Dua Satu

1561 Words
Tin tin tin! Klakson mobil sudah berdering di luar rumah. Keinara berjalan cepat menuruni tangga, seraya menenteng tas besar berisi pakaian ganti untuk sang Bunda. Keinara ingin segera keluar menemui Yudha, sang Pakde. Terlihat jelas raut wajah Keinara yang begitu bahagia. Beberapa hari saja tidak bertemu, rasa rindu itu ternyata ada. Keinara segera masuk ke dalam mobil. "Pakde!" seru Keinara dan langsung memeluk dengan erat ke tubuh Yudha. "Hemmm! Keponakan kesayangan Pakde!" sambut Yudha dengan hangat. Yudha memang berperan menjadi sosok Ayah bagi Keinara selama ini. Jangan tanyakan kasih sayang Yudha pada Keinara, bisa di bilang sayangnya melebihi dari sosok seorang Ayah. Keinara melepaskan pelukannya. "Pakde, tumben Bunda mau nginep tempat Kakek? Ada apa ya?" tanya Keinara langsung, penuh penasaran. Yudha menyebikkan bibirnya. "Emmm, mungkin Kakek pengen kumpul sama keluarganya kali, Kei. Kan udah lama banget kita nggak pernah ngumpul bareng. Kali aja dengan merasakan kehangatan keluarga, bisa mengobati sakitnya saat ini." jelasnya. "Emangnya, Kakek udah anggap Bunda sama aku jadi keluarganya? Kan selama ini Kakek kaya gitu sama kita! Hehehe." celetuk Keinara. Gadis remaja yang kalau bicara selalu apa adanya. Yudha tersenyum, lalu mengelus rambut Keinara. "Selama ini Kakek tetap menganggap kamu sama Bunda itu keluarga. Cuma, caranya aja yang berbeda sayang." jelasnya. "Masak sih? Orang kalau Kei sama Bunda datang aja wajahnya kaya gitu. Serem, nggak mau nanya, nggak mau ngomong, nggak ada senyum-senyumnya pula! Tiba-tiba sekarang nyuruh Bunda sama Kei buat nginep. Kan aneh, mencurigakan!" tutur Keinara, lagi. "Kamu ini ya, bisa aja ngomongnya. Udah ah, pakai sabuk pengamannya, kita berangkat. Kalau ngomong melulu kapan kita berangkatnya!" cela Yudha, mengalihkan topik pembahasan. Ia segera menginjak gas di kakinya. *** Setelah membaringkan Prayoga di tempat tidurnya, Sita dan Mainah beranjak ke ruang keluarga, tidak jauh dari kamar Prayoga. Supaya nanti kalau Prayoga tiba-tiba bangun dan memanggil, bisa jelas terdengar dan langsung gerak cepat menuju ke kamar. "Ta, Ibu kok rasanya lega ya, lihat Bapak sepertinya sudah mulai membuka hatinya untuk kamu. Buktinya Bapak meminta kamu sama Kei buat nginep disini kan?" ujar Mainah yang duduk bersampingan dengan Sita di sofa panjang ruang keluarga. Sita meraih kedua jemari sang Ibu. "Iya bu. Alhamdulillah. Tadi Sita juga nggak nyangka kalau Bapak minta kaya gitu. Tiba-tiba aja tadi pas beres-beres mau pulang, Bapak ngajakin Sita buat nginep disini. Rasanya Sita seneng banget, nggak percaya aja sampai sekarang. Rasanya kaya abis menang lotre, Bu." timpal Sita. Meluapkan perasaan bahagianya. Sampai saat ini, ia masih tidak menyangka, sikap sang Ayah tiba-tiba berubah drastis seperti saat ini. "Ibu juga rasanya kaya abis menang arisan, hehehe. Senengnya Masya Allah. Adem di hati, Ta." ucap Mainah dengan berkaca. "Rasanya, sudah lama sekali rumah ini kering, gersang, seperti tidak pernah disirami air. Tapi malam ini, setelah melihat kamu memapah Bapak tadi turun dari mobil, dan memasuki rumah ini, Ibu merasakan rumah ini kembali sejuk. Ibu berharap ini bukan mimpi ya, Ta." ujar Mainah yang masih tidak percaya. "Nggak, Bu. Ini bukan mimpi. Ini nyata kan? Mudah-mudahan ini jalan yang ditunjukkan sama Allah ya, Bu. Mudah-mudahan ini awal semuanya akan membaik seperti dulu lagi. Keluarga kita utuh, bersatu kembali, bahagia lagi kaya dulu." Sita dan Mainah saling berpelukan, saling terbawa suasana. Keluarga yang terpecah sekian ratus purnama, kini perlahan akan menyatu kembali. *** Balikpapan Setibanya di rumah, wajah Rafly terlihat begitu cerah. Ya, kali ini hatinya sudah tenang karena tanah yang diinginkannya sudah bisa ia dapatkan. Ia bisa dengan mudah menjawab segala pertanyaan sang istri jika suatu saat membutuhkan jawaban apapun mengenai tanah tanpa mengada-ada lagi. Lelah juga rasanya ketika ia memulai sebuah kebohongan dan akan berbohong kembali u tuk menutupi kebohongan sebelumnya. Rafly memilih ke dapur untuk mengambil minuman dingin. Sepertinya minuman dingin akan bisa meredam panas yang masih ia rasakan di kepalanya. Rafly memilih berhenti di meja makan, duduk sebentar untuk membuka botol minumannya. "Selamat! Selamat! Untung aja ada si Anjas yang mau bantuin. Huuffff! Bisa merem dengan nyenyak aku malam ini." ujarnya lalu meneguk minuman dalam botol tersebut dengan cepat. "Anjas siapa sih, Mas?" tiba-tiba suara Sukma menggelegar di belakang Rafly. Sontak membuat Rafly tersentak dan hampir tersedak saking kagetnya. "Astaga, sayang!" serunya seraya menoleh ke belakang. Sudah ada Sukma yang bersandar memeluknya dari belakang. "Anjas siapa? Belum di jawab!" cecar Sukma. "Itu lho, Anjas teman aku waktu kuliah di Jogja, sayang. Anjas yang dulu pernah ketemu waktu kita liburan ke Bali. Waktu Zaky masih kecil sih, ingat nggak?" Rafly mencoba mencari-cari. Sepertinya terbiasa berbohong beberapa haru ini bisa membuatnya makin cepat untuk memikirkan karangan kebohongannya. Benar memang yang pepatah sampaikan, 'bisa karena terbiasa'. "Emmm, yang mana sih? Emmm, kayanya aku udah lupa deh, Mas. Emangnya ngapain Anjas? Ada bisnis apa sama kamu gitu?" "Nggak ada bisnis. Cuma tadi dia nawarin aja, kalau mau ke Jogja bisa nginep di rumahnya aja gitu. Ya, itung-itung nanti bisa reuni kecil-kecilan juga kan, sayang. Plus hemat biaya, hehehe." terang Rafly makin asal-asalan. "Owhh gitu. Kirain Anjas itu cewek!" "Astaga Sukma! aku ini udah tua. Nggak ada waktu buat mikirin kaya gitu mah. Curigaan aja bawaannya. Kalau kamu nggak percaya, bisa kamu telpon Anjas langsung. Aku kasih nomernya. Mau?" "Hehehe, nggak mau. Aku percaya sama kamu, Mas." "Nah, gitu dong. Mana pernah aku selama jadi suami kamu ini ngebohong. Nggak kan?" "Hehehe, nggak pernah!" "Tapi ni ya, Mas. Justru di usia kaya gini laki-laki itu makin terlihat pesonanya. Kaya kamu sekarang ini, usia tiga puluh tujuh tahun itu, aura kelaki-lakian akan makin terlihat. Laki-laki akan semakin terlihat wibawanya. Cewek-cewek kalau lihat kamu pasti pada mau juga lho. Ditambah, kamu ini seorang pengusaha sukses. Mana ada mereka nolak!" "Masak sih? Kamu lebay ah!" Rafly melanjutkan meneguk sisa air dingin yang ada di dalam botol, menghabiskannya sampai kosong. Rafly beranjak. "Udah ah, dari pada ngobrol nggak jelas mending ke atas yuk, sayang! Aku_" Tiba-tiba mulut Rafly berhenti bicara. Ia melihat Sukma dengan mata melebar dan mulutnya yang setengah terbuka. Tanpa ia sadari ternyata Sukma sedari tadi berdandan menggunakan pakaian kebesarannya saat di atas ranjang. Jakun Rafly naik turun, menelan salivanya berkali-kali. "Sayang_!" ucapnya lirih, masih tak berkedip. Sukma yang mengenakan gaun malam warna merah hati dan sedikit menerawang, dengan rambut di gerai dan riasan wajah yang sedikit mencolok. Sukma sengaja memoles bibirnya dengan warna senada dengan gaun malamnya. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk menarik simpati sang suami. "Kangen sama aku nggak, Mas?" ujar Sukma dengan nada sengaja mendesah, kemudian mengibaskan rambutnya ke belakang. Rafly hanya tersenyum, seraya memandang ke arah Sukma dengan tatapan nakalnya. "Kalau kangen, memangnya kenapa?" timpal Rafly. Sukma berjalan mendekati Rafky, mengalungkan tangannya ke leher sang suami. "Aku juga kangen! Kita kangen-kangenan yuk!" ucapnya lirih yang ia dengungkan di dekat telinga Rafly, membuat Rafly semakin ingin segera membawanya ke atas singgasana tempat peraduan. "Siapa takut!" balas Rafly yang menerima tantangan dari Sukma. Tanpa aba-aba, Rafly dengan cepat melumat bibir sang istri. Saling balas membalas pertukaran saliva hingga membuat keduanya makin terbawa suasana. Dengan terus berjalan menaiki tangga tanpa melepaskan bibir yang tengah asyik beradu. Setelah sampai di kamar, tanpa basa-basi terlalu lama, Rafly segera menggarap sang istri tanpa ampun lagi. *** Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, akhirnya Keinara dan Yudha sampai juga di rumah sang Kakek. "Huh, akhirnya sampai juga! Punya rumah kok di ujung benua." gerutu Keinara seraya melepaskan sabuk pengamannya. "Harusnya bersyukur, Kei. Masih punya rumah walaupun di ujung benua. Coba kamu bayangkan, banyak di kota-kota besar orang tidak punya tempat tinggal. Kalau punya uang masih mending bisa ngontrak, kalau nggak? Ya tidur di emperan mereka." timpal Yudha. "Hemmm, iya juga sih, hehehe. Bersyukur itu penting!" "Wajib!" sahut Yudha. Keinara dan Yudha segera turun dari dari mobil. Terlihat Sita sudah berada di depan pintu utama menyambut kedatangan sang putri tercinta. "Bunda!" seru Keinara seraya berjalan setengah berlari. Tak lupa untuk mencium punggung sang Bunda terlebih dahulu. "Ini baju ganti buat Bunda." Keinara menyerahkan tas besar dalam jinjingannya. "Makasih ya, nak! Oh iya, sana masuk, salim dulu sama Nenek!" titahnya pada sang Putri. "Siap, ndan! Hehehe." timpal Keinara seraya berlalu masuk ke dalam. Sementara Sita masih berdiri di teras, menunggu Yudha yang tengah sibuk memainkan ponselnya di sisi mobil. "Mas! Masuk! Makan yuk!" serunya dengan suara kencang. Yudha terperanjat. "Hah? Iya sebentar!" Yudha menyimpan ponsel ke dalam saku celananya, lalu berjalan menghampiri Sita. "Serius amat sih! Balas pesan dari siapa coba?" tanya Sita yang penasaran. Yudha berhenti. "Hih, pengen tahu aja, apa pengen tahu banget?" lalu berjalan tanpa dosa melewati sang adik. Sita mengikuti arah Yudha melangkah. "Owh, gitu! Sekarang main rahasia gitu ya sama Sita. OK!" serunya kesal. "Soalnya kamu emberan!" timpal Yudha dengan sedikit tawa. "Apa, Mas? Emberan? Kapan coba aku emberan. Enak aja ya sekata-kata!" seru Sita yang tidak terima dengan pernyataan Yudha. Sita mengikuti mengikuti langkah Yudha, menyusul ke ruang makan, dimana Keinara dan Mainah sudah duduk manis bersiap untuk makan malam bersama. Yudha memilih duduk di sebelah Keinara, sedangkan Sita duduk di sebelah Mainah. Keempatnya duduk berseberangan. "Kalian ini, nggak dari kecil nggak sekarang yang udah bangkotan. Ribut saja kalau ketemu! Malu tuh dilihat sama Keinara!" seloroh Mainah. "Sita itu yang mulai duluan." celetuk Yudha. "Lhoh, kok aku sih? Kamu kali, Mas yang mulai. Orang tadi aku nanya baik-baik malah kamu jawab kaya gitu. Hayo siapa yang mulai kalau kaya gitu namanya?" ujar Sita tak. mau kalah. "Aduh, sudah, sudah! Dari pada ribut mending pada makan. Ini Ibu sama Keinara sudah lapar!" "Dasar, orang gede pada nggak tahu malu!" seloroh Keinara. Tatapan mata mengarah pada Keinara, lalu semua pun tertawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD