Empat Enam

1529 Words
"Mau apa lagi anda kesini?" tanya Sita tanpa basa-basi. Tatapannya masih sama seperti saat pertama kali Rafly menemuinya, datar juga nanar. Rafly terlihat menghela nafasnya. Mengumpulkan serpihan-serpihan kekuatan untuk bisa kembali menanyakan tetang identitas Keinara. "Ta, aku mohon. Jangan siksa aku seperti ini!" ungkap Rafly dengan pandangan mengiba. Sita memicingkan bibirnya, membuang pandangannya ke arah lain. "Anda jangan ngadi-ngadi deh. Sejak kapan saya menyiksa anda? Perasaan kita nggak pernah ketemu, kita juga nggak pernah berkomunikasi. Dari mana saya menyiksa anda? Bukannya yang memilih pergi itu dulu anda? Tolonglah jangan drama di depan saya!" tutur Sita dengan nada suara yamg cukup keras. Rafly terlihat sedikit menunduk. Sepertinya dia malu dan sadar, dia sudah melakukan kesalahan fatal selama ini. "Ta, beri aku kesempatan untuk menebus segala kesalahanku. Tolong jawab, Ta. Pertanyaanku masih sama seperti kemarin, Keinara itu anak siapa? Anakku, kan Ta? Iya?" Sita memperlihatkan senyum kecutnya. "Anda ini aneh ya! Bertanya sendiri, dijawabpun sendiri, heh!" selorohnya. "Hai, Bapak yang terhormat, harus berapa kali saya mengatakan pada anda, kalau Keinara itu anak saya, dan bukan anak anda. Ayah Keinara sudah meninggal ketika Keinara masih kecil. Apa anda belum paham juga? Apa anda tidak bisa mencerna kata-kata yang barusan saya sampaikan? Harus dijelaskan seperti apa lagi sih?" tutur Sita dengan menahan emosi. Raut wajahnya terlihat memerah, bola matanya juga terlihat membesar. "Kalau benar Keinara itu anak laki-laki lain? Lalu, dimana anak kita? Dimana dia sekarang? Aku ingin bertemu dengan dia, Ta!" tekan Rafly, terus berusaha mendapatkan informasi mengenai anak yang sudah ia tinggalkan dahulu. "Cckk!" Sita melipat tangannya, melengos ke arah lain. "Anak kita anda bilang? Anak yang mana sih? Anak yang sama sekali tidak anda inginkan itu, bukan? Tapi, bukannya waktu itu anda sendiri yang meminta saya untuk membuangnya? Dan keinginan anda sudah saya penuhi." terang Sita dengan suaranya yang bergetar. Rafly mengernyitkan keningnya. "Maksud kamu apa sih, Ta? Jangan ngawur ngomongnya!" sentak Rafly, yang makin gamang karena pikirannya mulai berfikir yang tidak-tidak. "Anak itu sudah aku buang! Tepatnya dia di ambil sama yang menciptakannya." Rafly membuka mulutnya lebar. "Apa? Buang! Kamu buang dimana? Tega kamu, Ta?" "Tega? Ha ha ha!" Sita menyeringai tawa seraya melepas lipatan tangannya. "Bukannya anda sendiri juga tidak perduli dengan semua itu? Bukannya dulu anda juga yang menyuruh saya untuk membuang anak itu? Kenapa tiba-tiba, setelah sekian tahun lamanya, baru anda tanyakan? Kemarin-kemarin anda kemana saja? Atau, jangan-jangan anda habis tidur panjang ya? Terus baru bangun? Iya?" ujar Sita penuh ejek. "Kamu buang kemana anak itu, Ta? Aku akan mencarinya!" "Tidak perlu anda cari. Anak yang tidak anda inginkan itu sudah tenang bersama penciptanya. Jadi, saat usia kandunganku tiga bulan, aku terlibat kecelakaan tunggal yang membuat janin itu harus hilang dari kandunganku." jelas Sita. Terpaksa mengada-ada. Rafly menggelengkan kepalanya. "Nggak! Aku nggak akan percaya dengan ceritamu barusan. Aku tahu siapa kamu, Ta. Tolong jangan berbohong!" desak Rafly. Sita menggelengkan kepalanya. "Astaga! Harus seperti apa lagi sih saya menjelaskan semuanya? Kalau anda tidak percaya ya itu hak anda. Saya tidak ada kewajiban untuk membuat anda percaya sama saya." ujar Sita dengan lantang. Sorot netranya kian nanar. Ya, sebuncah amarah dan kebencian terlihat disana. Rafly menghela nafasnya yang semakin sesak. "Sita! Apa aku harus berlutut dulu agar kamu mau memaafkan aku kembali? Bilang, Ta. Bilang apa mau kamu aku akan lakukan. Asal kamu memaafkan aku." "Tidak perlu melakukan itu. Saya ini cuma orang kecil, tidak pantas lah dilihat orang seperti anda harus berlutut di hadapan saya. Permintaan saya cuma satu, saya ingin anda meninggalkan tempat ini. Saya nggak mau pengunjung butik saya pada pergi gara-gara melihat kejadian yang tidak mengenakkan ini. Jadi tolong ya, hargai saya. Saya mengais rezeki dari butik ini, kalau sampai mereka pada nggak mau datang lagi kesini gara-gara melihat keributan ini, bagaimana nanti saya makan. Saya bukan orang kaya seperti anda yang punya banyak harta. Nggak kerja sebulanpun masih tetap bisa makan enak. Kalau saya, nggak nyari uang sehari juga sudah kelimpungan mikirin uang makan buat esok hari. Jadi tolong, tinggalkan tempat ini, Bapak yang terhormat!" usir Sita dengan senyum sinisnya. Rafly benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Sita bersikeras untuk tidak memberitahunya, siapa identitas Keinara. Tapi hati Rafly masih berkeyakinan sama, jika Keinara itu adalah anak kandungnya. Sita merubah pandangannya menuju ke sebuah parkiran yang ada di depan butik. Terlihat seorang pengunjung sedang memarkirkan sebuah sepeda motor disana. "Tolong anda pergi dari sini! Sekarang juga! Saya mau kerja!" usirnya lagi. Tanpa mendengarkan sahutan Rafly, Sita membalikkan tubuhnya, bergegas kembali masuk ke dalam butik. Sementara Rafly masih mematung di tengah pintu. "Permisi, Pak. Saya mau masuk. Bisa geser sedikit berdirinya?" ucapan seseorang membuyarkan lamunan Rafly. Rafly menoleh "Owh, maaf Mbak." Sontak Rafly menggeser posisi berdirinya, membiarkan seorang wanita muda itu untuk masuk ke dalam butik. Rafly terpaksa harus mengalah lagi. Memaksa Sita memang tidaklah mudah. Rasanya juga percuma jika Rafly terus menekannya. Watak Sita yang keras kepala tentu saja malah akan menyulitkan Rafly. Rafly akhirnya memutuskan untuk meninggalkan butik. Ia kembali menaiki taksi yang dimintanya untuk menunggunya tadi. "Kemana kita, Pak?" tanya sang sopir, memutar kepalanya sembilan puluh derajat menghadap Rafly. "Emmm, antar saya ke Kampus Nusa Bakti, Pak." "Baik, Pak." sahut sang sopir. Sang sopir segera memacu mobilnya menuju kampus Nusa Bakti, dimana Zaky dan Keinara tengah menempuh pendidikannya. *** Dada Sita masih hebat bergemuruh. Ia tahan amarahnya di depan Rafly demi menjaga kredibilitasnya sebagai seorang pemilik butik. "Rafly benar-benar ngajak perang. Aku yakin dia akan berusaha mencari tahu tentang Keinara. Dia punya segalanya, dia bisa dengan mudah melakukan apa yang dia mau. Aku harus gimana ya Allah?" batinnya gamang. "Mbak, yang ini ada ukuran yang lebih besar lagi ngga?" ucap salah satu pelanggannya. Sita yang sedang melamun terperanjat seketika. "Owh, iya gimana Mbak?" tanya Sita yang tidak fokus. Pelanggan tersenyum. "Lagi nggak fokus ya, Mbak? He he." timpalnya. "He he he. Maaf Mbak, rada ngantuk ini, soalnya semalam tidur larut. Jadi nggak fokus ini." kilah Sita. "Ini, kalau ada minta ukuran yang lebih besar, yang XL atau XXL, Mbak." jelas pelanggan seraya menunjukkan model baju gamis di tangannya. "Sebentar ya, saya carikan dulu." Sita bergegas mencari baju yang dimaksud pelanggannya. *** Sesampainya di depan kampus, Rafly segera mempersiapkan segala peralatannya yang sudah dia siapkan di hotel tadi. Menggendong tas ransel ala anak kuliahan. Rafly juga menggunakan jaket anak muda dan juga memasang kacamata bening di matanya. Tidak lupa ia juga menggunakan masker untuk menutupi wajahnya. Supaya tak satupun orang mengenalinya. "Pak, tunggu lagi ya. Saya cuma mau masuk sebentar." ucapnya pada sopir sebelum turun. "Siap, Pak. Saya tunggu." timpal sang sopir. Rafly segera turun dari mobil dan masuk ke dalam kampus. Mencari gedung fakultas ekonomi ruang mata kuliah pemasaran, dimana saat ini adalah jadwal mata kuliah Zaky. Rafly memang sudah mempersiapkan semuanya. Dari mencari jadwal kuliah Keinara melalui akses web kampusnya. Rafly ingin melihat Keinara sebelum kembali ke Jakarta. Rafly berjalan cepat menuju ke ruang 2.1.13, sebagaimana ruang tersebut dicantumkan sebagai ruang kuliah Keinara saat ini. Tak perlu lama mencari, Rafly sudah menemukannya. Dengan memberanikan diri, Rafly mendekatkan langkahnya ke sisi jendela kaca. Ia. menyebarkan pandangannya ke seluruh isi ruang, mencari keberadaan Keinara. "Keinara!" batinnya ketika mendapati sang empunya nama tengah fokus memperhatikan penjelasan yang tengah dosen sampaikan. Dari wajahnya memang sekilas dia mirip sekali dengan Sita di kala muda. Rambutnya yang hitam lurus, matanya yang sedikit sipit, semuanya mirip dengan Sita. Tak terasa, cairan bening menetes juga. Rafly tidak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya. Rafly yakin Keinara adalah anaknya. Dia juga yakin, Sita sudah berbohong dengan apa yang telah disampaikannya. "Maafin Ayah, nak. Ayah sudah berdosa meninggalkanmu saat itu. Kini biarkan Ayah menebus segala dosa-dosa Ayah." batinnya lagi. Zaky yang saat itu tidak sengaja melihat ke arah jendela, mendapati seorang laki-laki yang tengah menatap ke arah Keinara duduk. Zaky diam sejenak, dia seperti tidak asing dengan postur perawakan laki-laki yang dilihatnya tersebut. Bibirnya mengerucut, matanya menyipit, otaknya berusaha mengingat sesuatu. "Siapa ya? Kok kaya nggak asing sih sama itu orang. Tapi kenapa dia memandang Keinara sebegitunya ya? Siapa dia?" batin Zaky penuh jutaan tanya. Rafly menyeka matanya, ia tidak bisa lama-lama berada di kampus, karena jadwal penerbangannya sebentar lagi akan tiba. Setidaknya dia lega, bisa melihat sang putri dalam keadaan baik-baik saja. Sebelum Rafly pergi, tak sengaja matanya selintas memandang ke arah Zaky, yang ternyata, Zaky juga masih memaku pandangannya pada sang Ayah. Beberapa detik mata keduanya sempat beradu. Namun Rafly memilih untuk mengakhiri tatapannya dan segera pergi. "Semoga Zaky tidak menyadari kalau itu aku." batinnya terus berjalan menjauhi ruangan. Zaky terus berfikir, menerka-nerka siapa laki-laki yang ia lihat tadi. Rafly kembali masuk ke dalam mobil. "Ke hotel Santika ya, Pak!" serunya pada sang sopir taksi. "Baik, Pak." Mobil segera menuju ke tempat tujuan. Sesampainya di kamar hotel, Rafly segera menghubungi Agas. "Gas! Ada kerjaan lagi buat kamu. Tapi aku ingin secepatnya. Soal bayaran itu gampang. Gimana?" "Siap bos. Apa yang bisa aku lakukan?" "Aku minta kamu selidiki kehidupan Sita. Kamu korek masa lalu dia. Juga cari tahu identitas Keinara. Aku ingin meyakinkan semuanya, siapa Keinara sebenarnya." "OK Siap! Nanti aku suruh anak buahku yang gerak. Kamu teng aja, tinggal nunggu hasilnya." "OK bagus! Aku tunggu hasilnya segera." "Siap bos!" sahut Agas. Rafly segera mematikan teleponnya. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk akan terus mencari tahu dan mengungkap siapa jati diri Keinara sebenarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD