Empat Tujuh

1527 Words
Suasana di kampus. "Sumpah kepalaku mau pecah gaes! Itu dosen bisa nggak sih menjelaskan dengan lebih baik lagi? Ngomongnya kaya kereta aja yang nggak ada remnya!" gerutu Rony, kesal dengan dosen Statistika, salah satu dosen yang sangat disegani oleh banyak mahasiswa karena ketegasannya. "Sama, Ron! Aku juga mumet ini!" timpal Zaky yang memilih meletakkan kepalanya di atas meja. "Yang mumet nggak cuma kalian. Akika juga mumet kali!" seloroh Sandrina, si bintang kelas yang ternyata juga merasakan hal yang sama. Zaky mengangkat kepalanya, keempat pasang mata memandang ke arah yang sama, ke arah Sandrina, yang wajahnya terlihat kusut kaya benang. "Serius, San kamu juga mumet sama apa yang disampaikan pak Dody tadi?" tanya Michel memastikan. Tentu saja dengan raut ragu. "Ya elah, ngapain aku bohong! Nih, pegang jidat aku. Udah panas banget mau mendidih ini!" timpal Sandrina. "Ha ha ha! Lah, si Sandrina aja bisa bilang mumet, apalagi kita?" sambung Rony campur gelak tawa. "Betul banget! Gimana kalau kita nyari aja yang segar-segar? Pada setuju nggak?" Ide Rony muncul. Di kepalanya memang selalu ada ide kalau soal mengisi kekosongan perut. "Nah itu ide bagus! Kita nongkrong yuk! Di cafe pelangi. Buat ngademin otak ini!" lanjut Michel. "Nah ide bagus itu. Gimana yang lain, mau nggak?" Gantian Sandrina yang usul. "Hayuk, gas kesana!" timpal Zaky. "Kamu, kei? Capcus nggak?" tanya Rony. "Emmm, gimana ya? Aku izin sama Bunda dulu ya. Nanti takutnya Bunda di rumah lagi butuh bantuan gitu. Nggak apa-apa kan?" sahut Keinara. Semua pasang mata nampaknya ada yang aneh dengan sikap Keinara. Biasanya kalau hanya sekedar nongkrong saja dia tidak perlu izin dari sang Bunda. Keinara memang sengaja, karena dia memang ingin menjauh perlahan dari Zaky. Semakin sering bertemu, sepertinya akan sulit untuk memadamkan perasaan yang masih utuh tersimpan dalam kalbunya. Sandrina mulai paham dengan apa yang terjadi. Sandrina menatap ke arah Keinara beberapa detik, lalu beralih menatap Zaky. Namun dia berusaha netral. *** Jam makan siang ini, Yudha sengaja menghubungi Vira untuk mengajaknya keluar makan siang bersama. Nyalinya kini makin bertambah berani, kali ini Yudha tidak mau kenyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada di depan mata. Dia ingin gerak cepat mendekati Vira supaya tidak di tikung oleh orang lain lagi. Tut tut tut "Halo, Mas. Ada apa?" sahut seorang wanita dengan nada suara yang lembut. "Vir, siang ini sibuk nggak? Aku mau ngajak makan bareng, bisa kah?" "Emm, bisa sih, Mas. Tapi nunggu sepuluh menitan dulu baru aku bisa keluar. Soalnya masih ada sedikit urusan yang harus aku selesaikan. Gimana? Mau nunggu nggak? He he." "Sepuluh menit aja? Sepuluh tahun aja aku mau nungguin, Vir, ha ha ha." seloroh Yudha dengan gelak tawanya. "Aisshh. Mulai deh ngeluarin jurus gombalannya Pak Mukidi!" timpal Vira. "He he, sesekali kan nggak apa-apa." "Ya udah, kalau gitu aku selesain pekerjaanku ya, Mas. Abis itu aku langsung jalan." "OK! Nanti aku kirim lokasinya lewat WA ya, Vir. Ya udah, sampai ketemu nanti. Aku menunggumu lho, he he he." celetuk Yudha. "Iya, iya, Mas!" Yudha menutup teleponnya. Sementara Vira masih tersenyum-senyum salah tingkah karena mendengar ucapan terakhir Yudha yang membuat hatinya bergetar, 'aku menunggumu'. Kata-kata sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Yudha tengah bersiap keluar dari sarangnya, alias ruang kerjanya. Terlihat kentara sekali, raut wajahnya begitu berseri-seri. Yudha mengangkat tubuhnya melenggang dengan ringan melangkahkan kakinya meninggalkan ruangannya. "Ciee, kayanya ada yang lagi bahagia nih!" seru salah satu teman Yudha di kantor. Yudha menghentikan langkahnya, lalu memutar pandangannya ke arah sumber suara. Ada Roby yang tengah berdiri di ruang informasi dengan senyum-senyum menatap ke arah Yudha. "He he, kan emang harus bahagia setiap hari. Biar Awet muda!" timpal Yudha. "Ngeles aja! Bukannya kamu lagi bahagia soalnya ada yang nungguin di depan sana, he he!" tutur Roby, netranya berubah mengarah ke pintu keluar. "Maksudnya?" timpal Yudha. Kemudian ia mengikuti arah mata Roby memandang. Betapa kagetnya dia ketika mendapati ada seorang wanita yang tengah duduk di kursi dengan membawa sebuah rantang susun di pangkuannya. Ya, dia adalah Ratna. "Ratna!" lirihnya tidak percaya. "Cie, cie, yang dibawain makan siang sama calon istri, sit suittt, cihuiii!" ledek Roby makin menjadi. Yudha menatap ke arah Roby, dengan ekspresi wajahnya yang sulit untuk di jelaskan. Yudha memang tengah bahagia, tapi bukan karena kehadiran Ratna yang sudah ada di depan matanya saat ini. "Buruan disamperin! Keburu tar ada yang nyamperin duluan!" seru Roby. Yudha tak menyahut, dengan lemas ia langkahkan kakinya menuju pintu keluar. Ratna yang melihat Yudha berjalan ke arahnya, segera bangkit dari duduknya, melemparkan senyum terbaiknya ke arah Yudha. "Assalamualaikum, Mas Yudha." sapanya terdengar lembut. Yudha berhenti tepat di hadapan Ratna. "Waalaikumsalam. Kamu ngapain disini?" Ratna menyerahkan sebuah rantang di tangannya. "Ini, Ratna bawain Mas Yudha makan siang. Ratna sengaja masak banyak tadi, Mas." "Sit suittttt!" seloroh Roby yang berjalan di sekitaran Yudha dan Ratna. Sementara Ratna hanya menunduk tersipu menyembunyikan raut malunya karena celetukan teman kantor Yudha. Yudha terpaksa menerima rantang dari Ratna. "Kenapa sih, pakai antar makanan segala? Aku bisa nyari makan di luar, Rat!" ucap Yudha, Dari nada suaranya terdengar dia tidak begitu menyukai apa yang dilakukan oleh Ratna. Ratna menegakkan kepalanya. "Mas Yudha nggak suka? Emmm, maaf! Ratna tadi cuma disuruh sama Bapak. Ratna ikut aja, Mas. Kan nggak baik juga nolak permintaan orang tua." jelas Ratna. Ada setitik kecewa yang tersirat di mata Ratna. Ratna pikir, Yudha akan dengan senang hati jika ia memberikan perhatian sejauh ini. Tapi nyatanya, justru kecewa yang ia dapatkan. Ratna berusaha tegar dan bersikap seperti biasa. "Emmm, kalau Mas Yudha nggak mau nggak apa-apa, Mas. Makanannya bisa Mas Yudha kasih ke teman-teman Mas disini. He he! Maaf ya, Mas kalau Ratna lancang nggak ngasih tahu sebelumnya." Yudha terlihat menarik nafasnya dalam-dalam. "Bukannya nggak mau, Rat. Cuma aku udah terlanjut janji sama seseorang untuk makan siang di luar. Kalau kaya gini kan sayang makannya. Lain kali kalau mau kesini bilang dulu, kasih kabar dulu, biar nggak miss komunikasi gini." "Emmm, iya Mas. Sekali lagi maaf ya." lirih Ratna. Keduanya saling diam. Yudha bingung harus bagaimana, sementara dia sudah ada janji dengan Vira, lalu bagaimana nasib makanan yang ada di tangannya saat ini? Sementara Ratna sebenarnya masih berharap Yudha berkata untuk mengajaknya makan siang bersama menikmati masakannya. "Emm, Rat kalau gitu aku bawa makanan ini ke dalam ya. Sekali lagi makasih atas perhatian kamu. Tapi lain kali, kalau mau kesini kabarin dulu,ya? Aku nggak mau ngerepotin kamu." terang Yudha. Ratna menegakkan pandangannya. "Iya, Mas, Maaf. Kalau gitu aku balik dulu ya, Mas. Selamat makan siang ya, Mas. Permisi, Assalamualaikum." "Waaliakumsalam. Hati-hati di jalan ya." sahut Yudha. "Iya, Mas." timpal Ratna. Ia segera meninggalkan kantor Yudha. Ada sebuncah kekecewaan yang Ratna rasakan. Ya, harapannya untuk bisa makan siang berdua dengan Yudha harus kandas. Tapi tidak mengapa, setidaknya usahanya untuk memberi perhatiannya ke Yudha, diterima. Yudha kembali masuk ke dalam kantor, berjalan ke ruangan Anis, yang terlihat masih ada di mejanya. "Nih, makan siang, Nis. Bagi ya sama yang lainnya!" ujarnya meletakkan rantang tersebut di atas meja. "Waaaah, pak Yudha baik banget sih. Makasih ya, Pak." ujar Anis bahagia. Di saat tanggal tua seperti ini, ada saja rezeki yang menghampirinya, salah satunya adalah makan siang gratis dari Yudha. Yudha segera melanjutkan langkahnya. Mengambil mobilnya dan segera menuju ke warung tegal langganannya. Tidak lupa dia kirimkan lokasinya pada Vira. *** Setelah Sandrina menelpon Sira dan izinnya dikabulkan, kelima anak tersebut segera tancap gas ke lokasi. Keinara masih terlihat banyak diam, Zakypun sama. Keinara yang biasanya akan duduk di bangku depan samping Zaky, memilih untuk duduk di belakang. Sementara bangku depan diisi oleh Rony. Suasana di mobil yang biasanya riuh mendadak hilang. Membuat Michel dan Rony menaruh kecurigaan. "Ini suasana mobil kok jadi kaya ada yang aneh ya! Kalian ngerasa nggak? Kaya ada sesuatu yang kurang gitu lho." celetuk Rony. "Iya, Ron. Lagi pada sakit gigi kali ya, he he he." celetuk Michel. "Kalian ini kalau ngomong sekata-kata. Emang kalian udah sembuh apa mumetnya? Aku aja masih belum pulih ini mumetnya gara-gara abis mikir keras sama kuliahnya Pak Dody tadi. Belum lagi tugasnya yang bejibun. Hadduuhhh! Pusing!" seloroh Sandrina. Berusaha mengalihkan perhatian Michel dan Rony. "Kalau mumet sih masih, San. Cuma heran aja lho, susana di mobil nggak kaya biasanya." "Nanti kalau udah sampai di tempat makan juga pulih lagi. Tar nih kalau udah pada pegang makanannya masing-masing, ha ha ha!" timpal Sandrina. Sandrina yang duduk di sebelah Keinara, menyenggol lengan Keinara dengan sikunya. Memberikan kode supaya Keinara bersikap seperti biasanya. Supaya teman-temannya tidak menaruh curiga kepadanya. Keinara menyambut kode keras yang diberikan oleh Sandrina. Sontak, segera saja ia bersikap kembali seperti biasanya. "Kalian ini berisik banget sih! Telinga aku panas nih dari tadi dengerin kalian ngoceh!" semprot Keinara, kemudian melengos menatap ke kaca, menikmati pemandangan luar. "Tahu nih, kalau ketemu pasti ada aja yang diributin. Sekali aja deh coba, kalau ketemu itu jangan ribut. Sayang-sayangan kek, biar romantis gitu, ha ha ha!" celetuk Zaky. Gantian mengeluarkan suaranya. "Astaghfirullah, sayang-sayangan sama orang model begitu? Amit-amit lah!" seloroh Michel dengan gestur jijik. "Yeeyyy, emangnya kamu doang tang nggak mau? Aku juga nggak mau kali sayang-sayangan sama orang telmi macam kamu ini. Hihhh, pait pait pait! Amit-amit jabang bayi!" imbuh Rony. Ya, begitulah suasana di dalam mobil yang ditumpangi kelima anak tersebut. Tiada hari tanpa keributan, tiada hari tanpa bulian. Tapi itulah warna-warni pelangi dari sebuah persahabatan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD