embel setengah segala, hehehe." timpal Sita dengan tertawa kecil. "Hemmmm! Ya awalnya sih seru, tapi di tiba-tiba aja semalam itu cuaca nggak bersahabat. Bressss, turun hujan, Bun. Ya terpaksa pada kabur lah. Ke penginapan deh akhirnya. Jadi nggak seru lagi deh!" keluh Keinara. "Owh, jadi itu yang dinamakan setengah seru. Ada-ada aja, Kei. Hehehe!" Sita kembali tergelitik mendengar penjelasan sang putri. "Sekarang mending kamu mandi, bersihin badan kamu biar segar. Bunda masakin spaghetti kesukaan kamu ya?" "Spaghetti, Bun? Wah, mantap ini. Bunda udah lama banget nggak masakin aku spaghetti. Hemmm, boleh deh, Bun!" ujar Keinara girang. "Ya udah, sana buruan, sayang!" "OK siap Bunda!" Keinara segera menuju ke lantai dua, masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Sementara Sita sibuk di dapur membuatkan makanan untuk sang putri tercinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD