"Wah, Ibu masak enak nih." ujar Yudha, lalu melirik ke arah Keinara. "Hemmm, mentang-mentang ada cucu kesayangan datang, terus masaknya enak-enak gini ya!" sambungnya seraya menyenggol lengan Keinara menggunakan sikunya.
Pakde dan keponakan itupun sudah biasa saling cela ketika sudah bersua.
"Ya iya lah! Cucu satu-satunya dan kesayangan. Makanya, Pakde itu buruan kawin, biar bisa ngasih cucu buat Kakek Nenek. Biar tiap hari dimasakin masakan yang enak-enak sama Nenek!" seloroh Keinara, membalas keusilan sang Pakde.
"Tuh, Yud. Keinara aja paham, apa yang seharusnya kamu lakukan! Kamunya nggak peka-peka!" Timpal Mainah seraya mengerucutkan bibirnya.
"Apa perlu kita carikan jodohnya, Mas?" imbuh Sita dengan senyum mengejek.
"Ya ampun. Kalian semua kompak ya pada mojokin aku kaya gini? Kalau masalah jodoh aja pada semangat ngomongnya." gerutu Yudha. "Nih, kalian dengerin baik-baik ya! Rezeki, maut, jodoh, itu semuanya datangnya dari Tuhan, dari Allah. Kita nggak bisa nego, kalau nanti sudah waktunya datang, ya bakalan datang kan? Jadi, santui aja!" sanggah Yudha tak mau kalah.
"Ya, tapi kan perlu di cari juga, Mas. Itu namanya ihtiar! Emang rezeki kalau ngga di cari bakalan datang sendiri gitu? Ya nggak lah!" balas Sita.
Obrolan di meja makan semakin memanas, terlebih Yudha yang tidak ada kawannya, di serang tiga orang sekaligus, mamak-mamak semua lagi, hahaha.
"Eh, sebentar! Ini ceritanya mau makan malam atau mau bahas jodoh sih?" celoteh Yudha yang merasakan roman-roman tak sedap sedang mengintai kenyamanannya.
"Hemmm, Pakde kalau udah kepentok, bisa aja mengalihkannya ya!" celetuk Keinara seraya mengambil nasi ke dalam piringnya.
"Ya gitu, Kei. Kalau udah nggak bisa ngeles!" timpal Sita.
"Sudah, sudah. Kalian ini malah berantem. Makan aja dulu, berantemnya dilanjutin nanti abis makan ya!" imbuh Mainah yang sudah pusing melihat kelakuan kedua anaknya dan cucunya saling ribut membahas jodoh untuk Yudha.
"Makan lah! Dari pada pusing mikirin jodoh!" seloroh Yudha.
Yudha langsung mengambil nasi ke dalam piringnya dalam jumlah yang cukup besar, hingga membentuk seperti gunung yang meninggi.
"Pakde, itu ambil nasi segitu abis?" tanya Keinara, dibuat membelalak melihat penampakan isi piring milik Yudha.
"Abis, dari pada nanti nggak kenyang terus makan orang. Mendingan makan nasi yang banyak sekalian!" sahut Yudha ketus.
Mendengar penuturan Yudha, ketiga orang lainnyapun tertawa seketika.
Ruang makan yang terdengar riuh hingga terdengar sampai kamar Prayoga, membuatnya melengkungkan senyuman tipis di bibirnya. Prayoga merasakan kehangatan keluarga yang sudah berpuluh tahun hilang dari keluarganya. Tidak terasa, aliran air dari netranya mengalir deras membasahi pipinya.
***
Selesai makan malam, Mainah dan Sita membereskan sisa-sisa wadah kotor di atas meja. Sementara Yudha memilih pergi ke teras rumah sambil membawa segelas kopi instan kesukaannya.
"Kei, kamu lagi sibuk nggak?" tanya Sita pada Keinara yang tengah bersantai di ruang keluarga sambil menikmati acara televisi.
"Nggak, Bun. Kenapa?"
Sita tersenyum, berbalik badan sebentar, lalu kembali dengan membawa piring berisikan beberapa buah pir.
"Ini kamu anterin ke kamar Kakek ya? Tawari makan, kalau mau sekalian dikupas. Ya?" Sita menyerahkan piring ke atas pangkuan Keinara.
"Bun! Yang benar aja!" timpal Keinara dengan wajah yang layu.
Sita kembali tersenyum. "Iya benar, nak. Memangnya apa yang salah?"
"Bunda nyuruh Kei masuk ke dalam kamar Kakek? Itu sana aja kaya nyuruh Kei masuk ke kandang singa. Nggak mau, Bun. Kei takut!" rengek Keinara yang menunjukkan raut ketakutan hingga wajahnya sedikit memutih, alias pucat.
"Hehehe, nggak apa-apa, Kei. Nanti kalau singanya marah kamu tinggal teriak aja! Ya? Sekalian, mumpung Kakek sedang dalam keadaan seperti ini, kamu ambil kesempatan untuk mendekatinya, ambil hatinya, Kei!" tutur Sita. "Udah sana pergi! Bunda tungguin deh di balik pintu. Nanti kalau ada ketegangan-ketegangan yang perlu di selesaikan, Bunda masuk!"
Sita sedikit menarik tubuh Keinara, lalu mendorongnya hingga mendekati pintu masuk kamar sang Kakek yang sudah terbuka.
Keinara menahan tubuhnya, berhenti melangkah, lalu menengok ke arah sang Bunda.
"Buunnn_" rengeknya lagi.
"Masuk, Kei!" sahut Sita kukuh.
Keinara mengambil ancang-ancang, mengatur nafasnya dengan perlahan.
"Bissmilah!" bisik Sita ke dekat daun telinga sang putri.
Keinara terpaksa menuruti keinginan sang Bunda. Dengan berat hati, ia langkahkan kakinya masuk ke dalam kandang singa, eh ke kamar sang Kakek maksudnya.
Seperti janjinya tadi, Sita setia menunggu sang putri di sisi pintu kamar, mengamati keadaan.
"Kakek." panggil Keinara yang mulai mendekati ranjang Prayoga.
Prayoga menatap tajam ke arah Keinara, mengamatinya cucunya itu dari mulai ujung kepala hingga ujung kakinya. Ia baru menyadari, ternyata cucunya itu kini sudah beranjak dewasa.
"Kakek mau buah? Kalau mau biar Kei kupasin." ucap Keinara terbata, posisinya masih berdiri di sisi ranjang.
Prayoga masih diam, membuat Keinara serasa ingin segera lari meninggalkan kamar itu.
"Keinara!" panggil Prayoga tiba-tiba.
Membuat mata Keinara membelalak. "Emmm, iya, Kek." sahutnya masih dengan menahan rasa takut.
"Sini duduk! Kakek mau makan buah pirnya." sahut Prayoga dengan menahan segala gejolak di dalam hatinya.
Keinara perlahan mengangkat kepalanya, memberanikan untuk menatap sang Kakek. Keinara masih tidak percaya, sang Kakek bisa berbicara sepanjang itu terhadapnya.
"Kakek mau buahnya?" tanya Keinara memastikan.
"Iya, nak. Sini, duduk dekat Kakek!"
Dengan rasa yang tak bisa dilukiskan, Keinara memberanikan diri melangkahkan kakinya, duduk di sisi ranjang Prayoga. Perlahan Keinara meletakkan piring berisikan buah tersebut ke atas meja di sisi ranjang. Kemudian ia mengambil satu buah dan mulai mengupasnya.
Sita, yang mengintip dari arah pintu, merasa lega, kedatangan Keinara ternyata diterima baik oleh sang Ayah. Ada haru di bola matanya, melihat pemandangan yang baru pertama kali ia jumpai ini.
"Alhamdulillah, akhirnya, Bapak mau menerima Keinara. Terima kasih ya Allah." batinnya penuh rasa campur aduk yang tidak bisa digambarkan lagi.
Memastikan Keinara aman berada di kamar Pragoga. Sita memutuskan untuk meninggalkan area kamar. Ia memilih menyusul Yudha yang tengah berasa di teras.
"Mas, tahu nggak, Keinara ada dimana sekarang?"
Yudha yang tengah fokus dengan ponsel di tangannya, menengok ke arah Sita duduk. "Emangnya dimana?"
Sita tersenyum, "Di kamar Bapak!" ucapnya.
Sontak membuat mulut Yudha terbuka lebar dengan sendirinya. "Hah? Di kamar Bapak? Ngapain?" serunya terkejut.
"Hehex tadi aku suruh antarin buah buat Bapak. Dan ternyata Bapak menyambutnya dengan baik. Sumpah, Mas, rasanya aku sekarang lagi kaya yang abis menang lotre milyaran. Seneng banget, Mas!" tutur Sita yang terlihat begitu bahagia.
"Alhamdulillah ya, Ta. Mudah-mudahan ini awal yang baik untuk keluarga lita, supaya bisa bersatu kembali kaya dulu." timpal Yudha yang tak kalah terharunya.
"Iya, Mas. Aamiin."
Yudha dan Sita saling menatap, terlihat sekali ada harapan besar yang terpancar dari sorot mata keduanya.
Suasana hening sejenak, tiba-tiba Sita ingat akan tujuan utamanya menghampiri sang Kakak. Ya, Sita masih penasaran dengan dokter yang menangani Prayoga ketika di rumah sakit kemarin.
"Oh iya, Mas. Sita hampir lupa nih, mau nanya sesuatu." ujarnya.
"Tanya apa sih? Serius amat mukanya!" timpal Yudha setengah bercanda, kembali fokus dengan ponsel di tangannya.
"Itu lho, dokter yang menangani Bapak sewaktu di rumah sakit, yang masih muda, yang berhijab, dokter siapa?"
"Dokter Vira! Kenapa?"
"Nah iya dokter Vira. Emm, emang Mas Yudha kenal ya sama itu dokter? Tadi Sita lihat kaya yang udah akrab gitu. Mas Yudha kedengarannya juga tadi manggilnya cuma nyebut namanya doang. Vir, gitu kan?" cerocos Sita yang penasaran.
Yudha menyimpan ponselnya, beralih menatap Sita yang sudah bersiap mendengarkan segala jawaban atas pertanyaannya sendiri.
"Kepo amat sih. Emangnya kalau Mas kenal sama dia kenapa?"
"Ya nggak kenapa-kenapa! Kan Sita cuma nanya. Ya kan heran aja, laki-laki sedingin Mas Yudha, bisa kenal seorang wanita secantik itu, dokter pula. Kan keren banget tuh, Mas. Biasanya, yang ada di kepala Mas Yudha kan cuma, rumah, kantor, kerja, rumah, kantor, kerja. Itu aja kan?"
"Hehe!" Yudha tiba-tiba seperti salah tingkah.
"Lah, malah hehe. Jawab Mas! Malah heha hehe nggak jelas!" seru Sita yang malah makin penasaran.
"Dia itu dulu adik tingkatnya Mas waktu kuliah. Kebetulan saat itu kita kenal pas dia juga gabung ke UKM BEM. Ya udah kenal aja. Terus tiba-tiba kemarin ketemu di rumah sakit. Kebetulan dia masih ingat sama Mas. Ya udah gitu aja." terang Yudha.
"Cantik ya, Mas!" pancing Sita.
"Cantik lah! Namanya juga perempuan. Kalau ganteng cowok jadinya!" ujar Yudha tanpa dosa.
"Dia adik kelas Mas Yudha. Berarti seumuran dong sama Sita ya?"
"Iya kali! Mana Mas tahu!"
"Terus kira-kira, dia udah punya suami belum ya, Mas?" Sita makin gencar bertanya.
"Ya mana, Mas tahu."
"Emang Mas Yudha nggak nanya?"
Yudha beralih menatap Sita. "Ya nggak lah, Sita! Kepo amat sama hidup orang lain." serunya.
"Haduh! Ini nih yang bikin susah dapat jodoh. Gerak lambat!" seru Sita.
"Eh eh eh! Gerak lambat gimana sih maksudnya?" semprot Yudha.
"Ya harusnya Mas cari tahu dong, dia udah nikah apa belum, tinggal dimana. Cari kek akun sosial medianya. Kalau nggak tahu juga ya ketik kek nama lengkapnya, nanti kan muncul juga itu deretan yang punya nama. Mas Yudha cari satu-satu. Kalau ada yang sesuai buka itu akun, cari, korek semua informasi yang ada disitu! Gimana sih? Kaya gitu aja masih harus di ajarin! Heeeuuhhh!" cerocos Sita, yang mulai gemes dengan tingkah sang Kakak.
"Ya ampun Sita! Dia itu dulu adik tingkat Mas dua atau tiga tahun gitu. Ya kemungkinan udah punya keluarga lah."
"Lah, katanya Mas nggak tahu. Terus dari mana bisa nebak kalau udah punya keluarga?"
"Dia itu dokter, cantik, siapa yang nggak mau sama orang kaya dia. Ya pasti jelas udah ada yang punya lah." sahut Yudha sewot.
"Ya makanya cari tahu, Mas."
Yudha tiba-tiba bangkit dari kursi. "Ngobrol sama kamu lama-lama malah mumet sendiri!" ujarnya lalu pergi begitu saja, menjauhi teras menuju ke pagar.
"Heh, mau kemana, Mas?"
"Mau ke pos ronda. Mending ngobrol sama Bapak-bapak dari pada sama kamu!" sahutnya sambil berlalu.
"Yey, dasar nggak jelas banget sih!" seru Sita kesal. Iapun memilih bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumah.