Lima Tujuh

1151 Words
Tubuh Sita mendadak lemas, tulang-tulangnya terasa seperti tak bisa ia gerakkan untuk melangkah. Ingin saat itu dia ambruk di tempat itu, untung saja ada Sucy, karyawan baru yang baru beberapa hari ini kerja di butik milih Sita. Sucy segera menumpu badan Sita. "Astaghfirullah, Bu Sita! Kenapa Bu?" seru Sucy dengan memegangi kedua lengan Sita dari belakang. Sita memejamkan matanya sejenak. Lalu mencoba mengatur nafasnya. Kemudian dia mencoba untuk berdiri dengan sekuat tenaganya. "Sucy! Nggak apa-apa kok, Cy. Aku cuma belum sarapan aja tadi, makanya lemes gini." kilah Sita. Terpaksa mengarang cerita di depan Sucy. "Ya ampun, Bu Sita! Lagian ini juga sudah jam sembilan lebih malah belum sarapan. Ya sudah sekarang kita masuk dulu ya, Bu. Habis itu saya belikan sarapan buat Ibu." tutur Sucy yang khawatir melihat kondisi Sita. "Ya." jawab Sita singkat. Mau tidak mau Sita pun harus mengiyakan tawaran Sucy, supaya Sucy tidak semakin penasaran dengan permasalahan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Sucy memapah tubuh Sita hingga berada di dalam ruangan. Mendudukkannya di sofa dengan perlahan. Sucy segera lari ke lantai atas, mengambil segelas air putih untuk diminum sang atasan. "Diminum dulu, Bu. Biar agak enakan." serunya dengan wajahnya masih masih terlihat khawatir. "Makasih ya, Cy." Sita meneguk air putih tersebut hingga abis tak tersisa. "Saya ke depan dulu ya, Bu. Mau beli bubur ayam buat Ibu sarapan. Nggak nyampai lima menit kok, ya?" Sita hanya mengangguk. Sucy segera bergegas berjalan keluar menuju tukang bubur yang sering mangkal di pertigaan jalan depan. Sita masih merasakan sedikit berkunang-kunang, namun sudah tidak parah seperti tadi. Sita menyimpan gelasnya di tangan kiri, sementara tangan kanannya beralih memijit keningnya. Berharap bisa meredakan rasa sakit kepalanya yang ia rasakan saat ini. "Ya Tuhan, Rafly! Dia benar-benar nekat! Apa belum cukup luka yang kamu berikan selama ini? Kenapa harus datang lagi disaat kami sudah terlalu bahagia dengan kehidupan kami saat ini? Tuhan, apa maksudMu mengirim dia kembali kesini. Aku sungguh tifak kuat rasanya jika harus memberitahu Keinara soal siapa Ayah kandungnya saat ini." batin Sita dengan gemuruh hebat di dalam hatinya. *** "Gimana, Raf? Apa Sita sudah mau mengatakan yang sejujurnya?" tanya Agas fi sela-sela mengemudikan setirnya. Rafly menggeleng. "Belum, Gas. Dia masih kukuh dengan apa yang dia katakan kemarin." ungkap Rafly dengan suara datar. Perlahan ia buang nafasnya melalui mulutnya. Terlihat sekali ada beban berat yang ia pikirkan. "Hemmmm! Tapi setidaknya dengan bukti-bukti yang aku kumpulkan kemarin, ada sedikit harapan jika Keinara itu adalah benar anak kandung kamu, Raf! Jadi, menurut aku, rencana kedua memang harus kita ambil!" "Iya Gas! Dengan bukti bahwa Sita tidak pernah menikah dengan siapapun, itu sudah cukup menambah keyakinanku kuat, jika Keinara itu memang putri kandungku. Mana mungkin Sita melakukan itu dengan laki-laki lain. Aku tahu siapa dia, mana mungkin dia melakukan hal serendah itu." timpal Rafly, kali ini dari sorot matanya terlihat begitu kuat dengan keputusan akhir ini. "Tes DNA adalah jalan terakhir yang bisa aku lakukan demi mengungkapkan kebenaran ini." imbuh Rafly. "Iya, Raf! Aku setuju dan akan selalu mendukungmu! Terus, ini kita mau kemana lagi?' " Balik ke hotel dulu ya, Gas. Kepalaku pusing banget, pengen rebahan sebentar." "OK! Siap!" Agas menambah kecepatan laju mobilnya menuju ke arah hotel dimana Rafly menginap. "Maaf Ta. Maaf beribu maaf aku sampaikan. Aku harus menggunakan caraku sendiri. Aku tidak mau semua ini berlarut-larut meninggalkan tanda tanya besar di hatiku. Aku ingin hidup dengan tenang. Sekali lagi maaf, karena kamu nggak bisa aku ajak berkompromi!" batin Rafly dengan tekatnya yang kuat. *** Suasana ruang kelas masih sepi. Tak seorangpun mahasiswa yang sudah duduk menempati kursi. Keinara celingukan melihat isi ruangan yang kosong tersebut. "Tumben sih, belum pada datang? Aku aku yang berangkatnya kepagian?" ujarnya seraya berjalan melewati pintu masuk. Ia memilih duduk di bangku barisan ke dua dari barisan paling depan sendiri. Keinara mengambil ponselnya untuk mengisi waktunya yang sepi. Tiba-tiba saja terdengar dengan begitu jelas suara yang sangat ia kenal dengan baik. Zaky menyusul datang. "Ehemmm! Yang tadi malam abis ketemuan sama gebetan barunya!" seloroh Zaky sambil berjalan menuju bangku di belakang Keinara. "Baru juga beberapa hari bilang putus, eh udah deket sama cowok lain. Hemmm, lucu!" imbuhnya terus menyindir Keinara. Awalnya Keinara enggan menanggapi, namun ucapan Zaky semakin menusuk-nusuk telinganya. Sontak Keinara menegakkan pandangannya, kemudian menoleh ke belakang. "Apaan sih, Ky? Ngomong apa kamu barusan?" tanyanya dengan sorot mata tajam. "Woooeee, ada yang marah nih, he he." ledek Zaky. "Maksud omongan kamu barusan apa? Jelasin!" seru Keinara makin gerah. Zaky melepaskan tas ranselnya terlebih dahulu, menyimpannya di bangku sebelahnya. Lalu ia ambil ponsel di saku celananya. "Ini apa?" tanya Zaky seraya menunjukkan sebuah foto saat Keinara tengah menerima bungkusan yang diberikan oleh Riyan. Sontak mata Keinara terbelalak. "Ini kan?" ucapnya tiba-tiba terhenti. "Ternyata karena dia kamu putusin aku, Kei? Dengan alasan soal izin Bunda yang kamu pakai sebagai tameng! Pintar kamu!" hardik Zaky. Kemudian dia menarik ponselnya. "Dari mana kamu dapat foto itu? Kamu mata-matain aku ya? Hihhh!" semprot Keinara. "Nggak perlu tahu aku dapat foto itu dari mana. Yang jelas kamu udah ketangkap basah dekat dengan cowok lain!" semprot Zaky. "Riyan itu temanku, tekan kita juga kan? Emangnya kalau kelihatan jalan atau di datangi sama temannya itu sudah bisa disimpulkan jika punya hubungan spesial? Nggak kan? Aneh!" tutur Keinara yang semakin geram, iapun tak habis pikir, kenapa Zaky bisa sampai berfikir jauh ke arah itu. "Halah! Ngeles aja! Nanti juga lama-lama kelihatan kan yang sebenarnya. Mari kita lihat aja!" celoteh Zaky makin ngawur. "Owh, gitu! OK! Kita lihat! Tuduhan kamu nggak akan terbukti!" tantang Keinara, menatap tajam ke arah Zaky, lalu ia membalikkan tubuhnya menghadap ke depan kembali. Zaky terlihat mengepalkan tangan kanannya, ia juga mengeratkan giginya menahan segala rasa kesalnya yang ia pendam. Tak selang berapa lama, gerombolan geng nerrow datang. Ada Sandrina, Michel, dan Rony datang bersamaan. "Pagi Kei, Zaky! Kalian tumben datangnya duluan?" tanya Michel yang mengambil posisi duduk di sebelah Keinara. Sementara Sandrina memilih duduk di sebelah Michel, dan Rony duduk di belakang sebelah Zaky. "Iya tadi bangunnya cepat! Dari pada nggak ada kerjaan di rumah kan. Mending berangkat ke kampus aja!" terang Keinara. "Haiii, semuanya! Wah, udah pada ngumpul nih!" seru Riyan yang tiba-tiba datang dan menyapa geng narrow dengan begitu ramahnya. Tidak lupa juga, Riyan mengajak satu-persatu untuk menerima tosnya. Mulai dari ujung, ada Keinara, Michel, Sandrina. Kemudian lanjut ke belakang ada Rony, dan terakhir adalah Zaky. Riyan memilih duduk di sebelah Rony. "Hay Rony! Gimana hari ini? Apakah masih semangat?" tanya Michel sok akrab. "He he he. Semangat dong, Michel. Kalau nggak semangat mah milih tidur di rumah aja kan." timpal Riyan. Suasana tempat duduk pun bertambah riuh. Anak-anak nampaknya bisa menerima Riyan dengan tangan tangan terbuka, kecuali Zaky yang terlihat memang tidak suka dengan Riyan sedari awal. Zaky memilih diam dan fokus dengan ponselnya. "Hih, sok akrab banget sih ini anak! Datang-datang sok yes, sok rame! Awas aja lo nanti bakalan gue bikin nggak betah ada di kampus ini." ujar Zaky yamg terlanjut memendam dendam pada Riyan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD