Balikpapan
Pagi yang cerah, terlihat Rafly tengah bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Sementara Sukma juga sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk sang suami.
Meskipun ada banyak asisten rumah tangga di rumahnya, namun Sukma lebih sering menyiapkan keperluan suami dengan tangannya sendiri. Ya, memang ada kepuasan tersendiri ketika apa yang ia lakukan untuk sang suami mendapat sambutan yang bagus dari sang suami.
Rafly berjalan menuju ke meja makan, meletakkan tas kerjanya di atas bangku kosong di sisi kirinya, lalu ia duduk.
"Pagi, Mas." sapa Sukma yang tengah mengaduk teh hangat. Kemudian ia bawa ke dekat sang suami.
"Pagi sayang. Makasih ya." ucapnya, lalu meraih secangkir teh hangat untuk ia teguk.
Sukma menyusul duduk di sebelah kanan Rafly. Kemudian mengambil mangkok untuk mengambilkan sop ayam yang sudah ia siapkan untuk sarapan sang suami.
"Hemmm, sop ayam! Dari baunya sih pasti enak nih." tutur Rafly, yang selalu memuji hasil masakan Sukma yang tidak pernah gagal soal rasa.
"Ini sop ayam kampung, Mas. Jadi pasti rasanya lebih nikmat." sahut Sukma, perlahan meletakkan mangkok tersebut ke hadapan Rafly, kemudian menyusulkan garpu juga sendok ke dalam mangkok.
"Masakan apapun, kalau udah di tangan kamu mah pasti enaknya, sayang. He he." timpal Rafly, terus memuji sang istri.
Sukma hanya menanggapinya dengan senyuman. Sepanjang pagi ia di puji, bisa-bisa perutnya kenyang karena pujian yang dilontarkan Rafly.
Ting.
Terdengar bunyi notifikasi pesan berasal dari ponsel milik Rafly. Sontak netra Sukma segera gerak cepat ke arah tangan kiri Rafly yang merogoh ke dalam saku celananya, mengambil ponselnya yang bersarang disana.
Perlahan Sukma sedikit merapatkan bahunya ke dekat sandaran kursi yang sengaja ia tarik Melebihi kursi yang di duduki oleh Rafly, sehingga dengan seperti itu, dia bisa leluasa melihat Rafly yang fokus memegang ponselnya. Sukma memang sudah merencanakannya sedari tengah malam tadi.
Rafly memindahkan ponselnya ke tangan kiri, lalu dengan cepat membuka layar ponselnya terlebih dahulu dengan sandi pola.
"Yesss! Aku tahu sandinya." batin Sukma bersorak gembira. Akhirnya, penantiannya datang juga. Sukma bisa melihat dengan jelas sandi pola yang Rafly gunakan untuk mengunci ponselnya.
"OK, Mas. Nanti aku akan bergerilya memeriksa ponselmu saat kamu pulang kerja dan ketika kamu berada di dalam kamar mandi." batin Sukma dengan tekat dan keyakinan yang kuat.
Selesai membalas pesan di ponselnya, Rafly kembali menikmati sop ayam kampung yang masih penuh di dalam mangkoknya tersebut.
Selesai menikmati sarapan, Rafly segera bergegas berangkat ke kantor. Tidak ketinggalan, Sukma mengantarkannya hingga Rafly masuk ke dalam mobil.
"Hati-hati ya, Mas. Semoga pekerjaannya hari ini lancar." Doa Sukma sebelum Rafly menginjakkan gas meninggalkan pelataran rumahnya.
"Iya sayang. Makasih doanya ya. Jangan lupa tolong siapin perlengkapanku buat nanti sore ya. Soalnya jam lima sore aku sudah harus langsung pergi lagi ke bandara." Pesannya pada sang istri.
"Siap Pak obos, he he." timpal Sukma lantang.
Raflypun memacu mobilnya meninggalkan rumah. Sementara Sukma sudah bisa bernafas lega. Sandi ponsel Rafly sudah di tangannya, tinggal menunggu eksekusi.
Dengan senyum kemenangan, Sukma kembali berjalan masuk ke dalam rumah, bersiap untuk membereskan keperluan yang akan Rafly bawa ke Malang nanti sore.
***
"Pokoknya aku nggak akan pernah terima sama keputusan sepihak kamu ini, Kei. Sampai kalanpun!" lirih Zaky yang duduk di bangku belakang Keinara.
Zaky dan Keinara sudah tiba di ruangan kelas untuk mengikuti kelas pagi. Sementara ketiga temannya kebetulan belum ada yang menunjukkan batang hidungnya.
Keinara terlihat menarik nafas panjang, terlihat dari bahunya yang naik lalu turun kembali.
Keinara memutar kepalanya delapan puluh derajat, memberanikan menatap Zaky.
"Ky, udah sih. Mau kamu seperti apa juga udah nggak ada efeknya buat aku. Semuanya udah final dan aku nggak akan narik ucapanku kembali. Kita masih bisa berteman dengan baik, nggak perlu bermusuhan atau hal lain yang nggak ada manfaatnya. OK!" tutur Keinara dengan tatapannya yang tenang.
Keinara masih tetap bersikukuh dengan keputusannya yang ingin mengakhiri hubungan mereka. Walaupun sebenarnya hatinya juga sakit melakukan ini semua.
"Bisa kamu ya, Kei! Secepat ini kamu lupain semuanya yang udah terjadi antara kita? Ini terlalu cepat, Kei!" timpal Zaky yang masih berusaha untuk mematahkan keputusan Keinara.
Terlihat sekali, tatapan mata Zaky yang mengisyaratkan sebuah kekecewaan yang mendalam terhadap Keinara.
Keinara kembali menghadap ke depan, dia berusaha untuk tidak memperdulikan ocehan Zaky.
Satu persatu mahasiswa mulai memenuhi kelas. Tidak ketinggalan, Sandrina, Michel, dan Rony yang juga datang berurutan.
Keinara dan Zaky berusaha bersikap seperti biasa.
"Pagi gaes! Huh, akhirnya bisa masuk sebelum dosennya datang. Kalau sampai telat sedetik aja, bisa kuliah di luar ruangan nanti. Hufff!" celoteh Rony. Dia memilih duduk bersebelahan dengan Zaky.
"Makanya jangan begadang melulu, biar nggak telat bangun!" seru Zaky.
Sandrina dan Michel memilih duduk di deretan bangku yang Keinara duduki. Michel di sebelah kanan Keinara, sedangkan Sandrina berada di sebelah kiri.
"Ini tumben banget si bintang kelas juga telat datang? Kemana aja bu?" tanya Michel pada Sandrina.
"Iya nih. Semalam begadang juga?" sahut Keinara, ikut penasaran.
"He he he. Bukan begadang sih, tapi tadi ada insiden sedikit. Mama tiba-tiba kepleset di kamar mandi, ya kan ikutan panik juga akunya. Jadi telat deh." terang Sandrina.
"Hah, terus gimana keadaan Mama kamu, San?" tanya Keinara, sedikit panik.
"Untungnya Mama sih nggak apa-apa. Cuma terkilir dikit. Udah di panggilin tukang urut juga."
"Huh, syukurlah!"
Seorang laki-laki berambut putih berjalan memasuki kelas. Dia adalah Pak Cipto, dosen mata kuliah manajemen, yang siap memberikan materi kuliah terbaiknya pagi ini.
Semua mahasiswa mendadak diam, fokus pada Pak Cipto yang sudah duduk di meja tempat ia mengajar. Perkuliahan akan segera dimulai.
***
Sita tengah duduk berhadapan dengan seorang wanita muda yang berpenampilan rapi. Menggunakan kemeja warna putih dan rok warna hitam. Dia adalah salah satu pelamar yang sedang melakukan sesi wawancara dengan Sita, sang pemilik butik.
Dari lima orang yang melamar, Sita sepertinya lebih tertarik dengan pelamar yang terakhir ini. Dari gesture yang Sita tangkap selama wawancara, sang pelamar ini sepertinya orang yang sabar, teliti, dan bisa bekerja keras di bawah tekanan. Sitapun memilih menjatuhkan pilihannya pada wanita tersebut.
"Baik, Mbak Sucy, mulai hari ini juga, Mbak Sucy sudah bisa bekerja disini ya." ucap Sita menyampaikan kabar baiknya.
"Jadi, saya diterima, Bu?" tanya Sucy memastikan.
"Betul, Mbak. Mbak Sucy diterima bekerja disini."
"Alhamdulillah.Terima kasih banyak ya, Bu. Saya senang sekali." ujar Sucy dengan mata yang berkaca-kaca.
"Sama-sama Mbak Sucy. Semoga betah ya, kerja disini." timpal Sita.
"Aaminn, Bu." sahut Sucy.
Akhirnya, mulai hari ini, Sita akan di bantu oleh Sucy menjalankan butiknya. Setidaknya dengan menambahkan satu karyawan bisa mengurangi rasa lelahnya. Kelak jika butiknya semakin ramai, Sita berencana akan menambah satu karyawan lagi.
Sita mulai mengajak Sucy untuk berkeliling butik. Anggap saja Sita sedang memberikan pelatihan pada Sucy. Dikarenakan Sucy pernah mempunyai pengalaman dalam bidang pramuniaga, nampaknya tidak terlalu sulit bagi Sita untuk mengarahkan apa yang harus Sucy lakukan untuk menyambut pengunjung butik yang tiba.
***
Di kampus, Keinara terus berusaha bersikap biasa saja. Seolah tidak ada masalah apapun yang terjadi antara dia dan Zaky.
Keinara masih bisa bercanda, tertawa lepas diantara sahabat-sahabatnya. Keinara benar-benar tidak ingin hubungannya memburuk karena keputusan sepihaknya.
"Aduh gaes, aku ke toilet sebentar ya. Perutku mules lagi. Adduhhh!" rintih Keinara dengan wajahnya yang sudah memerah, sambil memegangi perut karena menahan rasa sakit yang begitu melilit. Keinara langsung berlari menuju ke arah toilet.
"Dasar si ngeyel. Emang kebangetan itu anak kalau makan cabe mah!" gerutu Sandrina.
"Iya tuh! Stres kali, masak makan mi rebus minta di kasih cabenya sepuluh. Panas dan tuh perut. Kapok lah!" imbuh Rony yang juga terlihat kesal.
Kelimanya sedang berada di kantin. Menikmati jeda waktu satu jam sebelum perkuliahan selanjutnya.
Sekitar lima belas menit berada di dalam kamar mandi. Akhirnya Keinara keluar juga. Terlihat wajahnya yang sudah bisa tertawa karena sudah selesai membuang hajatnya. Perutnya terasa lega, tidak merasakan sakit lagi.
"Alhamdulillah! Udah nggak sakit lagi ini perut." ucapnya seraya mengelus perutnya.
Keinara berjalan hendak menuju ke kantin lagi, menyusul teman-temannya yamg masih ada disana.
Namun di tengah jalan, Keinara berpapasan dengan mahasiswa laki-laki yang sepertinya terlihat bingung mencari sesuatu.
"Mbak! Mbak! Mbak!" tegur si mahasiswa tersebut, menghentikan laju kaki Keinara.
Keinara terpaksa berhenti. "Iya, ada apa ya?" sahutnya.
"Emm, ini saya lagi nyari ruangan 1.2.5. Itu dimana ya? Saya bingung, soalnya masih bru disini. Tepatnya baru hari ini masuk kampus ini." terangnya, masih dengan wajah bingung.
Keinara diam sejenak, "Ruang 1.2.5 kan ruang kuliahku selanjutnya." batin Keinara.
"Emm, Masnya mau kuliah juga?"
"Ya iya lah Mbak! Masak mau ngebengkel, he he." timpal si mahasiswa baru.
Keinara menunjukkan telunjuknya ke depan. "Ini dari sini Masnya jalan lurus aja. Itu mentok di depan lalu belok ke kanan. Lurus terus belok kiri. Nah ruangan nomer dua dari situ. Nanti lihat aja nomer yang ada di atas pintu, pasti ketemu." terang Keinara sudah sangat jelas.
"Owh iya Mbak. Wah, makasih banget ya Mbak. Kalau gitu saya lanjut jalan ke sana ya. Permisi Mbak."
"Iya sama-sama, Mas. Silakan." timpal Keinara.
Belum ada lima langkah berjalan, mahasiswa baru tersebut berhenti melangkah, lalu menengok ke belakang, dimana Keinara masih mematung disana.
"Saya Riyan, Mbak. Siapa tahu nanti di jalan kita ketemu lagi. Mbak bisa manggil nama saya, he he." tutur Riyan dengan senyum manisnya.
Keinara tersentak. "Owh, iya, Riyan. Aku Keinara."
"Iya, Kei." Riyan kembali membalikkan kepalanya dan melanjutkan langkahnya.
Riyan telah pergi dan semakin menjauh. Keinara juga kembali melanjutkan langkahnya menuju ke kantin.
"Riyan" lirih Keinara seraya terus berjalan.
"Busyet dah, kamu ke toilet itu ngapain aja sih Kei? Sambil tidur ya?" seloroh Rony, menyambut kedatangan Keinara.
"Iya nih. Ke toilet sampai setengah jam!" timpal Michel yang tengah menghabiskan nasi goreng yang tinggal beberapa suap lagi.
Sementara Zaky memilih diam, seperti enggan tak ingin memperhatikan apapun yang dilakukan oleh Keinara. Hatinya masih kesal.
"Pada nyerocos aja sih. Eh pada dengerin yak! Tadi aku itu udah keluar dari toilet, tapi pas di tengah jalan ketemu sama Mas-mas yang nanyain ruang kuliah. Berhentilah aku untuk menjelaskan ruangan yang dicari itu. Jadi ya agak sedikit lama. Begetooooo!" terang Keinara. Ia kembali menyeruput es teh di gelasnya yang sudah tidak dingin lagi.
"Mas-mas, Kei? Ganteng nggak? Tapi kok dia nanya ruang kuliah? Emangnya belum hafal sama ruangan kuliah yang ada di kampus ini ya?" celetuk Michel.
"Ya ganteng sih ganteng. Tapi ya gitu lah, standar aja sih menurutku." timpal Keinara santai.
Sontak mata Zaky melirik ke arah Keinara. Ada rasa kesal tersirat pada wajahnya.
"Hemmm, soal laki-laki ganteng aja pada hijau matanya!" gerutu Zaky dalam hati.
"Kayanya sih dia anak baru deh, soalnya aku nggak pernah lihat dia ada di kelas. Dan tadi itu dia nanyain ruang kuliah 1.2.5. Itu kan ruang kuliah kita sebentar lagi." tutur Keinara.
"Nah, itu berarti kita sekelas dong sama dia!" serobot Michel dengan wajah penasarannya.
"Sepertinya sih begitu." timpal Keinara santai.
"Waaaaa, ada mahasiswa baru di kelas. Hemmmm, jadi nggak sabar mau lihat dia kaya apa. Hi hi hi." ucap Michel kegirangan.
"Namanya tadi, emmm, Riyan! Iya, Riyan!" imbuh Keinara.
"Otak lo aja pikirannya cowok melulu." potong Rony seraya mendorong kepala Michel.
"Hiihh, apaan sih Rony! Nggak bisa lihat teman lagi bahagia! Ngeselin!" Protes Michel.
Keinara, Zaky, dan Sandrina hanya bisa menggelengkan kepalanya, melihat Michel dan Rony yang setiap harinya tiada hari tanpa berdebat.
Setelah selesai menghabiskan makanan di kantin, kelima anak tersebut kembali bergegas menuju ruang kelas, karena lima belas menit lagi perkuliahan selanjutnya akan segera dimulai.
Setibanya di kelas, benar saja Riyan yang bertemu dengan Keinara di jalan tadi sudah duduk di dalam sana. Kebetulan saat Keinara dan kawan-kawannya memasuki kelas, Riyan menatap ke arah Keinara.
Kening Riyan terlihat mengerucut. "Lhah, itu kan, Keinara. Yang tadi aku tanyai. Jadi, ternyata kita sekelas ya." batin Riyan.
Keinara mengambil duduk di barisan nomer dua dari kursi paling depan. Diikuti Sandrina dan Michel. Sementara kaum laki-laki memilih di bangku barisan nomer tiga, di belakang para wanita.
Melihat ada satu bangku yang kosong di sebelah kiri Keinara, Riyan bangkit dan pindah ke sebelah Keinara.
"Hai, Kei. Aku boleh duduk disini?" tanya Zaky dengan sopan.
Keinara menoleh ke arah kirinya. "He he, boleh aja kok. Kan kursinya juga kosong." timpal Keinara.
Mata Michel dan Sandrina sontak melotot ke arah Keinara dan Riyan.
"Waaaa, ganteng juga ini anak. Ini kayanya mahasiswa baru yang di ceritakan Kei tadi deh. Waaaaaa!" batin Michel meronta-ronta.
Sementara Sandrina justru bergerak melihat Zaky yang ada di belakangnya, jelas sekali sorot mata Zaky menunjukkan ketidaksukaanya terhadap Riyan.
"Sok kenal banget sih nih orang! Ngeselin!" gerutu Zaky dalam hati.
Sontak mata Zaky langsung melebar, bola matanya terlihat ingin keluar. Ada sesuatu yang panas dalam hatinya. Ada rasa tidak terima, ketika melihat laki-laki lain yang berani duduk di sebelah Keinara.