Dua Tiga

1513 Words
Sita hendak mencari Keinara. Ia pikir sang putri sudah keluar dari kamar sang kakek. Namun ternyata dugaannya meleset. Sita mendengar ada suara seperti sedang tertawa di dalam kamar Prayoga. Sita memasang pendengarannya baik-baik, memastikan apa yang ia dengar itu memanglah suara seseorang yang sedang tertawa. "Masak iya, itu Bapak sama Keinara yang lagi pada ketawa. Kan nggak mungkin banget! Orang selama ini nyapa cucunya sendiri aja nggak mau." ucapnya lirih. Sita semakin mendekati pintu kamar sang Ayah. Ia seperti mengendap-endap supaya langkahnya tidak ada yang mendengar, ingin memastikan, suara siapa yang sedang ada di dalam sana. "Masak sih, Kek? Terus Kakek dimarahin nggak sama Nenek?" tanya Keinara, masih dengan tawanya yang tak kunjung berhenti. "Ya ndak to, Kei. Kan waktu itu Nenek lagi tidur pules. Jadi ndak ketahuan, aman terkendali, he he he." terang Prayoga. "Ya Tuhan. Kakek ini ada-ada aja deh. Ingat umur lah, Kek. Masak suster di rumah sakit juga di godain, ha ha ha." Tawa Keinara makin pecah. "Buat hiburan, Kei. Lagian lihat yang bening-bening kaya gitu mana tahan. Ha ha ha." Prayoga ikut tertawa. Sita yang menyaksikan Keinara dan sang Ayah sedang asyik membicarakan sesuatu, dalam keadaan tertawa lepas, tanpa jarak sama sekali. Seperti menggambarkan jika selama ini tidak ada sesuatu yang salah di antara mereka. Hubungan mereka terlihat baik-baik saja. Hatinya berdebar hebat, kakinya serasa lemas tidak mampu menopang beban tubuhnya. Nyaris saja tubuhnya ambruk saking terkejutnya melihat pemandangan di depan matanya tersebut. "Bapak? Kei? Kenapa bisa sedekat itu? Ya Allah, apa ini mimpi? Atau ini benar-benar nyata?" batin Sita seraya menggeleng pelan. Netranya kian nanar. Plak! Sita menampar pipinya cukup keras. Meyakinkan jika ini bukanlah sebuah mimpi. "Aaww! Sakit!" serunya seraya menahan rasa sakit akibat tamparannya sendiri. Sita berurai air mata. Cairan bening itu runtuh tiba-tiba, luruh membanjiri pipinya. Sita merapatkan tubuhnya ke dinding sebelah pintu masuk kamar Prayoga. "Ya Allah! Ini nyata! Aku sedang tidak bermimpi. Ini benar-benar nyata!" lirih Sita sesenggukan seraya memegangi dadanya yang masih sesak. Ingin rasanya saat itu Sita segera lari masuk ke dalam kamar, ikut tertawa bersama Keinara dan Prayoga. Namun ia berfikir ulang. Sita tidak mau merusak suasana di dalam sana. Sang Ayah sudah bisa menerima kehadiran Keinara, namun belum tentu dengan kehadiran dirinya juga. Sita masih bisa menahan inginnya. Perlahan Sita melangkah menjauh dari area kamar Prayoga. Ia ke belakang mencari keberadaan sang Ibu. Mainah sedang sibuk di dapur, entah apa yang ia lakukan. Selama ada di rumah memang selalu saja ada yang ia kerjakan. Orang tua notabennya memang tidak pernah diam. Kalaupun dilarang, alibi mereka adalah untuk mencari kegiatan. Karena kalau cuma diam, justru badan mereka akan terasa sakit tidak karuan. "Buk! Ibuk!" panggil Sita seraya terus berjalan. Mainah langsung menyahutnya. "Apa to nduk? Ini Ibu lagi beres-beres dapur." "Ibuk!" panggilnya sekali lagi. Sita tiba-tiba menghentikan langkahnya, menatap sang Ibu masih dengan cucuran air mata yang makin mengalir deras. Mainah berdiri tegap, menatap ke arah Sita. "Lho, lho, lho! Kenapa kok nangis?" seru Mainah yang kaget mendapati Sita menangis sampai matanya memerah dan juga pipinya terlihat basah kuyup. Mainah menghentikan pekerjaannya, menyimpan sebuah serbet kecil berwarna kotak-kotak ke atas meja. Kemudian ia tuju Sita yang masih mematung dan masih tersedu-sedu. "Kenapa nduk?" tanya Mainah lagi, seraya memegangi kedua lengan sang putri. "Buk, Bapak, sama Kei_ hiks hiks hiks!" sahutnya terbata, urung melanjutkan bicaranya. "Bapak sama Kei kenapa? Bukannya dari tadi mereka ada di kamar? Ada apa?" sentak Mainah. Mainah justru berfikiran kalau terjadi sesuatu lagi dengan sang suami. Mainah takut Prayoga beradu mulut dengan Keinara atau yang lainnya. Mainah yang panik hendak berlari menuju ke kamar Prayoga. Namun Sita berhasil menahannya dengan memegangi pergelangan tangan sang Ibu dan langsung memeluknya. "Lho, lho, lho! Ini malah makin jadi nangisnya! Ibu mau ke kamar Bapak takut Bapak kenapa-napa." "Ba-pak ba-ik-ba-ik sa-ja, Buk! Ba-pak sa-ma Kei la-gi pa-da_" ucap Sita tiba-tiba terhenti. "Pada apa, nduk?" Mainah yang tidak sabar mendengar penjelasan Sita, terpaksa melepaskan pelukan Sita, lalu berjalan cepat menuju ke kamar suaminya. Pikirannya sudah kemana-mana, takut terjadi sesuatu dengan Prayoga dan juga Keinara. "Pak! Bapak!" serunya sambil berjalan. Keinara dan Prayoga yang tengah seru-serunya bercanda, dibuat kaget dengan teriakan Mainah. Keduanya kompak memandang ke adah pintu yang sedari tadi memang terbuka. Terlihat Mainah tergopoh-gopoh berjalan menuju mereka berada. Mainah menghentikan langkahnya tepat di tengah pintu. Wajahnya yang panik berubah seketika. Ia dapati suami dan cucunya dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan terlihat Prayoga masih menikmati buah pir yang tadi dibawa oleh Keinara. Mereka berdua terlihat begitu dekat dan akrab. "Bapak, Kei?" serunya dengan wajah kebingungan. "Kenapa to, Bu? Teriak-teriak kaya ada apa aja! Ini sudah malam, ganggu tetangga yang lagi pada istirahat!" protes Prayoga. "Iya ih! Nenek kenapa? Itu mukanya panik banget! Ada apa, Nek?" imbuh Keinara. Mainah masih membisu, ekspresinya masih sama, sangat terkejut melihat pemandangan sebuah keajaiban yang selama ini sama sekali belum pernah ia temukan. "Ndak, Pak. Ndak apa-apa! Itu tadi Ibu pikir Bapak kenapa-napa, soalnya kamarnya sepi." dalih Mainah. "Sepi, Nek? Orang dari tadi kita ketawa-ketawa kok. Masak nggak kedengeran?" terang Keinara, kemudian menatap sang Kakek. Iya kan, Kek?" "Iya! Kita dari tadi ketawa-ketawa disini! Hemmm, kayanya sih pendengaran Nenekmu sudah mulai menurun, Kei, he he he." gurau Prayoga, dengan tawa yang mengejek. "Maksud Bapak, Ibu ini sudah b***k? Begitu!" seru Mainah, kali ini bola matanya terlihat melotot. Keinara tersenyum dengan gigi yang sedikit terbuka. "Ya itu buktinya, kita di sini ketawa-ketawa dibilangnya kamar sepi. Apa kalau bukan b***k? Ha ha ha." tawa Prayoga menggelegar. "Tuh, Nek. Dikatain b***k sam Kakek. Hehehe." timpal Keinara jadi kompor, berharap sang Nenek akan membalas perkataan sang Kakek. "Ah, sudah lah, Ibu mau lanjut beres-beres di dapur lagi. Bicara sama Bapak itu ndak ada ujungnya. Kalau ndak di cela ya di ejek." seru Mainah, kemudian ia membalikkan badannya, dan langsung berjalan kembali ke arah dapur. "Nenek nggak jelas banget sih, Kek!" gerutu Keinara, lirih, seraya menggaruk rambutnya. "Ya gitu Nenekmu. Sehari-harinya memang kaya gitu, ndak jelas!" timpal Prayoga. "Oiya, Kei, cerita Kakek tadi jangan diceritakan sama Nenek ya? Nanti malah ngamuk! Kakek yang kena nanti, he he he." imbuh Prayoga. "Yey, Kakek takut ya? Hahaha. Ikatan suami takut istri dong ini namanya!" cibir Keinara seraya terkekeh penuh ejek. "Wuuuu! Enak saja! Pantang buat Kakek takut dama perempuan! Bisa hilang harga diri Kakek dong! Di catat ya, Kei, Kakek bukannya takut! Tapi sebagai laki-laki sejati, dia harus menjaga perasaan wanitanya! Ingat, bukan takut!" sangkal Prayoga seraya tertawa kecil. "Hemm, bisa aja Kakek ngelesnya yak!" timpal Keinara dengan mencebikkan bibirnya. Keduanya saling memandang beberapa detik, lalu tiba-tiba tertawa bersamaan. Suasana yang sangat luar biasa. Begitulah cara Tuhan menyelesaikan semuanya. Karena hanya Dia yang bisa membolak-balikkan hati para hambanya. Tangan Prayoga tiba-tiba bergerak ke puncak kepala Keinara. Mengelusnya penuh kelembutan. "Maafin Kakek ya, Kei. Selama ini tidak pernah perhatian sama Keinara. Kakek terlalu egois mementingkan perasaan Kakek sendiri. Mau maafin Kakek?" Keinara mengangguk cepat, mengeratkan kedua bibirnya. "Keinara juga minta maaf ya sama Kakek, selama ini Keinara juga terlalu cuek sama Kakek, bahkan pernah Keinara bilang sama Bunda. Kalau Kei benci sama Kakek. Soalnya Kakek selalu memperlakukan Bunda dengan tidak baik. Tapi hari ini, semua pemikiran Kei, bakalan Kei tarik." "Makasih ya, nduk! Kamu memang anak yang baik. Bundamu berhasil mendidik kamu dengan baik. Selalu cintailah dia, apapun keadaannya." ujar Prayoga. "Pasti dong, Kek. Bunda itu segalanya buat Keinara." Prayoga masih mengelus ujung kepala Keinara, dengan netra yang berkaca-kaca. *** Mainah berjalan gontai menuju dapur. Dadanya seakan ingin runtuh melihat pemandangan yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Sita yang sudah duduk di kursi makan, masih terlihat mencoba untuk menata hatinya kembali. Mainah berjalan mendekati Sita, menarik kursi di sebelah Sita, lalu ikut duduk disana. Terlihat dengan jelas, pandangan Mainah masih datar. "Ibuk lihat! Bapak sama Keinara?" tanya Sita. Mainah menatap Sita, lalu mengangguk. "Iya, Nduk! Mereka berdua lagi ketawa-ketawa." terangnya lirih. Sita terdiam, kedua pasang mata antara anak dan Ibu saling menatap. Ingin berkata seolah tidak percaya dengan apa yang mereka alami saat ini. Keduanya reflek langsung berpelukan. Lalu menangis tersedu-sedu, meluapkan salah satu kebahagiaan yang selama ini mereka nanti. *** Yudha yang kembali setelah nongkrong di pos ronda, tiba-tiba berlari menuju ke dapur, ke tempat Sita dan Mainah masih berada. Wajah Yudha terlihat gagap. "Buk, Ibu! Sita! Aku, aku baru aja lewat di depan kamar Bapak! Ada Keinara yang_" Belum selesai Yudha bercerita, Sita sudah mengangguk duluan. "Iya, Mas. Tadi kita juga udah lihat itu." terang Sita. Yudha melangkah mendekati keduanya. "Alhamdulillah, ini benar-benar anugerah yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, Buk, Ta." ucap Yudha. "Iya, Yud. Bapakmu sudah bisa menerima kehadiran Keinara. Semoga, Bapak juga bisa secepatnya menerima Sita." sahut Mainah penuh harap. "Iya, Mas. Semoga Bapak bisa dengan segera menerima aku lagi di rumah ini, di hati beliau. Aku rindu semuanya." imbuh Sita. "Aamiin. Semoga apa yang kita harapkan ini di dengar Allah." timpal Yudha. "Aamiin." sahut Sita dan juga Mainah bersamaan. Akhirnya keluarga yang bertahun lamanya tercerai berai, perlahan telah menyatu kembali, walaupun belum utuh sepenuhnya, namun setidaknya ini menjadi awal pertanda yang baik untuk melanjutkannya. Kini tinggal Sita yang harus berusaha keras untuk meluluhkan hati sang Ayah. Yudha merangkul erat kedua wanita yang ada di hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD