Selesai mengikuti kelas terakhir, Keinara meminta izin untuk langsung pulang. Dia beralasan harus membantu sang Bunda menjaga butiknya karena akhir-akhir ini pengunjung begitu banyak.
Zaky pun juga memutuskan untuk kembali ke kontrakannya. Setibanya di sana, Zaky langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong.
Zaky terlihat begitu murung. Semangatnya seolah hilang, gairah hidupnya tak lagi seperti dulu. Dia benar-benar hancur. Keinara benar-benar memutuskan untuk pergi dari hidupnya.
"Kenapa sih, Kei! Kenapa kamu nggak mau mencoba untuk berjuang lagi seperti dulu. Kenapa tiba-tiba kamu seperti ini? Apa iya secepat ini perasaan kamu bisa hilang begitu saja?" lirih Zaky berbicara sendirian.
"Kamu tahu, Kei! Kedua orang tuaku bahkan sudah sangat setuju dengan hubungan kita ini. Itu artinya satu rintangan sudah kita lewati. Dan tinggal melewati satu rintangan lagi, yaitu izin dari Bunda. Tapi kenapa kamu malah memilih untuk berhenti? Kenapa, Kei?" ungkap Zaky dengan penuh emosi. Dia masih belum bisa menerima kenyataan pahit ini.
Zaky mengambil bantal dan menutupkan ke wajahnya.
"Aaararrrrrggghhhh!" teriaknya keras, meluapkan segala perasaannya yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata lagi.
***
"Assalamualaikum." ucap Keinara seraya masuk ke dalam rumah. Ia segera menuju ke sofa dan merebahkan tubuhnya disana.
"Waalaikumsalam. Eh anak Bunda udah pulang." timpal Sita yang tengah melamun di depan meja kasir.
Sita beranjak, lalu menyambangi Keinara yang memilih duduk di sofa.
"Capek, nak?" tanya Sita seraya duduk, kemudian ia usap lengan sang putri dengan lembut.
"Yah, lumayan mumet, Bun. Seharian du kampus! Pala Kei rasanya kaya mau pecah di pakai mikir berjam-jam." sahut Keinara.
"Ya, namanya juga sedang berjuang, sayang. Harus mau bersusah-susah dulu, baru senang kemudian. He hee, begitu pepatah mengatakan." sambung Sita, masih mengelus lengan sang putri.
Keinara menegakkan badannya, membuka netra yang ia pejamkan beberapa saat, yang cukup bisa menenangkan hatinya yang sedang kacau.
"Bun, ini butik kok udah di tutup jam segini? Emang Bunda mau pergi kemana?" tanya Keinara penasaran.
"Lah, Bunda nggak mau kemana-mana lah, Kei. Cuma hari ini alhamdulillah banyak yang datang ke butik. Jadi Bunda agak kewalahan melayani mereka. Capek banget rasanya kesana kemari sendirian, makanya mending Bunda tutup aja. Nggak kuat, Kei!" keluh Sita.
"Bunda capek ya? Maaf ya, Keinara belum bisa bantuin Bunda dengan maksimal."
"Heh, kamu ini ngomong apa sih, Nak? Emangnya Bunda nuntut kamu buat selalu bantuin Bunda? Tugas kamu itu cuma satu, sayang. Belajar yang rajin, itu sudah cukup membuat Bunda senang." terang Sita.
Keinara masih diam seraya menatap netra sang Bunda.
"Lagian, Bunda tadi juga udah nyebarin informasi di sosial media kok. Bunda udah buka lowongan pekerjaan. Mudah-mudahan ada yang berminat dan bisa segera dapat yang cocok." lanjutnya.
"Aamiin. Mudah-mudahan ya, Bun." timpal Keinara mengamini doa sang Bunda.
Keinara tiba-tiba meraih jemari sang Bunda. Ia genggam erat jemari orang yang sudah rela mempertaruhkan nyawa untuknya delapan belas tahun yang lalu itu.
"Bun, Keinara sayang banget sama Bunda. Maafin Keinara, ya, kalau selama ini Keinara belum bisa jadi anak yang baik. Tapi mulai hari ini Keinara akan terus berubah menjadi anak yang baik lagi." tutur Keinara dengan tatapan yang dalam.
Ucapan Keinara tiba-tiba membuat hati Sita tersentuh. Ada yang terasa runtuh di dalam hatinya.
Keduanya saling menatap, dalam. Kemudian bersatu dalak sebuah pelukan hangat.
"Keinara, bukan kamu yang harus meminta maaf. Bundalah yang harus meminta maaf selama ini. Kerena kesalahan Bunda, sudah membuat kamu ikut merasakan penderitaan selama ini." batin Sita penuh pilu.
***
Yudha kembali ke rumah dengan keadaan wajah yang sangat bahagia. Senyum indah dari bibirnya selalu menghiasi setiap langkah kakinya. Sampai-sampai, sang Ibu, Mainah, sempat heran mendapati tingkah aneh sang putra.
"Yud! Kamu nggak lagi kesambet to le?" tanya Mainah tanpa basa-basi.
Yudha yang tengah duduk di bangku teras, melepaskan sepatu di kakinya pun terpaksa harus mendongakkan kepalanya. Menatap sang Ibu yang sudah berdiri di sampingnya.
"Kesambet apa sih, Bu? Kalau nanya suka aneh-aneh aja!" celetuk Yudha, lalu kembali melepaskan tali sepatu kanannya yang belum terlepas.
"Lah itu, datang-datang langsung senyam senyum ndak jelas. Ibu kan jadi khawatir, jangan-jangan ketempelan tadi pas lewat perempatan kali di depan!" timpal Mainah dengan raut wajahnya yang terlihat memang khawatir.
Yudha bangkit, menghadap persis di depan sang Ibu. "He he he, Yudha sadar, Bu. Yudha nggak lagi kesambet. Yudha memang lagi senang aja." terangnya perlahan.
Mainah menggerakkan punggung tangannya ke kening Yudha. Menempelkannya disana, memeriksa suhu badan anaknya.
"Iya ya, Yud. Dingin, nggak panas." Lalu melepaskannya. "Terus kamu ini lagi senang kenapa? Cerita sama Ibu!"
"He he he. Senang aja karena hari ini Yudha habis," Tiba-tiba mulutnya berhenti berucap ketika sang Ayah, Prayoga, melintas di depannya.
"Habis apa?" sambung Prayoga yang ternyata juga penasaran. Prayoga berhenti di samping Mainah.
"Ada Bapak! Emmm, kayanya nggak mungkin juga aku mengatakan kalau aku habis ketemuan dengan wanita lain. Bapak kan yang selama ini paling getol main jodohin aku sama Ratna. Nanti kalau tiba-tiba dia kena serangan jantung gimana? Repot juga kan!" batin Yudha.
"Yud! Kok malah bengong to! Habis apa?" sergah Mainah yang makin penasaran.
"Emmm, itu, Yudha abis dapat tips dari pak Wali, Bu, Pak. Lumayan lho, lima ratus ribu, he he he." ucap Yudha sekenanya. Hanya ide itu yang saat itu terlintas di kepalanya.
"Wah, bukan lumayan itu, Yud. Tapi rezeki nomplok! Ha ha ha." sahut Prayoga yang ikut kegirangan.
"Iya, Yud. Itu Pak Wali baik banget sih. Memangnya ada acara apa kok ada bagi-bagi tips gitu?" telisik sang Ibu.
Yudha seketika harus berfikir keras lagi, mencari alasan yang tepat demi menguatkan pernyataannya sebelumnya. Ya, begitulah kalau sudah mulai berbohong, pasti akan berbohong kembali demi menutupi kebohongan sebelumnya.
"Emmm, Pak Wali kan lagi ulang tahun, Bu, Pak. Jadi dia bagi-bagi sama pegawai yang selama ini rajin. He he, iya kaya gitu." tutur Yudha, memastikan kebohongannya.
"Wah, berarti kamu termasuk pegawai yang rajin dong, nak? Ibu bangga sekali." Mainah mengelus d**a sang anak.
"Iya, bisa dibilang begitu, Bu." timpal Yudha, semakin terpojok.
"Emmm, Bu, Pak. Yudha ke belakang dulu ya. Ini udah gerah banget, mau mandi dulu." Izin Yudha. Dia harus segeran menyelamatkan diri agar tidak menambah kebohongannya sendiri.
"Iya sana, mandi terus makan. Ibu sudah masak ikan kuah kuning, kesukaan kamu." timpal Mainah.
"Iya! Habis itu Bapak nanti mau bicara serius saka kamu ya, Yud!" sambung Prayoga dengan wajah serius.
"Owh, iya Pak."
Yudha pun segera pergi untuk meloloskan dari kedua orang tuanya.
"Hemmm, Bapak pasti mau membahas soal Ratna lagi. Haduuhhh, Pak, nggak bosan apa setiap hari bahas itu terus." gerutu Yudha dalam hati, seraya terus berjalan cepat menuju kamarnya.
***
Ratna, sepulang dari dinasnya, memilih berdiam diri di dalam kamarnya. Dia merasa cintanya semakin hari semakin tidak disambut baik oleh Yudha, hanya bisa nelangsa merasakan kepedihan batin yang sengaja ia simpan sendiri.
"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Kenapa hatiku bisa sesakit ini ketika mengingat perlakuan Mas Yudha yang begitu dingin dan memang tidak ada sedikitpun rasa perduli terhadapku. Apa ini sebuah tanda yang Engkau kirim bahwa, dia memang bukanlah jodohku? Berikan petunjukMu ya Allah." lirihnya memohon pertolongan dari sang kuasa.
Tanpa sadar, buliran air bening itu menetes pipi ranum milik Ratna. Tidak begitu deras, namun rasanya seperti menyayat hatinya.
"Seharusnya aku sadar dari awal, jika Mas Yudha itu memang tidak menaruh simpati sedikitpun terhadapku. Harusnya aku mundur sejak awal. Bukan justru maju dengan tanpa kejelasan. Aku tidak bisa menyalahkan Mas Yudha, karena ini semua memang salahku sendiri." imbuhnya. Ratna menyalahkan dirinya sendiri.
Tok tok tok
Tiba-tiba Wardi mengetuk pintu kamar sang putri. Membuyarkan keheningan di dalam kamar.
"Nduk! Ratna! Lagi apa di dalam? Bapak boleh masuk ndak?" ucap Wardi dari luar pintu.
Sontak membuat Ratna terperanjat. Buru-buru ia ambil tisu untuk membersihkan pipinya yang masih basah kuyup karena linangan air matanya.
"Iya, Pak, masuk saja!" seru Ratna.
Wardi membuka pintu dari luar, melongok sang putri yang sedang duduk di sisi ranjang.
"Pulang-pulang kok langsung masuk kamar, terus nggak keluar-keluar. Kenapa, nduk?" tanyanya langsung.
Wardi berjalan mendekati sang putri, kemudian ikut duduk di sebelah Ratna.
"Nggak apa-apa, Pak. Ratna cuma capek saja. Pekerjaan di kantor lagi banyak-banyaknya." terang Ratna dengan memperlihatkan senyum kepalsuannya.
Ratna sengaja berbohong. Dia tidak mau jika sang Ayah ikut kepikiran dengan masalah yang sedang ia hadapi sekarang. Terlebih itu soal Yudha. Ratna juga masih memikirkan hubungan antara sang Ayah dan keluarga Yudha yang nantinya akan mendapatkan dampak buruk. Ratna tidak mau hubungan persahabatan yang sudah terjalin lama antara kedua orang tua harus renggang karena masalah perjodohan.
Wardi memandang lekat-lekat wajah sang putri, memastikan jika buah hatinya itu dalam keadaan baik-baik saja.
"Mata kamu kenapa kaya bengkak dan memerah gitu, nak? Kamu habis nangis?" telisik Wardi.
Ratna bingung harus beralibi seperti apa. Untung saja otaknya bisa cepat berfikir untuk mencari alasan yang tepat supaya sang Ayah tidak curiga.
"Iya, Pak. Sedikit bengkak. Sudah dua malam ini kan Ratna lembur menyelesaikan pekerjaan yang harus segera dibereskan. Kurang tidur ini, makanya matanya jadi bengkak gini." terang Ratna, terpaksa berbohong.
"Oalah, Nak. Coba kalau Bapak bisa bantuin kamu, pasti Bapak sudah bantu dari kemarin. Bapak aja ndak paham kalau soal mencet-mencet huruf di layar kaya gitu, he he." timpal Wardi mengajak putrinya setengah bercanda.
"Halah, Pak. Ratna bisa kok ngerjainnya sendiri. Lagian kan ini juga nggak setiap hari. Jadi masih aman lah! He he." timpal Ratna dengan senyum terpaksa.
"Ya sudah, mending kamu segera mandi aja dulu! Habis itu Bapak mau ngobrol penting sama kamu."
"Hemmm, iya Pak."
"Bapak keluar dulu ya, mau beli obat nyamuk sebentar di warung depan. Bapak nggak bisa tidur kalau nggak nyalain obat nyamuk, he he he." Wardi bangkit dari duduknya, meninggalkan kamar Ratna.
"Bapak pasti mau bahas soal hubunganku dengan Mas Yudha. Ya Allah, harus bersikap bagaimana aku nanti?" batinnya kian bingung.
***
Pukul lima sore, Vira baru sampai di rumahnya. Baru saja ia menurunkan kakinya dari mobil, suara bariton menggelegar mengagetkannya.
"Dari mana saja kamu ini, Vir? Jam segini baru pulang." tanya Ruslan, sang Ayah yang sedang berada di halaman menikmati udara sejuk sore hari.
"Eh, Papa! Bikin kaget Vira aja." seru Vira seraya menutup pintu mobilnya. "Ya dari rumah sakit lah, Pa. Emang dari mana lagi?" imbuhnya.
Ruslan menatap aneh ke arah anaknya. Biasanya kalau hari kamis gini, kamu pulang siangan. Ini tumben sampai sore baru pulang." telisik sang Ayah yang tidak percaya begitu saja dengan pengakuan sang anak.
Vira sedikit salah tingkah. Ia alihkan dengan menggaruk-garuk pipinya yang sebenarnya tidak gatal.
"Emm, tadi ada pasien yamg kebetulan membutuhkan perawatan khusus, Pa. Jadi ya, terpaksa kan Vira tangani dulu. Abis itu Vira ketemuan sama teman lama Vira dulu, makan, ngobrol kesana kemari, baru deh pulang, he he." ungkap Vira, berharap sang Ayah tak mengintrogasinya kembali.
Ruslan mengernyitkan keningnya. "Teman? Teman yang mana? Laki-laki atau perempuan?"
"Astaga Papa! Penting banget ya teman Vira yang mana? Yang laki-laki atau perempuan? Lagian Papa ini kepo banget sih, pengen tahu urusan anak muda!" semprot Vira seraya berlalu meninggalkan sang Ayah.
"Heh! Heh! Heh! Mau kemana kamu, Vir? Papa bel selesai bertanya!" seru Ruslan dengan wajahnya yang sengak. Mendapati sang putri melengos begitu saja.
"Vira capek, Pa. Mau istirahat dulu, he he he." seru Vira sambil terus berlalu.
"Jangan lupa nanti malam temenin Papa keluar sebentar ya, Vir. Mau ketemuan sama Om Handoyo!" seru Ruslan.
"Siap, Pa!"
Vira semakin menjauh, masuk ke dalam rumah dan tak terlihat lagi.
"Haduh, selamat! Untung aja aku berhasil kabur dari Papa. Kalau nggak mah bisa gawat!" lirih Vira terus berjalan menaiki anak tangga menuju ke kamarnya yang terletak di lantai dua.
Untuk saat ini Vira memilih untuk diam terlebih dahulu. Soal hubungannya dengan Yudha, akan ia bicarakan dengan sang Ayah lain waktu.
***
Balikpapan
Sesampainya di rumah, seperti biasa Rafly akan segera masuk kedalam kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Sementara Sukma berniat melancarkan aksi rencananya yang sudah ia susun sedari tadi siang.
Seperti biasanya, Rafly akan berlama-lama. berada di kamar mandi untuk membersihkan badannya. Sementara itu, Sukma bergegas gerak cepat mencari keberadaan ponsel milik Rafly yang ternyata masih tersimpan rapi di dalam tas kerjanya.
Dengan hati penuh kekhawatiran, Sukma memberanikan untuk membuka tas kerja Rafly. Hal ini adalah pertama kalinya Sukma lakukan. Sebelumnya dia tidak pernah sedikitpun menyentuh barang pribadi milik suaminya tersebut.
Sukma tersenyum menemukan benda pipih tersebut. Segera ia ambil dan memencet tombol power untuk menyalakannya.
Namun apa yang terjadi, Sukma terlihat menggelengkan kepalanya. Ternyata ponsel milik Rafly di kunci dengan menggunakan
sandi berpola. Tentu saja Sukma langsung kebingungan, mana dia tahu sandi pola apa yang digunakan oleh suaminya tersebut.
"Sejak kapan ponsel Mas Rafly di pasang sandi kaya gini? Walaupun aku tidak pernah menyentuh ponsel ini. Seingatku, dia tidak pernah melakukannya." batin Sukma semakin gamang.
Sukma melirik ke arah pintu kamar mandi. Masih terdengar suara air gemercik dari shower. Itu artinya, Rafly masih betah berada di dalam sana.
Dengan tekat kuat, Sukma memutuskan untuk membuka sandi pola itu dengan menebak-nebak pola sesuai dengan insting jemarinya. Sayang, semua pola tidak juga berhasil membuka ponsel tersebut.
"Sial! Semua sandi nggak ada yang berhasil!" umpatnya kesal.
Mengingat waktu yang semakin berjalan, Sukma memutuskan untuk memasukkan ponsel Rafly ke dalam tas kerja itu kembali. Meletakkannya persis di tempat semula. Sukma tidak ingin mengambil resiko. Dia khawatir aksinya nanti akan diketahui oleh Rafly. Yang ada justru akan memancing sebuah pertengkaran antara mereka berdua.