Prayoga segera mengambil gawainya. Tak sabar ingin memberikan kabar pada Wardi, sahabat yang ia gadang-gadang akan menjadi besannya kelak.
"Halo, War! Beres semuanya. Sekarang Yudha sudah jalan nganterin Ratna." jelasnya dengan diikuti senyum sumringah, karena rencananya dipastikan berhasil.
"Alhamdulillah! Kerjamu bagus juga ya! Bisa diandalkan! Ha ha ha!" seloroh Wardi di ujung sana.
"Ha ha ha! Sudah kubilang, serahkan semuanya padaku. Kalau cuma soal ngurusi Yudha saja, kecil!" seloroh Prayoga jumawa.
"Bagus! Bagus! Semoga setelah ini bakalan ada kabar baik lagi. Aku sudah ndak sabar lho, pengen segera besanan sama kamu, Ga! Ha ha ha."
"Sabar. Selangkah lagi! Ha ha ha. Ya sudah, War, untuk sementara ini dulu kabar baiknya ya. Nanti kalau nduk Ratna sudah sampai kabari aku ya!"
"Siap calon besan! Ha ha ha."
Prayoga mematikan sambungan teleponnya. Masih jelas terlihat untaian senyum itu terus mengembang di bibirnya. Ia membalikkan badannya, berjalan menuju sofa di ruang tamu. Disana sudah ada Mainah yang sedari tadi duduk menunggunya.
"Pak, apa kita ini nggak terlalu memaksakan kehendak kita? Ibu lihat, Yudha kaya nggak suka gitu lho, Pak. Ibu takut ini akan membuat Yudha jadi tertekan! Bapak paham kan, bagaimana kalau anak itu sudah ngamuk?" ucapnya dengan raut wajah sedikit menahan kecemasan.
"Halah, tenang saja to, Bu. Yudha itu anaknya penurut dari dulu. Nggak bakalan dia berani nolak permintaan kita. Bapak yakin! Wes to nggak usah terlalu dipikirin." timpal Prayoga seraya duduk, kemudian mengambil cangkir berwarna putih di hadapannya, menyeruput kopi yang hampir sudah dingin karena terlalu lama dibiarkannya.
Mainah adalah seorang Ibu, bagaimanapun dia pasti sangat peka dengan perasaan anak-anaknya. Jujur Mainah juga ingin mempunyai menantu seperti Ratna, wanita baik-baik, kalem, mapan, dan dari keluarga yang baik-baik. Bibit, bebet, bobotnya tidak diragukan. Tapi melihat reaksi yang ditunjukkan Yudha selama ada Ratna di rumah tadi, Mainah menjadi ragu.
***
Mobil melaju dengan lirih, tepat di depan sebuah pagar setinggi satu setengah meter itu mobil berhenti.
"Makasih ya, Mas. Udah diantar sampai rumah." ucap Ratna, kemudian ia langsung keluar dari mobil, tanpa menunggu sahutan dari Yudha.
Yudha membuka kaca pintu mobil. "Aku ingatkan sekali lagi, Rat. Aku nggak mau kamu nantinya makin terluka karena keegoisan kedua orang tua kita. Aku ingin kamu pikirkan semua dengan matang. Satu lagi, jangan pernah akhir bahagia dari perjodohan ini. Karena aku sudah memiliki wanita lain di hatiku." terang Yudha. Dia sudah tidak tahan menahan apa yang memang seharusnya dia sampaikan.
Dyyaarrr!
Bagai di sambar petir di derasnya hujan lebat. Pernyataan Yudha membuat hati Ratna seketika tersayat. Dadanya kian bergemuruh, nafasnya semakin sesak. Yudha sudah punya wanita lain, dan itu bukan dirinya.
Ratna menatap mata Yudha, lalu mengangguk. "Ya." ucapnya sangat lirih, dan terpaksa menunjukkan senyumnya. Ratna tidak mau terlihat kaget dan sedih di depan Yudha.
Yudha menutup kaca mobil, lalu melajukan mobilnya meninggalkan Ratna yang masih mematung.
Seketika runtuh sudah pertahanan hati Ratna. Tubuhnya seperti tidak bertenaga. Ingin melangkahkan kakinya saja seperti tidak kuat. Ia tak sanggup membendung air mata yang mengalir deras di pipinya.
"Mas Yudha, apa memang sudah tidak ada setitik kesempatan itu untukku? Kenapa hatimu begitu keras menolak apa yang sudah menjadi keinginan kedua orang tua kita? Apa kamu nggak ingin membuat orang tua kita bahagia, Mas?" batinnya masih mematung. "Siapa wanita itu, Mas? Siapa wanita yang berhasil menggoyahkan hatimu saat ini?" batinnya kian sesak.
Ratna seperti kehilangan harapannya. Kini hatinya justru bimbang. Haruskah dia tetap melanjutkan kisah perjodohannya? Atau harus menyerah karena Yudha sudah jelas-jelas menolaknya.
Dengan langkah gontai, Ratna berjalan memasuki halaman rumahnya, disambut dengan sang Ayah yang sudah berdiri di ambang pintu masuk.
Dari kejauhan, Ratna terlihat mengusap pipinya. Supaya tidak memperlihatkan kesedihannya di depan sang Ayah.
"Wah, wah, wah! Yang habis diantarin sama calon suaminya. He he he." ledek Wardi dengan wajah yang berseri.
Ratna menegakkan kepalanya, lalu meraih punggung tangan sang Ayah.
"Apaan sih, Pak. Biasa aja! Udah sih Bapak jangan ledekin Ratna kaya gitu terus. Mas Yudha itu belum tentu jadi jodohnya Ratna." timpal Ratna.
Wardi mengernyitkan keningnya. "Lho, lho, lho! Kok ngomongnya gitu? Kan sudah jelas, Bapak saka Paklik Prayoga mau menjodohkan kalian. Jadi ya kemungkinan besar pasti jadi to, Nak." tutur Wardi.
"Pak, jodoh itu di tangan Allah. Sekeras apapun Bapak sama Paklik Wardi mau jodohin aku dan Mas Yudha, kalau nggak jodoh ya nggak bakalan bisa!" ujar Ratna tegas. "Udah ya, Ratna mau masuk kamar dulu, capek mau rebahan sebentar. Bapak juga jangan lupa segera istirahat ya!" ujar Ratna kemudian berlalu melewati sang Ayah yang masih berdiri.
Wardi terlihat mencebikkan bibirnya. "Itu anak kenapa to? Perasaan kemarin dia bilangnya mau mencoba dulu, tapi sekarang kenapa jadi kaya nggak semangat gini?" ujar Wardi penuh tanya.
***
Sementara di rumah Sita, masih saja ia bergolak dengan batinnya yang kian merasa khawatir. Entah kenapa hatinya merasa jika akan terjadi sesuatu yang besar setelah ini. Semenjak kemunculan Rafly, hari-hari Sita diliputi rasa tidak tenang. Dia takut Rafly akan muncul kembali di hadapannya.
"Tapi rasanya tidak mungkin, Rafly akan mencari aku atau Keinara. Karena selama ini diapun tidak pernah mencari kita." ucap Sita lirih.
Waktu menunjukkan pukul dua belas malam, dan Sita masih juga belum memejamkan matanya. Entah, ia tidak bisa tidur meskipun sudah berusaha untuk menutup matanya.
"Ya Allah, lindungi aku dan juga anakku agar tidak bertemu dengan orang jahat itu. Aku sudah melupakanya begitu lama, dan sekarang Kau pertemukan kami kembali. Cukup sekali itu, ya Allah. Jangan ada lagi pertemuan berikutnya. Aku tidsk sanggup." lirihnya, kemudian memejamkan matanya.
Keesokan paginya, Keinara sudah siap dengan segala persiapannya untuk camping ke pantai, sesuai dengan agenda yang sudah ia siapkan beberapa minggu yang lalu.
Bebekal tas ransel besar yang sudah ia letakkan di lantai bawah, Keinara siap berangkat.
Keinara naik ke lantai dua, dimana sang Bunda masih sibuk dengan urusan dapurnya. Ya, akhir-akhir ini sang Bunda terlihat jauh lebih sering menyempatkan diri masak sendiri ketimbang membeli makanan di luar.
Keinara duduk di meja makan. Sudah ada menu sarapan nasi goreng dengan toping telor ceplok di atas meja.
"Ayo sarapan, Bun. Kei udah lapar banget!" serunya pada sang Bunda yang tengah mengaduk segelas s**u untuk sang putri.
"Ia sebentar, Nak." sahutnya lalu berjalan membawa s**u tersebut, meletakkannya di samping piring makan Keinara.
"Semangat sekali yang mau camping!"
"Iya dong, Bun. Ini pertama kalinya camping sama teman-teman. Pasti bakalan seru banget nanti." sahut Keinara bersemangat.
Sita mengulas senyum. "Oh iya, Kei, kamu kalau Bunda minta buat nggak ikut pergi camping gimana? Kira-kira, bisa nggak?"
Pertanyaan yang membuat d**a Keinara hampir berhenti berdetak. Menatap wajah sang Bunda dengan nanar. "Maksud Bunda, aku batal berangkat gitu?" ujar Keinara protes.
"He he he. Jangan panik dulu. Bunda juga nggak mau maksa sih, kalau kamu kekeh pengen pergi ya nggak apa-apa. Bunda izinin, tapi kamu harus benar-benar jaga amanah Bunda lho ya, jangan macam-macam." Sita mengurai senyum terpaksa.
Keinara terlihat membuang nafasnya dari mulut. Melepaskan sedikit ketegangan yang baru saja terjadi.
"Bunda bercandanya nggak lucu ah!" serunya menahan kesal.
Sita masih terus tersenyum, ingin rasanya ia melarang namun setelah melihat kekecewaan di raut wajah sang putri, rasanya tidak tega itu muncul.
***
Balikpapan
Sukma tengah menyiapkan peralatan yang akan dibawa oleh Rafly selama dua hari di Sukabumi nanti. Sementara Rafly kian menunjukkan perasaannya yang sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan Sita dan Keinara.
Rafly berharap, pertemuannya nanti akan menjadi titik temu untuknya menebus segala kesalahannya pada Sita selama ini.
Rafly terlihat gusar, memunculkan rasa curiga di benak Sukma yang sedari tadi selalu mencuri pandang ke arah Rafly. Sukma menutup koper dan menyeretnya ke lantai. Kemudian mendekati Rafly yang duduk di ujung tempat tidur.
"Kamu kenapa sih, Mas? Kok dari tadi aku perhatikan kaya yang gelisah gitu? Ada masalah lagi?" tanyanya spontan, lalu duduk di sebelah Rafly.
"Hah? Gelisah? Masak sih? Emmm, tapi emang agak nervous dikit sih, sayang. Emmm kan hari ini mau ketemu sama investor asal Jerman, jadi kan sebisa mungkin aku harus berkomunikasi dengan bahasa inggris yang baik. Sementara aku udah lama sekali nggak pernah menggunakannya. Makanya jadi deg-degan gini." tepis Rafly, lagi-lagi harus mengarang cerita versinya sendiri.
Sukma mengelus punggung sang suami. "Bussmillah, Mas. Nanti semuanya lancar. Tapi kalau kamu nggak yakin sama bahasa inggris kamu, kenapa nggak bawa penerjemah aja? Biar nggak jadi pikiran kaya gini." usul Sukma.
"Kalau soal bawa penerjemah mah gampang, sayang. Cuma masalahnya kredibilitas Rafly sebagai seorang direktur perusahaan raksasa jadi dipertanyakan. Masak nggak bisa bahasa internasional? Malu dong, harga diri ini urusannya, sayang!" kilahnya makin menjadi.
"He he he! Bener juga ya, Mas. Adu gengsi dong! Tapi aku selalu berdoa, semoga semuanya lancar, proyeknya deal, dan yang pasti aku bisa kalap belanja lagi!"
"Hemm, soal belanja aja ya, nomer satu!" sahut Rafly seraya mencubit hidung bangir sang istri.
Keduanya saling memandang, kemudian terlihat melepas tawa bersama-sama.
***
Pantai Sepanjang
Pantai Sepanjang adalah sebuah pantai di Kabupaten Gunungkidul yang masih cukup sepi dibandingkan dengan pantai-pantai lainnya. Alasan memilih pantai tersebut karena mang suasananya cocok untuk dijadikan tempat camping yang nyaman.
Keinara, Zaky, Michel, Rony, dan Sandrina terlihat begitu terpesona melihat keindahan alam yang Tuhan ciptakan tersebut. Deburan ombak kecil yang menyapu pasir putih, angin sepoi-sepoi yang menyapu pohon dan dedaunan semakin memperlihatkan kekuasaan sang Tuhan pencipta alam raya ini.
"Waawww, indah banget ya gaes! Bakalan betah disini nih nanti." seru Sandrina.
"Iya, San, bagus banget ya!" sahut Michel yang tak kalah takjub.
"Heh, heh, heh! Para perempuan, udah kaga usah lebai. Yang namanya pantai ya emang kaya gini kan. Kaya nggak pernah ke pantai aja kalian ini." semprot Rony. "Udah, dari pada heboh nggak jelas, mending buruan bikin tendanya!'
" Hih, dasar si berisik! Nggak bisa lihat temannya seneng dikit ya!" timpal Michel, sewot.
"Iya tuh. Dasar laki kaga peka hatinya!" imbuh Sandrina, yang juga kesal moodnya seketika di rusak oleh Rony.
"Udah, mending kita sekarang bikin tenda aja dulu yuk, biar segera bisa buat istirahat. Capek juga nih perjalanan selama satu jam. lebih. Pegel nih pundak." sahut Zaky.
Semuanya akhirnya bergerak, mendirikan dua tenda yang cukup besar. Satu tenda untuk perempuan dan satu lagi untuk kaum laki-laki.
***
Pukul delapan belas lebih lima menit, Rafly mendarat di Bandara Yogyakarta. Di luar, sudah ada Agas yang setia menunggunya dari dua puluh kenit yang laku. Begitu bertemu, keduanya segera bergegas memasuki mobil.
"Gimana, Gas? Aman?" tegur Rafly pada Agas.
"Aman, Raf! Ini acaranya gimana, kita langsung ke rumahnya Sita atau ke hotel dulu?"
"Kita ke hotel dulu aja, Gas. Aku perlu mempersiapkan mental biar semuanya bisa dikondisikan." timpal Rafly.
"OK. Kita ke hotel dulu."
Mobil melaju ke sebuah hotel bintang lima fi kawasan pusat kota. Sesampainya disana, Rafly dan Agas segera cek in.
"Raf, kalau boleh tahu, kamu kok kaya ngotot banget pengen nyari Sita sih? Emang antara kalian berdua itu ada apa? Perasaan juga udah banyak tahun kalian berpisah, kalian juga pasti udah punya kehidupan sendiri-sendiri. Kenapa tiba-tiba pengen ketemu lagi?" telisik Agas.
Rafly menyandarkan tubuhnya ke bahu sofa, menghela nafas panjang. "Ada sesuatu yang belum selesai, Gas. Antara aku dan Sita. Yang jelas, sekarang aku ingin menebus kesalahanku di masa lalu." terangnya.
Agas makin kebingungan. Keningnya nampak mengerucut. "Kesalahan? Emang kamu bikin kesalahan apa sih? Yang aku ingat nih ya, dulu setelah kamu pindah dari kampus, beberapa minggu kemudian Sita juga menghilang. Dan kita teman-temannya satu kelas nggak ada yang tahu dia kemana. Hilang gitu aja. Entah pindah kuliah entah kemana sama sekali nggak ada jejaknya."
"Hemmm! Panjang ceritanya, Gas! Kamu kalau aku ceritain pasti bakalan kaget. Mending nanti kamu tahu aja pas di rumahnya Sita. Bisa lihat sendiri dengan mata kepala kamu sendiri."
"Ya elah, apaan sih pakai acara nanti-nanti aja. Aku pengen tahunya sekarang, Raf!" timpal Agas tak sabar.
Rafly bangkit dari duduknya. "Udah nanti aja! Sekarang aku mau mandi dulu, gerah! Abis itu kita cari makan dulu, baru ke rumahnya Sita." Rafly langsung membalikkan badan menuju ke kamar mandi.
***
Gelap mendung menyelimuti kota Jogja. Kilat-kilat mulai bersahutan menampakkan kekuatan cahayanya. Biasanya hujan pun akan segera menyusulnya.
Malam ini Yudha sengaja menyambangi kediaman Sita karena ingin bertemu dengan Keinara dan mengajaknya jalan-jalan.
Semenjak anak itu masuk ke bangku kuliah, belum sekalipun Yudha membawanya jalan-jalan malam keliling kota Jogja seperti saat Keinara masih duduk di bangku SMA. Dulu, saat hari libur tiba, Yudha selalu menyempatkan untuk membagi waktunya dengan sang keponakan.
Sekarang, Keinara lebih disibukkan dengan tugas-tugas kampusnya, membuat frekuensi bertemu dengan sang Pakde hampir tidak ada.