Sebelas

1527 Words
"Kakek kenapa bisa kena serangan jantung sih, bun? Kayanya baru pertama ini deh, Kei dengar Kakek masuk rumah sakit gara-gara ini." tanya Keinara, yang sedang menikmati sarapan bubur ayam yang di bawa oleh bundanya sepulang dari rumah sakit. Semalam Sita memang memutuskan untuk menginap di rumah sakit. "Yah, namanya juga sudah tua, Kei. Orang kalau sudah tua itu riskan sama kesehatannya." timpal Sita, sambil mengaduk-aduk bubur ayam di dalam mangkok. "Terus udah sadar belum, bun?" tanya Keinara lagi. "Alhamdulillah! Udah sadar tadi waktu abis subuh. Tapi masih lemah, belum boleh banyak bicara juga." terang Sita. "Syukurlah kalau sudah sadar. Mudah-mudahan lekas membaik ya, Bun." "Aamiin. Semoga aja, Kei. Kata Pakde Yudha sih, beberapa hari terakhir Kakek ngeluh pusing, terus pas di bawa ke dokter tensinya emang tinggi terus." "Tensinya tinggi? Emang Kakek mikirin apa sih? Biasanya kan karena terlalu banyak mikirin sesuatu darahnya jadi naik, ya bun?" celetuk Keinara. Sita terdiam sejenak, dia merasa bahwa mungkin salah satu penyebab sang Ayah sekarang ini salah satunya adalah karena dia. Karena sang Ayah masih belum bisa sepenuhnya menerima dia dan Keinara kembali. "Bun! Kok malah bengong sih?" Sita terperanjat. "Hah, apa Kei? Maaf Bunda jadi nggak fokus, he he he." kilah Sita. "Hih, Bunda kebiasaan, kalau du ajak ngomong serius seringanya gagal fokus!" protes Keinara. Sitapun hanya tersenyum, menanggapi putri kecilnya itu kini sudah bisa sering memprotesnya. "Yang namanya orang tua, pasti ngeyel. Disuruh istirahat, diam aj di rumah ya nggak mau. Hayoh aja masih sibuk di kebun, nanem cabe lah, nanem timun. Mana pas kejadian itu malahan Kakek kamu itu ikutan ngeronda. Jiwanya masih merasa kuat dan sehat, tapi raga kan nggak bisa dibohongin." terang Sita. "Mudah-mudahan setelah ini Kakek jadi nurut kalai di kasih tahu ya, Bun. Jadi nggak ngeyel lagi." "Mudah-mudahan, Kei. Udah, sekarang habisin dulu makannya. Keburu dingin tuh nanti buburnya nggak enak." "He he he, Siap, bun!" Sita dan Keinara melanjutkan sarapannya. *** Pukul 12.00 "Kei... " ucap Sita dari luar kamar Keinara, lalu membuka pintu kamar Keinara. "Iya bun, kenapa?" sahut Keinara yang sedang menonton televisi sambil rebahan di atas kasurnya. "Hari ini ada agenda nggak, Kei? Kemana gitu, mau ngerjain tugas atau apa lainnya?" tanya sang bunda, masih berdiri d tengah pintu seraya memegangi handle. Keinara memutar bola matanya, berfikir sejenak. "Emmm, nggak ada si bun. Emang kenapa?" "Bunda kan mau ke rumah sakit lagi, butik bakalan Bunda tutup sih. Kamu kalau bisa jaga rumah aja ya, soalnya nanti ada beberapa orang langganan bunda yang mau ambil barang mereka kesini. Bisa nggak kamu bantuin bunda buat nungguin mereka?" "Owh, gitu? Emmm, bisa nggak ya?" Keinara diam sejenak, terlihat berfikir. "Masak bantuin bundanya aja nggak mau sih, Kei!" Sita terlihat menampilkan wajah memelasnya di hadapan Keinara. "Ayolah, tolongin bunda ya! Kasihan, soalnya bajunya pada keburu mau dipakai." Keinara bangkit, turun dari kasurnya berjalan mendekati sang bunda. "Mau sih mau aja, bun. Tapi... " Keinara menghentikan bicaranya, sedangkan Sita memasang wajah tegang. Dia sudah hafal dengan gelagat sang Putri. Keinara pasti akan mengajukan sebuah persyaratan. "Minggu depan Kei mau ke pantai, bun. Terus nginep, bawa tenda gitu! Boleh ya?" pintanya penuh harap. "Mau camping?" "He emmm!" "Sama teman-teman kamu yang mana?" Sita mulai menelisik lebih dalam. "Ya sama Michel, Sabrina, rony, sama Zaky lah bun! Siapa lagi teman terbaiknya Kei kalau bukan mereka. Boleh ya? Tolong, bun." pinta Keinara merengek. Sita diam, mengehela nafasnya dalam-dalam. "Bun, izinin ya? Kei pengen banget. Kei janji nggak bakalan macam-macam. Lagian itu kan sama anak-anak yang bunda udah kenal juga. Mereka kan anak baik-baik! Ya bun ya_ " "Bukannya bunda nggak izinin, Kei!" "Terus?" "Bunda cuma_ " Sita kembali diam, enggan melanjutkan bicaranya. Keinara meraih jemari sang bunda. Digenggamannya erat-erat. "Kei janji, Kei nggak akan melakukan hal aneh-aneh yang bisa membuat bunda marah atau nggak suka. Kei bakalan jaga diri, bun." ucap Keinara makin memelas, menatap netra sang bunda yang terlihat sekali memendam kekhawatiran yang mendalam terhadap dirinya. Melihat putrinya yang terlihat begitu ingin sekali pergi bersama teman-temannya, membuat hatinya tak tega. Ia sadar, selama ini tidak pernah mengizinkan Keinara untuk bepergian jauh, apalagi sampai menginap. Tapi mengingat Keinara yang sudah dewasa, tentu saja putrinya tersebut sudah sadar akan tanggung jawab yang lebih. "Memangnya berapa hari campingnya?" "Sehari semalam aja, Bun. Boleh?" Sita tak bisa lagi menolak, ia mengangguk perlahan, di sambut dengan uraian senyum dan pancaran binar mata Keinara. "Boleh bun?" "Ya" Sita tersenyum. "Yeyeyyy! Bunda izinin!" sorak Keinara saking bahagianya. Keinara langsung memeluk sang bunda. "Makasih ya bunda. Bunda emang yang paling baik, yang terbaik deh pokoknya! He he he." ucap Keinara sebagai rasa bahagianya karena telah diizinkan untuk pergi bersama teman-temannya. "Iya sayang. Sama-sama." ucap Sita seraya mengelus rambut panjang Keinara. Keinara melepaskan pelukannya, menatap sang bunda penuh dengan cinta. "Bunda nggak usah khawatir, Kei pasti akan selalu jaga kepercayaan bunda. Kei nggak akan aneh-aneh atau ngelakuin hal-hal yang bunda nggak suka." tutur Keinara, seolah paham dengan apa yang selalu membuat bundanya khawatirkan. "OK! Anak baukl!" timpal Sita seraya mencubit gemas pipi sang putri. "Ya udah, bunda berangkat ke rumah sakit sekarang ya? Kasihan Nenek jaga sendirian. Pasti repot banget harus ngurusin Kakek." "Siap bosbun! He he he." Sita mengernyitkan kening. "Kok bosbun?" "He he he, kan bos bunda, disingkat jadi bosbun!" Keinara nyengir. "Astaga, Kei! Kamu ini bisa aja ngasih singkatan kaya gitu. Udah ah, bunda berangkat ya. Itu barang-barang yang mau diambil udah bunda siapin, nanti kalau orangnya datang udah ada namanya di bungkusnya ya." "Iya bosbun, siap!" sahut Keinara. Sitapun membalikkan tubuhnya, baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba suara Keinara terdengar memanggilnya kembali. "Bun_ " panggil Keinara yang berhasil menghentikan langkah sang bunda. Sita memutar kepalanya seratus delapan puluh derajat. "Apa lagi?" "Uang jajan Kei juga ditambahin ya? Kan buat beli bekal juga, sama buat jajan juga di sana, he he he!" pintanya tak enak. "Hemmm, iya sayang, siap!" "Yeesss!" seru Keinara seraya mengepalkan tangannya. Sita menggelengkan kepalanya, seraya tersenyum melihat polah tingkah putri yang selalu ia anggap masih anak-anak tersebut. Sita segera mengeluarkan sepeda motornya dari garasi, langsung tancap gas menuju ke rumah sakit. Tak lupa dia mampir dulu ke sebuah warung makan, membelikan makan siang untuk sang Ibu. Dia yakin, pasti tidak ada waktu untuk Ibunya bisa menikmati makan siang. Sesampainya di rumah sakit, dengan berjalan cepat Sita segera menuju ke ruang rawat inap sang Ayah. "Assalamualaikum." ucap Sita seraya membuka pintu. Terlihat Mainah yang sedang menyuapi sang suami, menoleh ke arah pintu. "Waalaikumsalam. Sita, masuk nak!" ucapnya. Sitapun masuk ke dalam, berjalan menuju samping sang Ibu. "Kebetulan lagi pada makan siang ya. Ini Sita bawain sekalian makanan buat Ibu juga. Makan dulu bu, biar Sita aja yang nyuapin Bapak." pintanya ragu-ragu. Jujur dia takut jika sang Ayah akan menolak niatnya. Beberapa detik ia tunggu, sang Ayah tak juga bersuara. Tak menolak ataupun menerima. Mainahpun juga terlihat canggung. Sita meletakkan bungkusan makanan ke atas meja. Lalu mengambil piring yang masih ada di tangan Mainah. "Sini, Ibu makan dulu. Pasti belum sempat makan siang kan?" "Nggak usah, Ta. Nyuapin Bapaknya juga paling sebentar lagi. Nggak apa-apa biar Ibu saja." tolak Mainah. Sebenarnya ia sudah lapar, tapi karena tidak merepotkan sang anak, ia memilih untuk bertahan. Piring yang sudah di tangan Sita diambil kembali oleh Mainah. Ada sesal yang tertancap di d**a Sita. Padahal ia berniat ingin menunjukkan baktinya terhadap sang Ayah. Baru saja Sita akan memutar tubuhnya, berniat duduk di sofa belakang. Suara aneh terdengar di telinganya. Krucuk_ Sita mengurungkan niatnya. Ia tengok sang Ibu di sampingnya. "Bu! Itu tadi suara perut Ibu ya?" telisik Sita. Mainah mendongak ke arah Sita. "He he!" jawaban yang membuat Sita harus menahan tawanya. "Udah dibilang suruh makan dulu, ngeyel!" Sita mengambil piring di tangan Mainah. Mungkin kalau saja piring itu bisa bicara, dia pasti akan protes karena harus di bolak-balikin dari tangan satu ke tangan yang lain. Mainah menatap suaminya, seakan bertanya dan meminta persetujuan sang suami. Namun sepertinya Prayoga memilih diam, hanya merespon dengan kedipan mata yang ia bisa lakukan. Mainah perlahan berdiri, keluar dari kursi. Membiarkan Sita masuk menggantikan posisinya. Mainah mengambil bungkusan nasi yangasih ada di atas meja, membawanya ke belakang ke atas sofa. "Sita suapin ya, pak? Kasihan Ibu, biar Ibu makan dulu." ucap Sita, berusaha mengajak bicara sang Ayah, dari hati ke hati. Tak ada sahutan apapun dari Prayoga, ia tetap memilih diam. Sementara Mainah yang duduk di sofa belakang seraya menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, seraya memperhatikan gelagat suami dan putrinya di depannya. Jujur, diapun takut jika Prayoga akan terbawa emosinya kembali karena menolak kehadiran Sita. "Ya Allah, semoga Bapak bisa mengontrol emosinya." batinnya tidak karuan. Sita mulai menggerakkan sendok di tangannya ke dekat mulut sang Ayah. Awalnya mulut sang Ayah masih menutup rapat, enggan membuka. "Buka, yah. Makan ya?" ucap Sita dengan hati yang tidak menentu pula. Prayoga perlahan mulai mau membuka mulutnya, sedikit demi sedikit. Ada perasaan haru dalam hati Sita. Akhirnya dia bisa menunjukkan wujud kepeduliannya terhadap sang Ayah, yang selama ini selalu menganggapnya tidak ada. Dengan penuh kesabaran, Sita terus menyuapkan sendok demi sendok makanan ke dalam mulut sang Ayah. "Sita, anakku! Bapak rindu, nak. Bapak ingin sekali memelukmu!" ucap Prayoga dalam hati. Ingin rasanya saat ini ia menangis sejadinya, namun pantang bagi seorang kepala keluarga mengeluarkan air mata di depan anak dan istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD