"Cepetan, Pak! Aduh, perut Ratna sakit banget ini! Huh huh huh!" ucap Ratna seraya terus memegangi perutnya.
"Iya! Iya, nak! Sabar ya, itu sebentar lagi sampai rumah. Sabar ya nduk!" timpal Wardi yang kalap menyetir mobilnya.
Ratna sesekali melirik ke arah sang Ayah. Ada rasa khawatir sebenarnya yang ia rasakan. Membohongi sang Ayah hingga seperti ini.
"Maafkan Ratna, Pak. Ratna terpaksa melakukan ini semua. Ratna nggak mau nanti situasinya malah makin runyam." batinnya.
Mobil tepat berhenti di depan halaman rumah. Ratna segera turun dan berlari masuk ke dalam rumah.
"Duh alah! Ratna! Ratna! Bisa-bisanya to, nduk, lagi enak-enak jalan-jalan malah perutmu mules." ujar Wardi yang masih di dalam mobil. Iapun akhirnya turun dari mobil, masuk ke dalam rumah menyusul Ratna.
Wardi berjalan ke arah kamar mandi.
Tok tok tok.
"Nduk, sakit banget perutnya ya? Bapak bikinin parutan kunyit ya, nanti di minum." ucap Wardi dari luar.
"Iya, Pak. Ini kayanya Ratna mencret, Pak. Aduh!" sahut Ratna dari dalam kamar mandi.
Wardi pun berlalu dari depan pintu kamar mandi. Ia menuju ke dapur untuk mencari kunyit dan memarutnya supaya bisa di ambil airnya.
Sementara Ratna hanya bisa tergugu di dalam kamar mandi. Rasa sakitnya melihat Yudha tertawa lepas bersama wanita lain. Padahal, dalam hati Ratna, ia masih sangat berharap agar Yudha bisa menerimanya pelan-pelan. Namun ternyata, ucapan Yudha tidak main-main. Dia memang tidak bisa menerimanya karena sudah ada wanita lain yang mengisi hati Yudha.
"Mas Yudha! Sakit, Mas! Hati Ratna sakit! Hiks hiks hiks."
***
Sementara perjalanan menuju pantai yang terletak di kabupaten Gunungkidul memerlukan waktu lebih dari satu jam. Yudha, Sita, Keinara, dan Vira sangat menikmati perjalanan mereka.
"Bu dokter pernah jalan-jalan ke pantai sini nggak?" tanya Sita sengaja memilih duduk di bangku belakang bersama Keinara.
Vira menoleh ke belakang. "Belum pernah sih, Mbak. Mana ada aku waktu buat main-main kaya gini. Yang ada juga kerjaannya rumah ke rumah sakit mulu, he he he." timpalnya diiringi gelak tawa.
"Wah, berarti termasuk anak rumahan dong ya. Nggak pernah keluar dari kandang, he he he." sahut Sita.
"Ya, bisa di bilang begitu sih. Keluar paling ke mall, atau makan-makan sama keluarga atau teman. Abis itu ya balik lagi ke rutinitas semula. Kebetulan aku juga orangnya nggak suka main sih, nyaman di rumah." balas Vira.
Dari dulu Vira memang anak rumahan. Rutinitas selama masih kuliah jiga cuma seputaran rumah dan kampus.
"Hemmm, kalau gitu cocok dong sama Pakde. Kerjaannya ya cuma rumah ke kantor, kalau nggak ya ke tempat Bunda. Abis itu pulang ke rumah lagi, ha ha ha." celetuk Keinara, setengah meledek sang Pakde.
"Aamiin, doakan ya, Kei. Semoga memang ada kecocokan antara kita berdua, he he he." timpal Yudha seraya melirik ke arah Vira.
Virapun hanya diam, tak berani menanggapinya. Terlebih dengan adanya kejadian kemarin pagi saat berada di meja makan bersama sang Mama.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mereka berempat tiba juga di pantai Indrayanti. Pantai pasir putih yang sangat indah pamandangannya. Tak perlu jauh-jauh ke pulau dewata untuk bisa menikmati keindahan panoramanya, di Pantau Indrayantipun pemandangannya tak kalah mempesona.
Ke empatnya mulai berjalan ke arah bibir pantai. Bermain air dan pasir seperti anak-anak yang masa kecilnya kurang bahagia.
***
Rafly dan Agas kembali menuju ke hotel, setelah beberapa jam Rafly berada di rumah sakit untuk melakukan pengobatan wajahnya yang cukup parah menderita lukanya.
"Nanti kita pesan makan di kamar hotel aja ya, Gas. Malu kalau mau makan di luar. Mana wajah aku masih bengep gini pula." ujar Rafly seraya mengelus pelan pipinya yang mulai terasa nyeri.
"Ha ha ha. Iya! Aku juga nggak tega kali bawa kamu makan di luar. Yang ada nanti malah jadi pusat perhatian banyak orang kan." timpal Agas dengan tawa kecilnya.
"Eh, Gas. Kita mampir ke rumah Sita sebentar yuk. Sekarang mereka berdua lagi apa ya?"
"Eh, mau cari mati kamu Raf! Baru aja semalam di hajar habis-habisan, sekarang mau kesana lagi? Pengen di hajar lagi?" seru Agas yang tak habis pikir dengan pikiran Rafly.
"Hemmm, bukan mau ke rumahnya juga kali, Gas. Aku cuma mau lihat dari jauh aja. Aku kangen sama Keinara, Gas. Pengen lihat dia lagi apa. Hari libur gini, mungkin dia ada di rumah bantuin Bundanya di butik. Aku kan bisa lihat dia dari kejauhan aja." tutur Rafly.
"Owh, mau lihat dari jauh aja to. Kirain mau masuk ke kandang singa lagi! OK lah, kita kesana."
Agas mengarahkan kemudianya ke arah rumah Sita. Sesampainya di sana, terlihat butik milik Sita masih tertutup dan tidak ada tanda-tanda kehidupannya.
"Tutup, Gas butiknya. Rumahnya juga kayanya sepi. Pada pergi apa ya?" ucap Rafly dari jarak sekitar seratus meter dari rumah Sita.
"Iya, Raf! Kayanya sih nggak ada orang. Pada pergi kali!" timpal Agas.
"Huuff! Pada pergi kemana ya?" lirih Rafly, dengan wajah yang kecewa. Keinginannya melihat Keinara pun gagal sudah.
Beberapa menit kemudian Agas memacu mobilnya kembali. Mereka meninggalkan lokasi dan kembali menuju hotel.
***
Sukma masih dengan rasa kekhawatirannya yang kian tak terbendung lagi. Walaupun ia sudah menerima kabar dari Rafly bahwa keadaannya baik-baik saja, namun entah kenapa hatinya belum juga lega.
"Semoga ini memang hanya kekhawatiranku saja. Kekhawatiran seorang istri yang di tinggal tugas lama sama suaminya. Bukanlah suatu pertanda yang buruk." gumam Sukma seraya memotong daun-daun kering tanaman hiasnya.
Tiba-tiba ia mendengar suara bising dari arah depan rumahnya. Seperti suara adu mulut Ibu-Ibu yang tengah terlibat pertengkaran hebat.
Karena kepo, Sukma berjalan menuju ke dekat pagar, ingin melihat dari dekat, apa yang sedang terjadi di rumah Bu Selvy. Tetangga baru di perumahan yang baru sekitar satu bulan ini pindah ke rumah itu.
"Awas kamu ya, w************n, nggak tahu diri. Sudah tau laki orang masih aja gatel dipacarin. Sekarang malah dengan percaya dirinya datang, ngaku kalau lagi hamil terus minta tanggung jawab! Memang ya, tidak tahu malu sekali kamu ini!" maki seorang wanita yang usianya sudah cukup matang. Sekitar lima puluh tahunan.
Sukma melihat ada seorang gadis muda dengan berurai air mata berdiri di depan pintu. Terlihat Bu Selvy memaki gadis itu dengan cukup membabi buta.
"Hamil? Siapa yang hamil? Apa gadis itu yang hamil?" lirih Sukma menerka-nerka.
"Suami saya tidak akan saya biarkan menikah dengan kamu, ya! Enak saja!" semprot Bu Selvy dengan wajah memerah karena emosi.
"Tapi saya sekarang lagi mengandung anak Bapak, Bu. Saya butuh tanggung jawab Bapak. Saya tidak mungkin membesarkan anak ini sendirian. Saya mohon kemurahan hati Ibu. Hiks hiks hiks." isak si gadis.
"Tidak bisa! Sekali tidak ya tidak! Mendingan sekarang kamu pergi dari sini sebelum saya teriaki maling! Cepat pergi!" teriak Bu Selvy. Iapun dengan cepat mendorong gadis itu menjauh dari bibir pintu, laku ia banting pintu rumahnya dengan keras.
Sementara si gadis tidak bisa berbuat apa-apa, tangisannya tidak lantas berhenti. Si gadispun bangkit dan pergi meninggalkan kediaman Bu Selvy.
Sukma yang melihat kejadian itu, hanya bisa menggelengkan kepalanya. Bu Selvy dan suaminya memang pasangan yang belum di karuniai seorang momongan semenjak pernikahannya dua puluh lima tahun yang lalu.