Ting!
Sebuah notifikasi terdengar masuk ke gawai milik Yudha.
Yudha segera meraih ponselnya yang terletak di sebelah laptopnya. Yudha sedang menyelesaikan pekerjaannya yang sengaja ia bawa ke rumah.
"Eh, ada Vira." lirihnya, lalu terlihat senyuman berseri mengembang di bibirnya.
[Mas, aku mau keluar dulu ya. Mau makan malam sama Papa, Mama. Mas Yudha juga jangan lupa makan.]
Yudha makin melebarkan senyumnya. "Makin perhatian aja, he he." lirihnya.
Jari Yudha mulai mengetik untuk membalas pesan dari wanita yang beberapa jam tadi baru saja resmi menjadi kekasihnya. Insya Allah akan segera menjadi kekasih halalnya.
[Iya, dek. Selamat makan malam ya. Nanti kalau udah pulang, kabari, Mas.]
Yudha segera menekanenu 'kirim' di layar ponselnya yang terletak di bagian kanan bawah.
Yudha menunggu beberapa saat balasan pesan dari Ratna. Namun balasan itu enggan ia terima. Yudha pikir Ratna sedang fokus makan dengan keluarganya.
Yudha melanjutkan menyelesaikan pekerjaannya. Kembali pada laptopnya. Namun belum ada lima menit, gawainya. kembali bergetar.
Drrtttt.
Yudha menoleh ke adah gawainya yang ia letakkan di samping laptop. Bibirnya tersenyum kembali, mengira jika itu adalah balasan pesan dari sang pujaan hati.
Yudha segera mengambil gawai tersebut. Ia lihat notifikasi terlebih dahulu. Tiba-tiba wajahnya berubah mendapati nama Ratna lah yang muncul dalam pesannya.
"Ratna? Haduh, mau ngapain sih kirim pesan segala!" gerutu Yudha. Terlihat sekali ia tidak bersemangat membuka pesan tersebut.
[Mas, besok sepulang kerja bisa nggak kita ketemuan sebentar?]
Tulis Ratna dalam pesannya. Tentu saja membuat Yudha bertanya-tanya. Kenapa tiba-tiba wanita yang statusnya dijodohkan dengan dirinya itu mengajak bertemu. Ada apa?
"Kenapa tiba-tiba ngajak ketemuan? Mau bahas soal apa lagi sih? Kan udah jelas-jelas kemarin aku bilang sama dia kalau aku nggak bisa. Mau apa lagi sih?" gerutu Yudha.
Yudha enggan membalas pesan dari Ratna. Ia diam sejenak, berfikir antara iya mau datang menemui Ratna, atau menolaknya dengan halus. Yudha justru bingung.
"Ketemu nggak ya? Tapi nanti kalau Vira tahu bakal marah nggak ya? Atau nggak usah bilang aja? Haduhhh!" Yudha kian ragu.
Yudha kembali menimbang lagi keputusan yang akan dia ambil. Setelah beberapa saat ia berfikir akhirnya dia putuskan untuk mau menemui Ratna.
[Ya, besok sepulang kerja kita ketemu.] Balas Yudha singkat.
Drrttt.
[Iya Mas. Makasih atas waktunya ya. Besok mau ketemu dimana?] Balasan pesan Ratna masuk.
"Dimana ya? Yang mau ngajak ketemuan kan dia, kenapa malah jadi nanya ke aku soal tempat? Wanita aneh.
[Terserah kamu aja.] Balas Yudha.
Drrttt.
[Ya sudah, Mas. Besok kita ketemu di rumah Mas Yudha aja ya. Sekalian aku mau bawain bulik Mainah kue bolu buatanku.]
"Di rumah? Hemmm, ya udah ah, emang yang paling aman sih kayanya emang di rumah.
[OK.] balas Yudha dengan singkat dan jelas.
Yudha menyimpan gawainya kembali, ia lanjutkan pekerjaannya yang masih cukup banyak tersebut.
***
Setelah mengabari Yudha soal keinginannya untuk bertemu, Ratna menyimpan ponselnya, kemudian ia bergegas ke dapur untuk membuat kue bolu yang akan di bawanya besok untuk buah tangan saat bertandang ke rumah Yudha.
Ratna mulai sibuk mempersiapkan segala bahan-bahan kue yang dibutuhkan. Semuanya ia letakkan di atas meja sebelum dicampur ke dalam sebuah wadah dan di jadikan satu campuran.
Wardi yang melihat sang putri tengah sibuk di dapur pun penasaran dengan apa yang putrinya lakukan.
"Ealah, malam-malam malah bikin kue to nduk. Mbok ya besok saja, ini kan sudah malam. Enaknya buat tidur." seru Wardi sambil berjalan mendekati Ratna yang tengah mencampur adonan kuenya.
Ratna tersenyum tipis. "Biar santai besoknya, Pak. Ini buatnya juga nggak ada dua jam udah selesai." tutur Ratna, fokus pada pekerjaannya.
Wardipun tersenyum. "Ya sudah kalau memang begitu maunya. Tapi tumben, malam-malam bikin kue? Mau dibawa buat ke kantor besok kah?" telisik Wardi yang makin penasaran.
Ratna mengangkat mesin pencampur di tangannya, berhenti sebentar. Lalu menegakkan pandangannya pada sang Ayah yang ada di depannya.
"Emmm, bukan sih, Pak. Ini mau buat oleh-oleh aja, besok mau main ke rumahnya bulik Mainah. Masak iya datang dengan tangan kosong. Malu lah." terang Ratna.
Tiba-tiba wajah Wardi berbinar-binar. "E e e, ternyata ada yang sudah berani datang sendiri to ke rumah calon mertuanya, he he he." ledek Wardi pada sang putri.
Mendengar pernyataan sang Ayah, sontak Ratna melebarkan bola matanya.
"Bapak! Calon mertua apaan sih? Suka ngawur kalau ngomong!" serunya nampak tidak nyaman. Ratna kembali memutar mesin di tangannya.
"He he he. Lah emang benarkan, kata Bapak. Mainah itu Ibunya Yudha, calon mertua kamu. Kamu sama Yudha kan sedang kami usahkan untuk bisa berjodoh, begitu he he he." Wardi kembali berceloteh riang.
Ratna berjalan ke sebuah lemari mengambil sebuah cetakan berbentuk bulat untuk kuenya.
"Ya tapi kan belum tentu, Mas Yudha itu jodoh buat Rayna, Pak. Jodoh itu di tangan Tuhan, bukan di tangan kedua orang tua." sanggah Ratna.
Perlahan, Ratna memang harus memberikan pengertian pada orang tuanya, jika jodoh itu tidak bisa dipaksakan sesuai keinginan orang tua.
"Siapa bilang? Dulu Bapak sama almarhum Ibumu juga jodoh karena pertemuan kedua orang tua kami, kakek-nenek kamu. Buktinya, bisa langgeng sampai Allah mengambil Ibumu."
"Ya berarti itu pas kebetulan jadi jodohnya kali, Pak." timpal Ratna, mulai masukkan loyang ke dalam oven.
"Di dunia ini ndak ada yang kebetulan, Nak. Buktinya orang-orang dulu banyak yang menikah karena perjodohan, buktinya langgeng-langgeng saja, dan banyak memiliki keturunan juga. Apa iya, perjodohan yang sebanyak itu juga karena jodoh yang kebetulan? Ya ndak lah!" Wardi tetap kukuh berpendapat.
Ratna membuang nafasnya melalui mulutnya, memberikan penjelasan terhadap sang Ayah sepertinya akan nampak sia-sia saja.
Ratna berjalan menuju meja makan, melepaskan celemek yang terikat di tubuhnya. Meletakkannya di atas meja, lalu ia duduk.
"Ratna nggak mau berharap banyak atas perjodohan ini, Pak. Kita nggak tahu kan isi hati seseorang itu seperti apa. Ratna juga nggak bisa menebak isi hatinya Mas Yudha seperti apa. Apa dia sudah punya pacar atau belum. Ratna nggak mau nantinya malah jadi perusak hubungan orang lain. Kalaupun nantinya kita berjodoh, ya biarkan waktu saja yang menjawab." tutur Ratna dengan berat hati.
Wardi berjalan mendekati sang putri, lalu ikut duduk di sebelahnya. "Nduk, ingat usia kamu. Kamu itu sudah ndak muda lagi. Sudah tiga puluh lebih. Teman-teman seusia kamu sudah pada besar-besar anaknya. Yudha juga usianya sudah tidak kuda lagi. Bapak sana Paklik Wardi membuat langkah seperti ini karena ingin melihat anak-anak kami bisa segera mempunyai keluarga. Apa sih yang kalian cari? Kerjaan sudah ada, cantik-cantik, ganteng-ganteng juga. Mau cari apa lagi? Kalian harus tetap memikirkan masa depan kalian." tutur Wardi dengan wejangannya.
"Iya, Ratna paham, Pak. Tapi soal hati, itu tidak bisa dipaksakan! Ratna justru tidak mau nanti karena adanya perjodohan ini, membuat kedua keluarga jadi bermasalah. Ratna ingin semuanya baik-baik saja. Biarkan semua mengalir apa adanya." timpal Ratna.
"Kenapa dengan anak itu? Perasaan dari awal dia tidak pernah protes dengan perjodohan ini. Apa ada masalah serius yang tidak ingin dia ceritakan kepadaku?" batin Wardi, kemudian menghela nafasnya dalam-dalam.
***
Keinara dan Sita sedang menonton acara televisi. Hubungan keduanya sudah kembali normal seperti sedia kala.
"Kei, emmm, gimana hubungan kamu dengan Zaky? Apa sudah kamu selesaikan?"
Keinara yang fokus melihat layar datar tersebut tiba-tiba menoleh kasar pada sang Bunda.
"Zaky? Emmm, kita udah putus kok, Bun. Bunda tenang aja. Keinara sama Zaky udah nggak ada hubungan apa-apa. Kata orang tua, kalau jodoh nggak akan kemana, he he he." sahut Keinara mencoba menunjukkan wajah yang tetap ceria, seolah tidak terjadi apa-apa dengan hatinya. Ia berusaha menguatkan hatinya sendiri dan meyakinkan sang Bunda juga.
"Tapi, hubungan kalian tetap baik kan?"
"Ya baik lah, Bun. Zaky juga kayanya ngerti kok. Dia bisa menerimanya." ucap Keinara. Ia terpaksa berbohong, dia tidak mau sang Bunda terus berfikiran soal hubungan yang terlarang itu.
"Yang benar? Jangan bohong lho sama Bunda. Kalian nggak lagi berantem kan?" telisik Sita, mencoba memastikan jika hati dan perasaan sang anak baik-baik saja.
"Beneran, Bun. Bunda ini kenapa sih? Aneh deh." celetuk Keinara.
"Bunda nggak mau, gara-gara larangan Bunda terus hubungan kalian jadi bermasalah. Kalau memang dibutuhkan, Bunda mau kon ngomong sama Zaky dari hati ke hati. Menjelaskan dengan sejelas-jelaskan duduk permasalahan yang ada."
"Ya elah, Bunda. Apa-apaan sih. Udah Bunda tenang aja. Kita masih baik-baik aja. Kita.asih berhubungan seperti biasa. Zaky sudah paham kok dengan maksud dan tujuan Bunda. Semua aman, Bun." tutur Keinara, meyakinkan sang Bunda.
Sita menghela nafas. "Ya sudah kalau memang seperti itu. Bunda kan jadi lega dengarnya."
Keinara menatap sang Bunda mengangguk perlahan dengan menunjukkan senyumnya yang mengisyaratkan jika semua memang baik-baik saja.
"Maafin Kei, Bun. Kei tidak bermaksud untuk membohongi Bunda. Tapi Kei tidak mau membuat Bunda jadi kepikiran dengan masalah ini. Tapi Kei janji, hubungan Kei dan Zaky secepatnya pasti akan pulih seperti dulu." ucap Keinara dalam hati.
Balikpapan
Setelah selesai membersihkan diri, Rafly segera turun ke lantai satu, tepatnya ke meja makan. Disana, Sukma sudah menunggunya. Rafly menarik kursi, lalu duduk di sebelah kiri Sukma. Tak lupa ia letakkan ponselnya di dekat piringnya.
Selain sering tertangkap sedang melamun dan galau, Rafly juga terlihat lebih protektif terhadap barang pribadinya tersebut. Kemana-mana benda pipih itu selalu ia bawa. Padahal, dulu dia tidka begitu. Selepas sampai di rumah, ponsel tersebut akan lebih sering ia anggurkan. Karena waktu di rumah adalah waktu terbaik bersama keluarga.
"Maaf sayang, mandinya agak lama sedikit. Abisnya enak banget basahi badan dengan air, hawanya panas gini sih, he he." seloroh Rafly.
"Nggak apa-apa, Mas. Lagian aku juga belum begitu lapar kok." sahut Sukma.
Sukma meraih piring kosong yang ada di hadapan Rafly, mengambilkan secentong nasi dan beberapa lauk ke dalam piring tersebut.
"Makasih sayang." ujarnya pada sang istri.
Rafly segera menikmati makan malamnya dengan begitu lahapnya.
"Emmm, enak banget ayam ungkepnya, sayang. Pasti kamu sendiri ini yang masak ya?" ucap Rafly.
"Iya dong. Enak kan? Istrinya siapa dulu."
"Istrinya aku dong. Papa Rafly, he he he." sahut Rafly dengan bangga.
Keduanya melanjutkan menikmati makan malam. Namun masih ada rasa yang mengganjal di benak Sukma. Dia masih penasaran dengan sandi pola yang digunakan oleh Rafly.
"Aku harus cari tahu dengan segera. Hatiku mengatakan jika ada sesuatu di dalam ponsel Mas Rafly." batinnya yakin.
Begitulah wanita atau tepatnya seorang istri. Perasaan mereka begitu kuat. Sembilan puluh persen dari apa yang mereka simpulkan, kebanyakan adalah benar.
Ting!
Terlihat ponsel milik Rafly berbunyi. Ada notifikasi pesan yang masuk ke aplikasi hijaunya.
Rafly menengok ponselnya, kemudian mengambilnya. Ini adalah kesempatan Sukma untuk melirik sandi pola yang Rafly gunakan untuk mengunci ponselnya.
Namun demikian, Sukma tidak boleh gegabah. Dia tidak boleh terlalu menunjukkan keingintahuannya secara terang-terangan di hadapan Yudha.
Dengan usaha keras, Sukma berusaha melirikkan bola matanya ke arah kiri, dimana saat ini Rafly tengah duduk di sebelah kiri Sukma.
"Aduh, nggak kelihatan pula. Hufff!" gerutunya dalam hati.
Setelah membuka pesan di ponselnya, Rafly terlihat serius mengetik untuk membalas pesan yang entah dari siapa, Sukma pun tidak tahu juga.
"Pesan dari siapa sih! Pandangan Mas Rafly ke ponselnya serius banget." ucap Sukma makin curiga.
Selesai membalas pesan, Rafly kembali meletakkan ponselnya ke tempat semula. Ia juga kembali melanjutkan makannya yang tertunda sebentar.
"Besok aku ada acara ke Malang lagi, sayang. Nggak apa-apa kan aku tinggal lagi?" ucap Rafly meminta izin.
Sukma terlihat mengerucutkan keningnya, tentu saja kaget. Karena seingat dia, minggu kemarin Rafly sudah terbang ke Sukabumi, dan minggu ini akan terbang ke Malang.
"Keluar kota lagi, Mas?" tanya Sukma memastikan.
Rafly menegakkan kepalanya, lalu menoleh ke kanan. "Iya sayang. Alhamdulillah ada investor lagi yang percaya pada perusahaan kita. Besok itu mau meeting penting, dan itu adalah hasil akhir, apakah dia jadi inves ke perusahaan atau tidak. Jadi ya, aku yang harus turun langsung." terang Rafly. Lagi dan lagi, dia harus mengarang cerita. Karena tujuan sebenarnya adalah dia akan pergi ke Jogja kembali.
"Owhh!" sahut Sukma terlihat layu.
Rafly mulai merasa kalau Sukma tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Terlihat jelas di wajah istrinya itu menunjukkan ketidaksukaannya.
"Kamu mau ikut? Kalau mau ayok! Nanti biar Felis pesan dua tiket pesawat untuk kita. Felis adalah sekretaris barunya di kantor.
"Eemmm, berapa hari disana, Mas?" tanya Sukma.
"Ya, seperti biasa. Sabtu, minggu disana. Minggu sorenya baru pulang. Gimana, jadi ikut?"
Sukma terdiam sebentar, sepertinya dia sedang menimbang-nimbang keputusannya. Antara mau ikut atau tidak.
"Mas Rafly mengajakku, itu artinya dia tidak sedang macam-macam. Kalau dia mau aneh-aneh, tentu saja dia akan pergi sendiri. Ya Allah, maafkan aku yang sedari tadi menaruh curiga terhadap suami hamba." batin Sukma merasa bersalah.
Sementara Rafly sejujurnya juga merasa khawatir jika Sukma menerima ajakannya. Karena ajakannya tadi hanyalah untuk mengelabuhi sang istri supaya tidak menaruh curiga terhadapnya.
"Ya Allah, jangan biarkan Sukma ikut." batin Rafly makin deg-degan.
Sukma menggerakkan tangannya menyentuh lengan kanan sang suami. Membuat Rafly sedikit terkejut. Keduanya saling beradu tatap.
"Aku nggak usah ikut lah, Mas. Lagian juga kalau Mas pergi meeting, aku ngapain disana sendirian. Mending disini aja lah." terang Sukma. "Semoga meetingnya lancar dan pulang kembali ke sini dengan membawa kabar baik." imbuhnya.
Rafly bisa kembali bernafas lega. Kali ini dia masih selamat dari rasa curiga sang istri.
"Maafkan aku lagi, Sukma. Aku harus terus berbohong seperti ini. Tapi aku janji, aku akan segera mengakhirinya." batin Rafly dengan berjuta keyakinan.