Setibanya di hotel, Rafly segera menghubungi Agas. Memberitahukan jika besok pagi dirinya siap bertempur menjalankan rencana yang sudah mereka susun beberapa hari yang lalu.
Rafly tengah berdiri di sisi jendela kaca samping tempat tidurnya. Menerawang jauh memandang suasana gelap luar sana.
"Ya Tuhan, semoga apa yang aku lakukan ini adalah hal yanag benar. Semoga apa yang aku harapkan bisa berjalan dengan baik." batin Rafly penuh pengharapan.
Rafly memejamkan netra sejenak, menghela nafasnya yang terasa semakin sesak. Kemudian membalikkan tubuhnya, berjalan menuju ke kamar mandi.
***
Sementara Sukma yang berada di rumah, terlihat begitu gelisah. Berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Entahlah, ada perasaan yang begitu mengganjal di pikirannya.
"Ya Tuhan, kenapa perasaanku jadi nggak enak kaya gini sih? Mas Rafly juga belum kasih kabar apa-apa. Harusnya dia sudah sampai di Malang beberapa jam yang lalu." ucapnya seraya menggenggam ponsel. Waktu menunjukkan hampir pukul sembilan malam.
"Astaghfirullah! Kenapa bukan aku duluan yang coba buat hubungin Mas Rafly. Siapa tahu dia kecapekan terus langsung tidur di hotel. Ya ampun, kenapa aku nggak kepikiran sampai situ sih! Huhh!" gerutu Sukma.
Sukma berjalan menuju ke ujung tempat tidurnya, lalu duduk dan segera menyalakan ponselnya.
Tut tut tut.
"Kemana sih, Mas? Kok nggak di angkat?"
Hingga sambungan terputus Rafly tak juga mengangkat teleponnya. Sukma mencoba menghubunginya sekali lagi.
Tut tut tut.
"Halo, sayang! Maaf ya aku baru aja keluar dari kamar mandi. Ini aku udah sampai di hotel." terang Rafly di pulau seberang sana.
Sukma terlihat menghembuskan nafasnya dengan penuh kelegaan. Akhirnya Rafly mengangkat telponnya juga.
"Ya ampun, Mas! Kamu kemana aja sih? Udah sampai kok nggak kasih kabar! Aku kan cemas!" cerocos Sukma, mengungkapkan rasa kekhawatirannya.
"He he, maaf sayang. Iya tadi aku kan capek banget. Pulang dari kantor langsung terbang kan. Sampai hotel aku langsung tepar. Bangun-bangun udah pukul delapan lebih, terus mandi ini, he he. Maaf ya sayangku, cintaku!" jelas Rafly.
Sebenarnya sesampainya di Jogja tadi Rafly memang benar segera menuju ke hotel. Namun sesampainya disana yang dia ingat hanyalah ingin segera menyelesaikan permasalahannya dengan Sita. Membuatnya lupa memberi kabar pada sang istri tercinta.
"Syukurlah kalau kamu nggak apa-apa, Mas. Aku ini dari tadi udah macam-macam pikirannya. Takut terjadi apa-apa di perjalanan." ungkap Sukma.
"He he he, khawatir pesawat yang aku tumpangi jatuh ya?" gurau Rafly seraya terkekeh.
"Hih, Mas Rafly! Ngeselin! Orang istrinya lagi panik malah di ledekin gitu!" semprot Sukma kesal.
Sukma terlihat merubah posisi duduknya.
"He he he! Aku baik-baik aja sayang! Maaf ya udah bikin kamu khawatir." ujar Rafly kembali menenangkan. "Ngomong-ngomong kamu udah makan belum, sayang? Ini rencananya aku mau makan keluar sebentar. Boleh kan?"
"Aku udah makan tadi, Mas. Tapi kenapa harus makan di luar, Mas? Kan tinggal pesan aja makanan hotel, dari pada capek-capek keluar." saran Sukma.
"Aku bosan makan hotel, sayang. Paling ya gitu-gitu aja kan makannya. Aku pengen jajan ke angkringan ini. Sekalian cuci mata lihat huru-hara di jalanan." terang Rafly.
"Hemmm, ya sudah lah. Kalau mau keluar hati-hati ya, Mas. Aku mau langsung tidur aja ini. Udah ngantuk banget!" balas Sukma.
"Ya sudah kalau gitu, selamat malam sayangku. Selamat beristirahat ya, muachhh!" ucap Rafly.
"Muacchh juga sayangku. Bye sayang."
"Bye!"
Sukma menutup telponnya.
"Alhamdulillah, suamiku baik-baik aja." lirih Sukma seraya meletakkan layar depan ponselnya menempel ke d**a. "Ya tuhan, lindungi dimanapun suamiku berada." sambungnya dengan bibir bergetar.
Sukma bangkit dan menuju ke sisi tempat tidurnya. Meletakkan ponsel di atas meja lampu tidur. Kemudian Sukma masuk ke dalam selimut tebal di atas kasur. Sukma bersiap berselancar ke pulau kapuk.
Sementara Yudha memutuskan untuk keluar kamar. Dia ingin melihat hiruk-pikuk pemandangan di luar sana untuk mengobati rasa penat dalam pikirannya.
***
Pukul sembilan lebih sepuluh menit, Ratna berpamitan untuk pulang. Ya, sedari tadi jam lima sore, Ratna memang berada di rumah Yudha. Ratna membantu Mainah melakukan banyak hal, seperti memasak, terus membantu bersih-bersih rumah juga. Sudah terlihat seperti menantu sungguhan saja.
Ada rasa senang di dalam hati Ratna ketika melakukan hal itu. Seolah rasa menyerah yang ia rasakan kemarin ia lupakan begitu saja. Ratna seperti mendapatkan kekuatannya kembali untuk bisa terus meluluhkan hati Yudha.
Setidaknya Ratna sudah berhasil meluluhkan hati kedua orang tua Yudha. Sebenarnya itu sudah menjadi poin yang cukup telak yang Ratna dapatkan.
"Bulik, Paklik. Ratna pulang dulu ya. Nggak terasa udah malam aja ini. Insya Allah besok kalau ada waktu pasti Ratna main lagi kesini." tutur Ratna yang tengah berjalan keluar dari tuang tamu.
"He he he. Bulik senang banget kamu mau bantu-bantu di rumah bulik. Selain pintar memasak, ternyata kamu juga cekatan ya soap mengurus rumah." Puji Mainah pada Ratna.
"Ah Bulik bisa aja. Ratna kan udah biasa melakukan pekerjaan kaya gini. Setelah Ibu nggak ada, otomatis pekerjaan rumah beralih menjadi pekerjaan Ratna. Jadi ya, biasa aja Bulik." timpal Ratna, merendah.
"Nanti kalau kamu sudah menikah dengan Yudha, nggak perlu penyesuaian lagi tugas menjadi seorang istri. Lha wong sudah paham dari sekarang kok, he he he." celetuk Prayoga.
"He he he. Insya Allah kalau Allah memberikan jodoh untuk kami Paklik." sahut Ratna malu-malu.
"Aamiin!" ucap serentak antara Mainah dan Prayoga.
Tin tin tin.
Tiba terdengar suara klakson mobil yang memecah kehangatan suasana hangat antara ketiganya. Yudha yang sudah berada di dalam mobil terlihat kesal karena orang yang di tunggunya masih asyik berbicara dengan kedua orang tuanya.
Ya, Yudha di perintah oleh sang Ayah untuk mengantarkan Ratna pulang. Alasannya masih sama seperti kemarin-kemarin. Waktu sudah malam, dan kasihan kalau harus membiarkan sang calon mantu mengendarai sepeda motornya sendirian. Sementara sepeda motor milik Ratna terpaksa di tinggal di rumah Prayoga..
"Paklik, Bulik! Sudah dulu ya, itu kasihan Mas Yudhanya nungguin dari tadi. Ratna pamit pulang dulu ya." Ratna mengambil punggung tangan Mainah, lalu beralih ke punggung tangan Prayoga.
"Ya sudah, hati-hati ya, nak. Sampaikan salam Bulik buat Bapak." sahut Mainah, melepaskan kepergian Ratna.
"Insya Allah Bulik. Ratna pulang sekarang ya, Bulik, Paklik. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." sahut Mainah dan Prayoga.
Ratna berjalan agak cepat menuju ke arah mobil. Ia segera membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.
Yudha yang kesal karena harus mengantarkan Ratna kembali, segera menginjak gas di kakinya dengan kecepatan yang cukup tinggi, meninggalkan kediamannya.
Di sepanjang perjalanan, Yudha memilih diam. Yudha kesal karena Ratna tidak mengindahkan peringatannya tempo hari.
Ratna sadar jika Yudha sedang tidak enak hati. Diapun memilih diam supaya masalah tidak melebar kemana-mana.
***
Malam ini Vira masih berada di rumah sakit. Seperti biasa, Vira akan melewatkan malamnya hingga pukul dua belas dini hati nanti.
Mengetahui kekasihnya masih lembur, Yudha berinisiatif untuk menemaninya. Setelah selesai mengantarkan Ratna, Yudha memutuskan untuk pergi ke rumah sakit tanpa sepengetahuan Vira.
Setelah selesai melakukan kunjungan pada setiap pasian. Vira kembali menuju ke ruangan prakteknya.
Tak lama kemudian, pintunya terketuk.
Tok tok tok.
Vira pikir ada salah satu pasien dalam bangsal yang membutuhkan bantuannya.
"Ya masuk!" serunya.
Kemudian pintu terbuka perlahan. Vira memperhatikan dengan jelas pintu kondisi pintu yang perlahan terbuka.
"Malam Bu dokter!" ucap seseorang di tengah pintu.
Sontak wajah Vira yang tadinya murung karena bosan, mencair seketika ketika melihat siapa orang yang datang tersebut.
"Mas Yudha!" serunya dengan malu-malu.
"He he he." sahut Yudha dengan tawa.
Yudha melanjutkan langkahnya mendekati Vira yang tengah duduk di meja yang biasa ia gunakan untuk menerima pasiennya.
Yudha duduk di kursi pasien di hadapan Vira.
"Bu dokter lagi suntuk ya? Ini, aku bawain camilan, biar makin semangat nunggu jam pulangnya." tutur Yudha seraya meletakkan sebuah kantong plastik yang berisi bungkusan sesuatu.
"Apa ini, Mas?" tanya Vira penasaran.
Yudha mengeluarkan kotak dalam bungkusan plastik tersebut. "Kue balok! Ini enak banget lho. Kamu udah pernah cobain belum?"
Vira menggeleng.
Yudha mengurai senyum. "Oh iya aku lupa. Makanan orang kaya mah bukan yang macam kaya gini ya, tapi kaya pizza, terus burger, makanan-makanan aneh yang nggak cocok di lidah orang kampung macam aku ini, he he."
Yudha membuka tutup kotak di atasnya.
"Ya nggak gitu juga kali, Mas. Gini-gini aku juga masih doyan sama sambel terasi lho. Jangan salah!" sanggah Vira dengan wajahnya yang nggak terima.
"Masak sih?"
"Ih, nggak percaya! Ayok besok kita makan di tempat pecel lele. Terserah mau dimana, yang penting ada menu sambel terasinya!" ungkap Vira.
"He he he. Beneran ya?'
"Siapp!" timpal Vira. Matanya ia fokuskan pada ke balok berwarna coklat dan hijau tersebut.
"Waaah, dari baunya sih ini asli, enak Mas." ucap Vira, lalu mengambil satu biji kue balok tersebut dan langsung melahapnya.
"Emmm, enak banget ini, Mas. Coklatnya lumer, kerasa banget!" ucapnya dengan keadaan mulut yang penuh.
"He he he. Aku nggak bohong kan? Emang enak kue yang satu ini. Kalau kamu suka, habisin! Biar kenyang terus kerjanya jadi senang." ucap Yudha.
Vira terus menikmati kue balok yang baru pertama kali ia coba tersebut. Habis di mulutnya langsung ia sambung memasukkannya lagi.
Yudha yang melihat Vira begitu menikmati buah tangannya tersebut merasa senang dan ikut kenyang dengan melihat cara Vira menikmati makanan tersebut.
***
Keesokan harinya.
Rafly sudah bersiap hendak pergi ke rumah Sita. Ia terlihat duduk di lobi hotel menunggu Agas yang masih ada di jalan, on the way menuju hotel untuk menjemputnya.
Tak henti-hentinya Rafly terus berdoa, semoga apa yang dia lakukan ini memang jalan terbaik dan benar.
Setibanya Agas di hotel, mereka berdua segera menuju ke kediaman Sita. Rafly ingin segera mengakhiri semuanya. Tak perlu memakan waktu yang lama dari hotel ia berada. Cukup dengan waktu tiga puluh menit, Rafly dan Agas sudah sampai tidak jauh dari kediaman Sita. Agas memilih memarkirkan mobilnya agak jauh dari rumah Sita. Namun masih bisa memantaunya.
Butik Sita masih sepi. Belum ada aktifitas apapun di sana. Agas dan Rafly masih diam di dalam mobil, melihat situasi sekelilingnya.
Tiba-tiba pintu garasi terbuka. Terlihat ada seseorang yang tengah mengeluarkan sepeda motornya dari dalam sana. Dan itu adalah Keinara. Terlihat juga ada Sita yang keluar untuk melepas kepergian Keinara.
Ingin rasanya Rafly menghambur keluar sana. Untung saja Agas masih bisa menahannya. Rafly pun mengurungkan niatnya.
Setelah Keinara pergi, Rafly memutuskan untuk langsung turun dari mobil. Dengan membawa amplop besar di tangannya, ia berjalan beberapa puluh meter menuju ke kediaman Sita. Sementara Agas memilih untuk diam di mobil saja.
Sita baru saja membalikkan badan untuk kembali masuk ke dalam. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti karena mendengar suara yang tidak asing di telinganya.
"Sita!" ucap Rafly dengan nada setengah ragu.
Sita langsung membalikkan badannya kembali. Sangat jelas terlihat Rafly sudah berdiri tegak disana.
Sita menggelengkan kepalanya, wajahnya berubah merah nanar mendapati laki-laki pengecut yang kini kembali mengusik hidupnya.
"Anda ini ternyata ngeyel juga ya. Seminggu ini hidup saya sudah kembali normal dengan tidak adanya anda. Tapi hari ini, hidup saya kembali suram melihat anda Anda disini. Apa sebenarnya mau anda?" ucap Sita setengah berteriak. Terlihat sekali nafas yang memburu di d**a Sita.
"Ta aku mohon! Ini yang terakhir kalinya aku meminta. Katakan sebenarnya, siapa Keinara? Aku ingin menebus kesalahanku, Ta. Iya aku tahu semuanya nggak akan mengembalikan waktu yang sudah lewat. Tapi tolong, beri aku kesempatan untuk menebus ini semua. Biar hidupku tenang, Ta. Aku mohon!" tutur Rafly dengan iba. Kali ini dia berharap hati Sita akan terketuk.
Sita terlihat membuang nafasnya melalui mulut. "Sikap saya masih sama seperti kemarin! Tidak akan berubah sedikitpun. Dan apapun yang adan lakukan juga tidak akan mengubah kenyataan, bahwa Keinara itu bukan anak anda, Pak Rafly! Keinara anak saya dengan laki-laki lain." ungkap Sita.
Pendirian Sita masih sangat kuat untuk tidak memberi tahu Rafly mengenai identitas Keinara yang sesungguhnya.
Rafly terlihat mengangkat amplop berwarna cokelat di tangannya. Mata Sitapun beralih pada amplop tersebut.
"Aku sudah mencari bukti-bukti atas Keinara. Tentunya dari sumber yang terpercaya. Sembilan puluh tahun yang laku, kamu meninggalkan bangku kuliah kamu dan pergi dari keluarga kamu. Karena apa? Karena kamu tidak ingin membuat malu keluarga kamu dengan kehamilanmu itu. Dan dari catatan ini juga membuktikan bahwa, kamu tidak pernah menikah selama ini, Ta. Itu sudah cukup membuktikan jika Keinara itu adalah anakku, bukan anak laki-laki lain!" ungkap Rafly dengan tegas.
Sita semakin ternganga. Ternyata selama ini Rafly masih bergerilya untuk bisa mendapatkan bukti-bukti akurat mengenai identitas Keinara.
Namun Sita tidak mau terpancing emosi. Dia tetap berusaha tenang untuk menutupi kegamangannya.
Sita tiba-tiba tepuk tangan, diiringi tawa sinis meremehkan.
"Bapak Rafly yang terhormat! Saya tidak tahu ya dari mna anda mendapatkan informasi kalau selama ini saya tidak menikah. Dari mulut ke mulut kah? Atau dari mana saya juga tidak berniat ingin tahu. Dan kalau pun anda mendapatkan data-data saya sampai seakurat itu, artinya sudah ada penyelewengan data disini. Membuka data pribadi orang lain itu melanggar hukum. Saya bisa pidanakan ini semua. Jadi tolong sebelum saya usir anda dari sini, lebih baik anda tahu diri sendiri ya, silakan pergi dari tempat ini. Saya tidak mau keberadaan anda nantinya membuat para pengunjung butik saya menjadi terganggu atau tidak nyaman. Mengerti?" Sita secara terang-terangan mengusir Rafly.
Rafly membuang nafasnya kasar.
"Baik lah, Ta! Kalau kamu bersi keras untuk tidak mau mengakui yang sebenarnya, aku terima! Tapi, aku juga akan bertindak sesuai dengan caraku sendiri. Jadi, kamu jangan salahkan aku!" ujar Rafly dengan lantang.
Rafly nampaknya juga merasa jika kesabarannya sudah habis.
Sementara Sita terlihat menggelengkan kepalanya perlahan. Tentu saja dengan tatapan yang sulit untuk dilukiskan.
"Maksud anda apa? Siapa anda berhak mengatakan demikian di hadapan saya, seolah anda ini berhak atas kehidupan kami? Ingat Bapak Rafky! Anda bukan siapa-siapa!" ucap Sita dengan emosinya yang kian memuncak. Pandangan sorot matanya benar-benar menunjukkan sebuah kebencian.
Rafly menunduk sebentar, beberapa detik saja. Kemudian ia tegakkan lagi pandangannya.
"Aku akan melakukan tes DNA. Ini adalah satu-satunya cara supaya semuanya jelas, Ta!" terang Rafly dengan segenap kekuatannya.
Tentu saja pernyataan Rafly berhasil memukul mental Sita. Sita bahkan tidak pernah berfikiran jika Rafly akan bertindak sejauh ini.
"Apa saya tidak salah dengar? Apa anda sadar, dengan apa yang anda katakan barusan? Anda benar-benar sudah tidak waras!" ucap Sita mulai gamang.
"Ya. Aku mengatakan semua ini dengan penuh kesadaran. Aku sadar seratus persen! Karena sepertinya kamu sendiri sudah tidak bisa di ajak untuk bekerja sama. Jadi, aku akan bertindak dengan caraku sendiri." terang Rafly menabuh genderang perang.
Mata keduanya saking menatap, seperti beradu kekuatan. Sita dengan kekhawatirannya dan Rafly dengan tekat kuatnya.
Rafly meninggalkan kediaman Sita tanpa pamit sepatah katapun. Dia pergi begitu saja. Sementara Sita semakin terpojok dengan apa yang akan di lakukan oleh Rafly.
"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Rafly benar-benar nekat! Ya Allah bantu aku!" batin Sita yang kian berkecamuk.