Lima Delapan

1688 Words
"Heh lo anak baru! Mendingan lo jauh-jauh deh dari circle pertemanan gue! Gue nggak suka!" gertak Zaky pada Riyan. Dengan memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana, kemudian ia busungkan dadanya. Keduanya bertemu di lorong jalan menuju ke toilet. Tadi sewaktu Riyan keluar dari kelas, Zaky sengaja mengikutinya sekedar memperingatkan Riyan untuk ke dua kalinya. Kini kedua mata itu saling menatap tajam satu sama lain. Riyan terlihat merubah raut wajahnya, menjadi setengah senyum. "Bro! Lo kenapa sih, dari awal kaya yang nggak suka gitu sama gue? Kita itu baru kenal dan sebelumnya juga nggak pernah ketemu. Apa salah gue sama lo?" tanya Riyan. Dia sendiri masih tidak habis pikir dengan sikap Zaky yang dirasanya aneh. Zaky melemparkan wajahnya ke kiri, membuka sudut bibirnya dengan sinis. "Lo nggak perlu tahu kenapa gue nggak suka sama lo. Tapi yang jelas, lo itu sok asyik, sok kenal sama teman-teman gue. Dan gue nggak suka itu." terang Zaky. Riyan memilih diam, namun tetap melawan tatapan sengit Zaky. "Jadi jelas ya, lo jangan sok asyik deket-deket teman-teman gue! Kita nggak butuh tambahan anggota. Cukup berlima, itu sudah lebih dari cukup. Mending kalau lo mau nyari teman geng, sama yang lain aja! Paham!" Lagi-lagi Zaky menggertak Riyan. Zaky membalikkan badan, berjalan meninggalkan Riyan begitu saja. "Orang aneh! Kenapa itu anak kelihatan banget nggak suka sama aku? Apa salahku sih?" Riyan membuang nafasnya melalui mulut. Kemudian berjalan kembali menuju kelasnya. *** Seraya menunggu Sucy yang sedang keluar membelikan bubur ayam, Sita terus berusaha berfikir. Ia tidak mau jika sampai Rafly benar-benar bertindak dengan apa yang ia katakan tadi. "Aku harus cari cara supaya Rafly nggak bisa melakukan tes DNA terhadap Keinara. Ya, aku nggak bisa biarin ini terjadi. Tapi gimana caranya?" Sita terus berfikir keras. Kedua telapak tangannya ia tutupkan ke wajahnya beberapa detik, lalu ia buka kembali. Sita mengambil ponselnya, segera dia menuju ke aplikasi pencarian, lalu mengetikkan sebuah kalimat tentang persyaratan melakukan tes DNA. Setelah ia baca dengan teliti, terlihat ada gurat senyum di bibir Sita. Dari senyuman itu terlihat, ada setitik harapan cerah di wajahnya. Dari sumber artikel yang di bacanya, semua orang bisa melakukan tes DNA guna mengetahui asal-usul yang bersangkutan. Tapi tentu saja ada beberapa poin yang menjadi persyaratan mutlaknya. Salah satunya adalah harus ada izin dari kedua belah orang tua. Harus ditunjukan melalui sebuah tanda tangan di atas kertas bermaterai, bahwa mereka mengizinkan. Jika tidak memenuhi syarat yang disebutkan, maka tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai melanggar hukum. "Aku bisa mengancam Rafly dengan dalih ini. Karena aku dan Rafly memang terikat sebuah pernikahan yang sah. Jadi, dia tidak bisa melakukan apapun semaunya sendiri. Sucy terlihat sudah melewati pintu, kemudian menyerahkan sebungkus bubur ayam pada Sita. "Walah-walah, Bu. Tadi pas ditinggal kelihatan pucat, sekarang kok kaya sudah berseri-seri begitu?" tanya Sucy yang diam-diam memperhatikan tingkah atasannya tersebut. Sucy berjalan ke depan untuk membuka pintu rolling door yang masih menutup. Sudah jam sembilan lebih baru dibuka. Semuanya karena drama di pagi hari yang di ciptakan oleh Rafly. Sitapun mendadak diam, dia jadi salah tingkah sendiri. Bingung ingin menjelaskan apa pada Sucy yang memang terlihat ingin tahu. "Halah, ini lho, Cy. Aku habis baca berita, soal seorang wanita yang melaporkan dugaan korupsi ke polisi, tapi ujungnya malah si pelapor yang dijadikan tersangka, dengan dalih pencemaran nama baik. Aneh nggak sih?" ungkap Sita dengan suara sedikit keras. supaya terdengar oleh Sucy yang masih ada di luar sana. "Hemmm, apanya yang aneh sih, Bu? Lha memang di negeri konoha ini kan begitu. Bukan di lihat dari siapa yang salah, tapi di lihat dari mana yang tebal dompetnya. Ha ha ha." seloroh Suci, berjalan masuk kembali dan menuju ke sebuah manekin untuk mengganti model dress yang baru. "Maksudnya, Cy?" Sita justru bertanya-tanya dengan maksud ucapan Sucy. Sambil membuka bungkusan bubur ayam yang sudah setengah panas alias hangat saja. "Kalau kita punya uang nih ya, Bu. Aman kita! Kenapa? Ya karena kita bisa nyelipin uang ke para oknum penegak hukum yang nakal. Dengan begitu saat kita ini memang salah, bisa jadi malah berbalik benar. Jadi ya, sebagai orang awam, saya sih mending memilih untuk tidak berurusan sama mereka." cerocos Sucy yang hampir tak terjeda. Sambil terus menikmati bubur ayamnya, Sita kembali tergelitik dengan apa yang diungkapkan oleh Sucy. Dia baru sadar jika Rafly adalah orang yang cukup punya uang dan kekuatan. Itu artinya, usahanya akan mengancam untuk mencegah Rafly agar tidak melakukan tes DNA tidak akan mempan. "Benar juga apa yang di bilang sama Sucy. Terlebih aku ini siapa? Uang pas-pasan sok-sokan mau memenjarakan orang uang berduit! Pyuuh! Buang-buang tenaga saja!" batinnya menggelitik, menertawakan kebodohannya sendiri. "Bu, jangan melamun teruus! Itu dihabisin ya, bubur ayamnya! Biar punya tenaga banyak, kuat sampai nanti siang. Dan, biar nggak pingsan lagi, he he." goda Sucy. "Emmm, makasih ya, Cy. Kamu perhatian banget sama aku." timpal Sita, kemudian meneruskan makannya. "Rafly itu orang yang beruang. Kalaupun aku membawa kasus ini ke pihak berwajib, pasti juga kasus ini akan menguap begitu saja. Tidak akan di tanggapi dengan serius. Di kasih gepokan uang merah sama Rafly juga udah pada diam mereka. Haduhh, harus gimana dong?" Sita terus berusaha mencari cara. *** Vira tengah menikmati sarapan dengan kedua orang tuanya. Pagi ini dia ada jadwal masuk pagi. Padahal tadi malam sudah larut malam ia sampai di rumah. Ningsih, Mama Vira yang usianya sudah menginjak hampir enam puluh tahun. Selalu berdandan khas ala pakaian apa orang Jawa. Karena beliau memang asli keturunan Jawa. Dengan bawahan kain jarit dan atasan kain kebaya, di tambah sanggul rambut yang tidak terlalu tinggi. Menatap anak semata wayangnya itu dengan tatapan penasaran. "Ehemmm! Semalam kamu pulang di antar sama siapa, Vir?" tanyanya langsung. Vira yang tengah melahap daging ayam ungkep dan baru saja masuk ke dalam mulutnya, tiba-tiba melebarkan matanya. "Dari mana Mama tahu aku semalam pulangnya kan di antar sama Mas Yudha. Haduh, cerita nggak ya? Atau aku diam aja dulu. Tapi, bukannya ini justru bagus momennya. Aku bisa sedikit memperkenalkan Mas Yudha pada keluargaku." batin Vira yang kebingungan. "Vira! Ditanya kok malam melamun sih! Mama tanya, semalam kamu pulangnya di antar sama siapa? Dari atas sini Mama lihat ada mobil sedan jelek, yang sudah nggak musim lagi ngikutin kamu di belakang. Terus saat kamu masuk melewati pagar terdengar kalian saling membalas klakson. Siapa dia?" tanya Ningsih, lagi. "Emmm, semalam itu emmm, teman aku, Ma. Namanya Mas Yudha. Iya kebetulan ketemu di jalan terus aku minta dia anterin aku. Soalnya semalam itu jalanan sepi, sunyi banget, Ma. Jadi ya terpaksa deh." elak Vira. Ya, rupanya Vira masih belum mempunyai nyali untuk mengatakan siapa Yudha. "Owh, teman? Kerja apa dia?" Gantian sang Ayah yang bertanya. "Mas Yudha seorang PNS, Pa. Tugasnya di kantor walikota." "PNS kaya gitu paling-paling bayarannya nggak seberapa, Vir. Mentok juga lima jutaan. Nggak cukup buat biaya bulanan! Mama aja yang ngatur keuangan di rumah ini, hampir dua puluh juta uang yang harus Mama keluarkan setiap bulannya. Apalagi ini yang pendapatannya cuma lima juta. Heesss, mau sampai mana uang segitu untuk hidup!" celoteh Ningsih. Vira mulai menata hatinya, dari pembicaraan yang Mamanya sampaikan, Vira bisa menangkap jika, Mamanya tidak akan memperbolehkan dia menikah dengan laki-laki yang berpenghasilan pas-pasan. Keluarga Vira memang terkenal keluarga yang sangat berada. Untuk menerima calon mantu yang akan meminang anak gadisnya tentu saja harus laki-laki yang jelas soal utusan bibit, bebet, dan bobotnya. Tidak bisa sembarangan. Merasakan situasi yang sudah tidak nyaman di meja makan, Vira memutuskan untuk beranjak. Tentu saja dengan alasan ada pasien yang memerlukan tindakan cepat darinya. Dengan begitu, sang Mama atau Papanya tidak akan menahannya begitu lama. *** Drrtt drrttt drrttt Ponsel Zaky terasa bergetar. Saat ini ia tengah mengikuti pembelajaran di kelas. Namun dengan segala cara akhirnya dia bisa membuka ponselnya yang ternyata berasal dari Sita. "Bunda? Ngapain kirim pesan ke aku?" gelitik Zaky dalam benaknya. Zaky segera membuka pesan yang masuk ke aplikasi hijaunya tersebut. [Ky, Bunda bisa minta tolong nggak? Bunda bisa minta nomer ponsel Mama sama Papa kamu nggak? Bunda cuma mau menyampaikan secara langsung, ucapan terima kasih Bunda karena sudah di berikan oleh-oleh jam tangan yang mahal ini.] isi pesan Sita. Zaky terlihat mengurai senyumnya. "Bunda, sepertinya aku masih bisa deketin Bunda lagi. Meluluhkan hatinya, supaya mau kembali merestui hubunganku dan Keinara." batinnya girang. Tentu saja, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Zaky. Ia segera mengirim kontak milik Mama dan Papanya. *** Ting! Nada pesan masuk ke dalam ponsel milik Sita. Itu adalah balasan dari Zaky. Sita tersenyum lebar, nomer kedua pasang suami istri itu sudah ia dapat, sekarang saatnya melancarkan rencananya. Rafly yang sudah tiba di hotelnya, segera merebahkan diri ke tas kasur. Dari raut wajahnya ia terlihat sangat lelah dan tertekan. "Udah jangan dipikirin terlalu berat! Dibawa santai aja, bro! Nanti juga Tuhan pasti kasih jalan terbaiknya." seloroh Agas yang memilih duduk di kursi tamu, kemudian membuka sebuah kotak kue pia yang ia beli sewaktu perjalanan ke hotel tadi. "Aku hanya takut salah langkah, Gas. Aku tidak ingin menyakiti siapapun lagi kali ini." timpalnya dengan menerawang pandangannya ke atas langit-langit. "Kenapa sekarang malah kamu yang jadi ragu sih, Raf? Bukannya dulu kamu juga yang menggebu-gebu pengen melakukan tes DNA ini?" "Iya sih, Gas. Tapi aku takut aja bakal membuat kegaduhan. Aku yakin Mas Yudha pasti juga nggak akan tinggal diam kalau tahu soal rencana ini." tutur Rafly. "Nggak usah terlalu memikirkan orang lain. Kalau aku ada di posisimu, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama, Raf! Aku akan cari kejelasannya. Seandainya Sita tadinya mau di ajak kerja sama, mungkin keadaannya tidak akan sejauh ini kan? Sita terlalu keras kepala mempertahankan egonya!" tutur Agas yang menjadi kompor meleduk untuk Rafly. Rafly hanya diam, ia kembali melamun. Kring kring kring Kini terdengar ponsel milik Rafly yang berdering. Raflypun bangkit dan merogoh benda pipih tersebut yang masih ada di saku celananya. Ia lihat dengan jelas, panggilan dengan nomer baru di layar ponselnya. "Nomer siapa ini?" lirihnya. Rafly segera menggeser tombol yang berwarna hijau. "Halo, dengan siapa ya?" sapanya lembut. "Ini aku!" Degh. d**a Rafly terasa seperti berhenti berdetak. Suara itu, tentu saja mengagetkannya. "Sita?" balas Rafly, lalu menengok ke arah Agas. Agas pun terlihat menunjukkan wajah tidak percayanya. Ia hanya memberikan kode anggukan pada Rafly, supaya Rafly bisa lebih tenang dan tidak terbawa emosi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD