Empat Sembilan

1928 Words
"He he he! Kenapa mukanya jadi aneh gitu sih, Vir?" potong Yudha. Belum sampai Vira menjawab ajakan Yudha. "Aku cuma bercanda. Lagian mana mau wanita karir yang sukses kaya kamu ini diajak ke KUA sama laki-laki macam aku ini. Cuma pegawai kelas bawah. Hi hi hi." ucap Yudha merendah. Padahal di dalam hatinya dia benar-benar serius dan menginginkan hal itu terjadi nyata. "Emm, emangnya Mas Yudha tadi bilangnya beneran nggak sih?" "Udah, nggak usah dipikirin. Anggap aja omongan aku tadi cuma bercanda, he he." elak Yudha, melanjutkan makan. Vira menyerongkan duduknya. Menatap Yudha dengan lekat. "Mas!" panggilnya serius. Yudha menghentikan kunyahannya, lalu menatap Vira yang sudah menatapnya dengan tatapan penuh keseriusan. "Ya? Kenapa, Vir?" d**a Yudha terasa berdegup makin kencang. Baru kali ini ia berani menatap mata Vira dengan waktu yang cukup lama. "Kalau aku mau di bawa sama Mas Yudha ke KUA gimana?" ujarnya diluar dugaan Yudha. Sontak membuat d**a Yudha semakin tidak terkendali. Makin berdegup tidak karuan. Kata-kata yang diucapkan Vira barusan bagaikan sambaran petir yang mematikan. Mulut Yudha setengah melebar, ingin di gerakkannya saja rasanya susah dan kaku. "Ma, maksud kamu gimana, Vir?" tanyanya memastikan, dengan terbata-bata. Vira mengulas senyum, mencoba memecah ketegangan yang ada di antara mereka berdua. "He he he. Kalau Mas Yudha mau bawa aku ke KUA, aku mau Mas. Datang ke kedua orangtuaku lalu minta aku baik-baik. Mas Yudha mau?" Yudha perlahan mengembangkan bibirnya. Rasanya tidak percaya saja, di pertemuannya yang singkat dengan Vira, langsung mendapatkan sinyal baik seperti harapannya. "Kamu serius, Vir?" Vira mengangguk dengan tersenyum manis. Tak bisa dibayangkan bagaimana bahagianya Yudha saat ini. Mendengar wanita yang sejak dulu ia kagumi, ternyata memberikannya kesempatan untuk membuktikan cintanya yang dulu sempat tertunda. Keduanya masih saling berpandangan, saling menatap dalam, lalu di akhiri dengan senyum keyakinan. *** "Mbak Sita, boleh dibungkus yang ini. Pas dan cocok di badan aku. He he he." ujar Putri yang baru saja keluar dari kamar ganti. Berjalan menuju meja kasir, dimana Sita tengah duduk termenung, masih memikirkan soal Rafly. "Siap, Mbak Put." "Ada tiga jadi ya, Mbak. Tunik ini sama celana panjangnya ada dua." terangnya. "Iya Mbak, Put. Sudah? Tiga aja atau masi mau ditambah lagi?" "Sementara ini dulu aja deh. Masih mau banyak sih, tapi uangnya yang nggak mau diajak kompromi, hi hi hi." celetuk Putri. Sita segera mengemas pakaian yang diberikan oleh Putri. "Halah, jangan bilang gitu, Mbak. Kan tinggal nodong ke Pak suami aja udah beres. Pasti langsung lumer kan yaaa, he he he." gurau Sita pada pengunjung setianya tersebut. "Halah, Mbak Sita ini lho bisa aja. Ya kaya nggak tahu aja sama kaum laki. Asalkan setiap malam dikasih jatahnya dobel ya pasti lumer lah Mbak. Ha ha ha." "Ha ha ha. Mbak Putri bisa aja. Yang penting kan sama-sama enak." timpal Sita mengimbangi. "Ya gitu lah, Mbak. Kalau tiap malam minta jatah ya jebol ini pinggang. Dikiranya nggak capek apa ini badan. Hufff!" "Nggak apa-apa Mbak, tinggal pergi pijat ke beres dah. Yang penting kan kebutuhan shopping tetep jalan, kan yaaaa!" seloroh Sita dengan tawa kecilnya. "Ah, Mbak Sita bisa aja deh." "Ha ha ha." Keduanya saling menatap dan tertawa lepas. Setelah menyelesaikan pembayarannya, Putri segera meninggalkan butik. Sementara Sita kembali merapikan pakaian-pakaian yang berantakan di rak. "Makanya Jeng Sita buruan nikah lagi. Nggak sepi apa setia malam sendiri. Apalagi ini kan musim hujan, tidur sendirian itu dingin lho Mbak, he he he." Tiba-tiba ada seorang pengunjung lagi yang menyahut pembicaraan antara Sita dan Putri, dia adalah Siska, seorang yang merupakan pengunjung tetap di butik Sita juga. Ternyata sedari tadi Siska ikut memperhatikan perbincangan antara Sita dan Putri. Sontak ucapan itu sedikit menggelitik pikiran Sita. Selama ini memang Sita tidak pernah memikirkan soal pasangan. Fokusnya hanya ia tujukan untuk Keinara. Sita menoleh ke belakang, ke arah Siska yang sedang memilih sebuah jilbab di belakang Sita. "Heeemmm, jeng Siska mulai lagi deh." timpal Sita. "Ya kan emang bener, jeng! Tidur dipeluk sama suami itu rasanya hangat-hangat sedap gimana gitu, ha ha ha." seloroh Siska dengan tawanya yang menggelegar. "Nggak kepikiran, Jeng. Aku fokus aja sama anakku. Lagian aku ini udah tuirr, bentar lagi menopause, siapa juga laki-laki yang mau sama aku. Nggak ada lah! Yang ada mereka itu nyarinya daun-daun muda yang masih seger, masih fresh enak di pandang dan di pegang, ha ha ha." timpal Sita mengimbangi celotehan Siska. "Ya, kan jodoh nggak ada yang tahu, jeng. Kalau misal ada laki-laki yang baik, tanggung jawab, dan mapan, ya mau aja. Siapa tahu bisa mengobati dahaga jeng Sita selama ini. Kasihan itu lho sawahnya nggak ada yang makai buat bercocok tanam lagi, hi hi hi." tutur Siska semakin menjurus obrolan orang-orang dewasa. "Halah jeng, nggak di tanami apa-apa juga selama ini baik-baik aja kok. He he he." balas Sita. "Yakin jeng nggak apa-apa? Aku aja ya, kalau nggak di tanami dua hari aja rasanya udah kekeringan luar biasa lho jeng. Udah nyari-nyari tuh si tukang bercocok tanamnya, ha ha ha!" obrolan Siska makin tidak terkendali. Sita hanya bisa geleng-geleng kepala. Keduanya pun tertawa lepas. Ya, Sita memang hampir tidak pernah memikirkan soal laki-laki lain lagi. Hidupnya fokus untuk mengurus Keinara dan butiknya. Kadang memang ada rasa rindu yang menusuk hatinya. Rindu bisa bermanja seperti pasangan yang lainnya. Namun semua itu ia tepis dalam-dalam. Tidak dipungkiri, kebutuhan biologis seorang wanita dewasa tentu saja sering ia inginkan. Namun bukan berarti harus ia salurkan dengan laki-laki sungguhan. Ada berbagai macam cara yang Sita lakukan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Apalagi di zaman modern seperti ini, tidak sulit untuk mencari kepuasan dengan cara lain yang lebih simpel. Setelah membayar belanjaannya, Siska pun segera meninggalkan butik. Sita kembali berjalan ke meja kasirnya, memeriksa hasil penjualan hari ini. "Alhamdulillah, hari ini butik ramai pengunjung. Barang yang keluar juga banyak." lirihnya sambil menatap angka-angka yang tertera dalam tabel pengeluaran di layar komputernya. Sita memegangi lehernya, menekuknya ke kanan dan kiri. "Capek juga ya kalau setiap hari ramai kaya gini. Mondar-mandir sendiri, jadi kasir sendiri, jadi pramuniaga sendiri. Huufff!" keluhnya. Sita diam sejenak, tiba-tiba ada sesuatu yang melintas di kepalanya. "Apa ini sudah saat aku nyari karyawan buat bantu-bantu disini ya?" lirihnya. *** Selesai makan siang, Keinara dan kawan-kawannya kembali ke kampus. Masih ada satu mata kuliah lagi yang harus mereka ikuti. Di tengah-tengah perjalanan, tiba-tiba Keinara memegangi perutnya. Langkah kakinya pun terhenti. "Gaes kalian duluan aja deh, perutku sakit ini, mau mampir setoran dulu, he he he." ucap Keinara di tengah jalan menuju ke kelas. Sepertinya perutnya bermasalah setelah memakan ayam geprek sambel level dua puluh yang dipesannya di restoran tadi. Ke empatnya berhenti sejenak, menengok Keinara yang sudah meringis menahan pergolakan perutnya. "Hemmm, apa aku bilang. Udah dibilangin nggak usah pesan yang level tinggi, masih aja ngeyel. Nah sekarang baru kan kerasa!" semprot Michel. "Aduh aku udah nggak tahan ini!" Keinara makin meringis, kelojotan kaya cacing kepanasan. "Udah sana! Nanti bocor disini malah bahaya. Kita duluan kalau gitu ya!" ucap Rony. "Iya kalian duluan aja. Aku udah nggak tahan!" Keinara tiba-tiba lari menuju ke toilet, sementara kawan-kawannya melanjutkan langkahnya menuju ke ruang kelas. Zaky yang melihat ada celah untuk bisa berbicara dengan Keinara, perlahan melipir dan keluar dari barisan rombongan tanpa di sadari oleh ketiga temannya. Zaky kembali berjalan menuju ke arah toilet. Setelah selesai membuang hajatnya, Keinara keluar dari toilet. Betapa terkejutnya ketika ia mendapati Zaky berdiri bersandar dinding di lorong depan toilet. Zaky memang dari tadi sengaja menunggu Keinara. Ingin rasanya ia lari dan menghindari Zaky, tapi rasanya itu mustahil. Zaky terlanjur melihatnya keluar. "Kei, jangan gini sih! Aku nggak bisa kalau kaya gini terus. Aku nggak kuat, Kei." ucap Zaky menahan segala perasaannya. Keinara masih diam, ia bingung harus berbuat apa lagi. Jujur dia sendiri juga tersiksa dengan perasaannya saat ini. Namun ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. *** Agas tiba-tiba saja sudah sampai di depan butik milik Sita. Dengan langkah ragu, ia putuskan untuk tetap masuk ke dalam butik. Bagaimanapun dia harus menyelesaikan mandat yang sudah diberikan oleh Rafly. Dengan tarikan nafas yang panjang, Agas mulai melangkah memasuki pintu. Untung saja saat itu butik sedang sepi, tak ada pengunjung satupun. "Ta! Masih ingat sama aku?" sapa Agas yang sudah berdiri melewati pintu masuk, menatap ke arah Sita yang sedang terlihat melamun menatap layar komptuternya. Sonrak Sita menegakkan kepalanya, menatap ke arah sumber suara dengan tatapan penasaran. Sita berdiri, keluar dari meja kasir, perlahan ia berjalan mendekat. Seraya berjalan, Sita mencoba mengingat-ingat kembali, siapa sosok laki-laki yang tengah berdiri dengan mengembangkan senyuman tersebut. Sekilas dia masih ingat dengan paras yang tidak asing tersebut. "Kamu, Agas?" tebak Sita ragu-ragu, seraya mengangkat telunjuknya. Agas tersenyum, lalu mengulurkan tangannya untuk mengajak Sita bersalaman. "Apa kabar, Ta? Ternyata kamu masih ingat juga sama aku. Agas Prambudi, hehe. Laki-laki terganteng di kelas di masa itu." terang Agas. "Ini beneran Agas? Ya ampun! Agas! Masih hidup kamu ya!" timpal Sita menerima jabat tangan Agas. "Kabar baik, Gas. Kamu sendiri gimana kabarnya?" "Alhamdulillah, baik Ta." sambut Agas. "Agas! Kamu kok bisa sampai sini sih? Sini! Sini, Gas. Duduk." ajak Sita ke belakang. Keduanya berjalan ke belakang ke sebuah sofa panjang yang biasa digunakan untuk menerima tamu di tengah-tengah ruangan yang Sita jadikan sebagai butik. "Sorry ya, tempatnya emang kaya gini. Nggak apa-apa kan, Gas?" "Santai aja, Ta. Kaya lagi nerima tamu agung aja!" seloroh Agas dengan tawa kecil. Sita mengernyitkan keningnya. "Sejak kapan kita punya urusan? Baru juga ketemu!" kelakar Sita. "Eh, bentar ya aku ambilkan minuman dulu ke atas." Baru saja Sita hendak berdiri, Agas terlebih dulu menahannya. "Ta, nggak usah repot-repot. Aku cuma mampir sebentar kok. Ada sedikit urusan sama kamu aja, he he." terang Agas dengan wajahnya yang tiba-tiba berubah tegang dan serius. Sita kembali duduk. "Ini kamu serius, Gas? Beneran ada urusan sama aku?" Sita memastikan kembali. Karena seingatnya dia tidak pernah ada urusan dengan Agas. Yang dia ingat adalah urusannya dengan para pengunjung setia butiknya dan juga beberapa orderan jualannya secara online. Sita memperhatikan wajah Agas dengan lekat-lekat, serius mendengarkan apa yang akan diungkapkan oleh sabahat lamanya itu. "Emm, sebelumnya aku minta maaf ya, Ta. Kalau misalnya nanti ada kata-kata yang kurang pantas aku ucapkan. Jadi, kedatanganku kesini adalah untuk membantu Rafly, menanyakan soal Keinara." Degh! Dada Sita mulai kembali bergemuruh. Hari ini dia harus mendengar lagi nama laki-laki yang sangat ia benci itu. "Rafly? Kamu kesini karena disuruh Rafly? Heh." cibir Sita. Wajah yang tadinya bersahabat tiba-tiba berubah sengak. "Kamu dengerin dulu penjelasan aku, Ta. Kamu jangan salah paham dulu. OK!" Agas mencoba menenangkan Sita. "Jadi kamu tahu tempat tinggal aku ini dari manusia pengecut itu? Lalu, apa maksud kamu datang kesini?" tanya Sita dengan nada ketus. Agas menghela nafasnya, lalu menundukkan kepalanya beberapa detik. Ia angkat kembali, namun masih enggan berkata-kata. "Jadi, kamu sudah tahu semuanya, Gas? Tentu saja, pasti Rafly sudah banyak bercerita dengan kamu, kan?" telisik Sita. Memberikan pertanyaannya, namun ia jawab sendiri. Agas mengangguk. "Ya. Rafly sudah cerita semuanya. Dan Rafly sangat yakin, kalau Keinara itu adalah anak kandungnya." "Oh ya?" sahut Sita dengan nada sinis. "Rafly ingin kejelasan, Ta. Dia ingin tahu yang sebenarnya. Apa iya, Keinara itu adalah anak kandungnya, atau bukan! Cuma itu yang dia inginkan sekarang." terang Agas berhati-hati. Sita tersenyum sinis. "Lalu, setelah dia tahu yang sebenarnya, mau apa?" "Setidaknya, Rafly bisa memperbaiki kesalahannya. Dia bisa sedikit menebus kesalahannya di masa lalu dengan melakukan apapun yang kamu dan Keinara inginkan." Sita masih mencoba menata hatinya. "Lalu, apa dia pikir dengan menebusnya dia akan merasa jika kesalahannya sudah layak dimaafkan? Begitu maksud kamu, Gas?" Agas kembali menunduk. Agas paham dengan apa yang Sita rasakan. Sakit? Sudah sangat pasti! Namun Agas hanya berniat membantu sebagai rasa empatinya sebagai seorang sahabat. Sementara wajah Sita masih terlihat nanar, memandang Agas dengan raut kecewa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD