Empat Delapan

1874 Words
Yudha sudah sampai di warung pinggiran langganannya. Warung milik Bu Tatik. "Siang, Bu Tatik." sapa Yudha dengan senyum khasnya. Ia langsung duduk di meja favoritnya yang menghadap persis ke arah jalan raya. "Eh, ada Mas Ganteng. Monggo Mas, masuk! Kemana aja lho Mase ini, kok baru kelihatan. Kirain sudah lupa sama warung saya, Mas!" seloroh Bu Tatik, mengajak Yudha bercanda. "He he he. Iya Bu, lagi lumayan sibuk sih. Biasa akhir bulan harus selesai semua pekerjaannya." terang Yudha santai. "Oalah, lagi kejar setoran to, Mas! Mudah-mudahan pekerjaannya lancar dan bisa selesai tepat waktu ya, Mas. Ini ngomong-ngomong mau pesan makan apa? Dari tadi malah diajak ngobrol wae ya, Mas sama saya. He he he." "He he he. Nggak apa-apa, Bu. Emm, saya pesennya nanti aja ya. Ini lagi nunggu teman, sebentar lagi juga datang kok." balas Yudha. Bu Tatik manggut-manggut. "Owh, iya sudah kalau mau nunggu temannya." Tak selang berapa menit, terlihat sebuah mobil sedan berwarna silver menepi di sisi jalan. Vira akhirnya datang juga. Ia segera keluar dari mobil. Yudha bangkit dari duduknya, berjalan keluar dari warung dan memanggil Vira. "Vir, sini." seru Yudha seraya melambaikan tangan. Vira nampak mengurai senyum, berjalan mendekati Yudha. Sementara Bu Tatik nampak memperhatikan dari balim etalase menu makanannya. Melihat siapakah teman Yudha yang datang. "Maaf ya Mas Yudha, telat, he he. Tadi agak macet di jalannya. Kamu udah lama nungguinnya?" tanya Vira, ia merasa tidak enak karena membiarkan Yudha menunggunya. "Nggak apa-apa. Aku juga baru aja sampai kok. Masuk yuk!" ajak Yudha. Yudha memang sengaja mengajak Vira untuk makan di pinggiran jalan. Ia ingin melihat ekspresi atau sikap Vira ketika hanya diajak makan di pinggir jalan. Masih kan sikapnya seperti dulu, yang selalu rendah hati. Yudha dan Vira sudah duduk. Bu Tatik diam-diam senyum di balik etalasenya. "Oalah, ternyata Mbak ini to yang ditunggu dari tadi itu. Pantesan aja wajahnya sumringah senyam-senyum dari tadi. Mas Yudha! Mas Yudha!" celoteh Bu Tatik, membuat Yudha mendadak menjadi salah tingkah. Sementara Vira hanya bisa menahan senyumnya saja. Yudha menoleh ke arah Bu Tatik. "Apa sih Bu! Nggak usah ngarang yang aneh-aneh deh. Perasaan dari tadi aku biasa aja lho." seru Yudha, mencoba menjaga kesan di hadapan Vira. "Yeyyy, itu Mas Yudha malah jadi salah tingkah sendiri, he he he." ucap Bu Tatik semakin memojokkan Yudha. Vira masih saja menahan senyumnya, ia tidak mau jika Yudha akan merasa semakin terpojok. "Udah ah, nggak kelar-kelar ini nanti ngobrolnya. Mendingan sekarang kita pesan makanan aja ya! Udah lapar banget ini." ujar Yudha, mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Kamu mau pesan apa, Vir? Makanan disini enak-enak banget lho, nggak kalah sama makanan di restoran. He he." terang Yudha. "Aku ikut lah. Kalau kata Mas Yudha enak, ya pasti enak, he he." timpal Vira. "Emm, aku mau ayam geprek sambal hijau. Enak lho, Vir. Kamu mau juga?" "Iya deh, Mas, mau juga." sahut Vira. "OK! Terus minumnya apa?" "Apa ya? Emmm, ikut juga deh sama Mas Yudha, he he." timpalnya lagi. Yudha mengarahkan pandangannya tepat ke mata Vira. "Kamu ini disuruh milih kok malah ngikut sih, Vir? Nanti kalau aku milih nyebur ke semur, jangan-jangan kamu mau ikut juga. Ha ha ha." seloroh Yudha diiringi gelak tawa. "Yeyy! Nggak juga dong, Mas. Masa iya Mas Yudha masuk ke sumur aku ikutin. Masuk ke yang lain aja, he he he." "Jadi selain nyemplung ke sumur mau, ya?" "He emm." sahut Vira seraya mengangguk. "Hemmm, ya udah. Kalau gitu mau nggak aku ajak ke KUA, he he he." celetuk Yudha tanpa basa-basi. Namun wajahnya tak berani menatap langsung ke arah Vira. Vira sesaat tersenyum. "Emmm, ya kalau niat mau ngajak ke KUA ya ayok aja." jawabnya yang membuat Yudha sangat terkejut. Sontak ia menengok Vira yang duduk di sampingnya dengan wajah syok. "Apa kamu bilang barusan, Vir?" tanya Yudha memastikan. "Haduh, nggak ada siaran ulang, Mas! Udah ah, kalau kita ngobrol terus kapan makannya?" elak Vira. Yudha masih terlihat terdiam, wajahnya masih memperlihatkan ekspresi tidak percaya dengan apa yang ia dengar tadi. Bu Tatik yang gemas melihat kelakuan kedua orang di hadapannya itupun ikut bersuara. "Mas Ganteng sama Mbak cantik, mau pesan makanan apa? Dari tadi malah berdebat nggak ada ujungnya. Gini ya, kalau orang lagi kasmaran mah, yang tadinya kelaparan, eh pas udah ketemuan jadi mendadak kenyang. Hi hi hi." ujar Bu Tatik, setengah meledek. Yudha menengok ke belakang. "Bu, jangan mikir yang aneh-aneh sih. Ini kita juga lagi diskusi kau pesan makanannya." selorohnya. "Ayam geprek cabai hijaunya dua, sama es teh manisnya juga dua. Nggak pakai lama ya, Bu!" seru Yudha. "Walah, gini ya kalau lagi kasmaran, makan sama minum aja juga berpasangan ya. He he he." ledek Bu Tatik, lagi. Vira, lagi-lagi hanya bisa menahan senyumnya seraya setengah menunduk. "Udah Bu. Nggak pakai lama ya! Lima menit langsung jadi!" seru Yudha. "Astaga, Mas Ganteng nggak kira-kira menyuruhnya. Ya mana ada lima menit beresin dua menu!" protes Bu Tatik seraya bergerak membuatkan menu pesanan Yudha. Yudha dan Vira saling berpandangan, lalu tertawa melihat tingkah polah yang ditunjukan oleh Bu Tatik. *** "Bu, ini gimana si Yudha, kok sampai saat ini belum ada juga tanda-tanda dia semakin dekat dengan Ratna. Padahal Bapak itu berharap mereka bisa secepatnya menikah. Biar tenang hati ini." celoteh Prayoga yang sedang duduk di kursi halaman belakang. Setelah merasakan teriknya sinar matahari yang begitu menyengat tubuhnya, ia memutuskan untuk istirahat sejenak dari aktifitas memanen cabainya di belakang rumah. "Lah, Ibu ndak mau ngoyo lah, Pak. Ndak mau juga memaksakan apa yang tidak dikehendaki sama Yudha. Ibu pikir sih, sepertinya Yudha memang tidak tertarik dengan Ratna." timpal Mainah lesu. Ia duduk berada di sebelah Prayoga. "Lho, Ibu ini gimana to? Kemarin katanya dukung perjodohan ini. Lah sekarang kok malah berubah pikiran gini? Pagi kedelai, sore tempe ini judulnya. Ibu plin-plan ndak konsisten." seloroh Prayoga. Nampak kecewa dengan keputusan sang istri. Mainah menghela nafasnya. "Pak! Bukannya Ibu plin-plan. Ibu cuma ndak tega kalau harus menekan Yudha. Soal jodoh itu kan pilihan hati, Pak. Kita hanya bisa mengarahkan. Kita ndak bisa memaksakan seperti ini. Yudha berhak memilih wanita yang ingin dinikahinya nanti. Begitu maksud Ibu, Pak!" jelas Mainah. Ia tidak mau suaminya menjadi salah paham oleh keputusannya. "Ya tapi kapan, Bu? Kapan Yudha mau menikah? Ibu lihat! Usianya sudah hampir empat puluh tahun lho. Tapi nyatanya, sampai sekarang masih betah menyendiri. Kalau bukan kita yang nyariin, mau gimana nasib anak itu ke depannya? Apa iya mau sendiri sampai tua. Ya kan amit-amit to, Bu." "Astaghfirullah, Pak! Jangan ngomong seperti itu. Ingat! Omongan itu bisa jadi do'a. Memangnya Bapak mau anak kita nggak kawin-kawin? Nggak kan?" Mainah makin terpancing emosi. "Ya makanya, biar nggak jadi bujang tua, Bapak cariin kan?" "Ya tapi kalau anaknya nggak mau? Mau digimanain coba, Pak? Mau tetap di paksa? Ibu tetap nggak setuju!" timpal Mainah. "Terus, mau nikah kapan anak itu, Bu, kalau nggak mau sama Ratna. Memangnya saat ini Yudha punya pacar?" "Bapak ingat nggak, sama bu dokter cantik yang waktu itu ngobrol saka Yudha di resepsi pernikahannya Lastri? Ibu rasa mereka berdua ada hubungan deh, Pak. Soalnya, yang Ibu lihat, Yudha kaya yang nyaman gitu sama Bu dokter itu." terang Mainah. Sontak Prayoga menegakkan pandangannya, lalu menoleh ke Mainah yang duduk di sampingnya. "Bu dokter?" tekan Prayoga. Mainah menjawab hanya cukup mengangguk perlahan. *** Balikpapan Semakin hari, Rafly semakin tidak tenang. Hampir di setiap menit ia harus memeriksa ponselnya untuk memastikan kabar baru yang ingin dia dengar. Namun sampai saat ini Agas belum juga memberikan kabar terbaiknya. Drrrrrttt. Ponselnya bergetar, terlihat muncul notifikasi di layar ponselnya. Sebuah pesan dari aplikasi hijaunya. Rafly buru-buru membukanya. Sebuah pesan dari Agas. [Maaf, Raf! Aku belum menemukan info yang valid mengenai Keinara. Yang aku dapatkan hanya sebuah informasi kalau Keinara sedari kecil hanya hidup berdua dengan Sita. Tidak ada yang tahu dimana keberadaan Ayah Keinara.] Setelah membaca pesan dari Agas, batin Rafly makin yakin, jika Keinara itu memang anak kandungnya. "Tapi gimana caranya aku membuktikan kalau Keinara itu adalah anakku? Apa yang harus aku lakukan?" lirih Rafly seraya berfikir menemukan sebuah cara. Rafly memejamkan matanya, seraya memijat keningnya yang sudah mulai terasa sakit. Tiba-tiba saja ide gila melintas di kepalanya. "Apa aku minta untuk tes DNA aja ya sama Sita. Tapi, ahh, aku yakin Sita nggak bakal izinin. Terus gimana caranya aku bisa melakukan tes itu tanpa sepengetahuan Sita?" Rafly kembali berfikir keras. *** Yudha dan Vira tengah menikmati makanan yang sudah ada di hadapannya. Terlihat sekali Vira begitu lahap menyantap suapan demi suapan perpaduan nasi putih dan ayam suwir geprek sambel hijau ke dalam mulutnya. Diam-diam, Yudha selalu memperhatikan Vira, mencuri-curi pandang untuk bisa menatapnya dalam diam. "Enak banget, Mas ini makanannya. Tuh lihat punyaku udah hampir habis." celoteh Vira sambil terus menikmati makannya. "He he. Apa aku bilang. Ayam gepreknya Bu Tatik nggak ada lawan deh. Nggak kalah enak sama rasa makanan di restoran mahal." sambung Yudha. "Mau nambah lagi?" tawarnya. "Enak sih, Mas. Tapi kalau mau nambah kayanya nggak deh. Dipikir perutku ini karet apa?" seloroh Vira seraya tersenyum. "Ya kali aja masih pengen terus mau nambah." timpal Yudha dengan tawa kecil. "Emm, Vir. Kamu nggak risih kan, cuma aku ajak makan di warung pinggiran ini? Ya, biasanya kan sekelas Bu dokter, makanya di tempat yang mahalan." Vira menoleh ke arah Yudha. "Risih? Kenapa risih? Makan dimanapun aku mah nggak masalah, Mas. Yang penting kenyang aja, he he he." "Ya kan, zaman sekarang mana ada yang mau diajak ke tempat makan model beginian? Apalagi sekelas Bu dokter." "Ya kan nggak semuanya juga kali, Mas. Buktinya aku mu dibawa makan ke tempat ini." "Kalau di bawa ke KUA beneran, mau nggak?" celetuk Yudha tiba-tiba, membuat Vira diam seketika. Tiba-tiba ada rasa berdegup kencang tidak beraturan bersarang di d**a Vira. Vira perlahan menoleh ke sampingnya, menatap lekat ke netra Yudha. Entah apa yang ada di pikiran Vira saat ini. *** "Mbak Sita, ini model keluaran terbaru ya? Ada yang ukurannya lebih kecilan dikit nggak ya?" tanya seorang pengunjung butik. Sita yang terlihat berdiri mematung dengan pandangan datarnya masih terlihat diam. Sepertinya tidak menyahut apa yang di tanyakan oleh pengunjungnya. "Mbak Sita!" panggil si pengunjung, sekali lagi. Sontak, Sita terhenyak mendengar seruan yang nyaring di telinganya. "Eh, iya Mbak Putri, gimana? Apa yang mau dibenerin?" Pengunjung butik yang bernama Putri tersebut sontak mengerucutkan keningnya. Kemudian ia tertawa kecil. "He he he. Mbak Sita lagi nggak fokus ya? Ini masih ada ukuran yang lebih kecil nggak?" menunjukkan sebuah tunik berwarna dasar merah muda dan bermotif garis-garis. "Bukannya mau diperbaiki, Mbak Ta." Sita menepuk keningnya sendiri. "Ya ampun, maaf Mbak Put, akunya lagi oleng ini, nggak fokus. He he he." timpal Sita jadi salah tingkah. "Iya ada Mbak, sebentar ya, saya ambilkan dulu." "Iya, Mbak." sahut Putri seraya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Sambil menggerutu dalam hati, Sita segera mencarikan model pakaian yang diminta oleh pengunjung setianya. "Astaghfirullah, gara-gara Rafly, sekarang hidup aku jadi nggak tenang kaya gini! Huufff!" ucapnya dalam hati, seraya menahan kesal. Sita kembali pada pengunjungnya dengan menunjukkan sebuah tunik yang berukuran lebih kecil yang diminta. "Ini Mbak Putri, ukuran L. Dicoba dulu!" ucap Sita seraya menyerahkan tunik yang masih terbungkus dalam plastik. "Saya coba dulu ya, Mbak Sita." sahut Putri. Sitapun mengangguk dan tersenyum. Pengunjung tersebut beranjak dari hadapan Sita menuju ke ruang ganti. Sementara Sota terus mencoba menata hatinya. Menarik nafasnya panjang-panjang, lalu ia hembuskan perlahan. Ia lakukan itu berulang-ulang demi ketenangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD