Bapak

1611 Words
Delapan belas tahun kemudian. "Assalamualaikum, Bun, Kei pulang." Seru Keinata melewati pintu utama sebuah butik pakaian. Lalu bergelayut manja di belakang punggung sang bunda yang sedang menulis rincian keuangan toko fashion yang di kelolanya semenjak puluhan tahun yang lalu. Senja's Fashion, itulah nama toko yang Sita pilih, mengambil dari salah satu penggalan nama sang putri. Ruko berlantai dua yang berukuran sepuluh kali enam meter, adalah rumah sekaligus tempat mengais rezeki bagi Sita. Semenjak kedua orang tuanya mengetahui tentang kehamilannya kala itu, Sita memilih mengasingkan diri dari keluarganya. Ia tidak ingin menjadi bahan gunjingan yang berkepanjangan di kalangan tetangga dan keluarga besarnya. Semenjak itu juga, Sita memutuskan untuk tinggal terpisah dari keluarganya. Hal itu juga yang membuat hubungan Sita dan kedua orang tuanya makin memburuk. Namun tidak dengan sang kakak, Yudha. Mereka berdua tetap berkomunikasi. Yudha tetap perduli dengan adik satu-satunya itu. Bahkan saat Sita hamil sampai melahirkan, Yudha lah yang memenuhi kebutuhannya dari hasil kerja freelance di cafe. Setiap seminggu sekali, Yudha selalu mengunjungi kontrakan Sita, membawakan bekal makanan untuknya, menyelipkan beberapa lembar uang untuk sekedar biaya bertahan hidup sang adik. "Waalaikumsalam." Sahutnya sedikit memutar kepala. "Sana ganti baju terus makan! Setelah itu kita berkunjung ke tempat Kakek Nenek." Keinara melepaskan pelukannya, lalu duduk di kursi plastik kosong di sisi sang bunda. "Mau ke tempat Kakek Nenek, Bun?" Tanyanya memastikan. "Iya! Udah lama kan kita nggak nengokin Kakek sama Nenek. Bunda kangen sama mereka, nak." Jawab Sita masih dengan coret-coretannya di atas bukunya. Keinara melenguh, dari raut wajahnya nampak sekali kurang setuju dengan ide sang bunda. "Bunda saja lah, Kei hari ini banyak tugas." Ujarnya beralasan. "Memangnya, tugasnya dikumpulin kapan?" "Besok pagi, Bun. Jadi ya harus kejar tanya biar selesai." "Nggak biasanya kamu ngerjain tugas mepet-mepet gini. Semalas-malasnya kamu, kalau ada tugas juga maksimal sehari sebelum di kumpul pasti udah selesai." Sanggah sang bunda. Keinara memilih diam. Sita meletakkan pena di atas buku. Lalu menoleh ke arah sang putri. "Beneran kamu lagi ada tugas? Nggak bohong? Atau itu cuma alasan kamu aja supaya nggak ikut ke tempat Nenek?" Cecar Sita. Keinara terlihat mengusap hidungnya! Sita mendadak tersenyum. "Mengusap-usap hidung adalah salah satu tanda seseorang tengah berbohong dengan ucapan yang baru saja dibicarakannya." Tegas Sita, menatap mata sang putri. "Keinara sedang tidak berbohong kan?" Wajah Keinara mendadak memerah. Ia malu pada bundanya sendiri. Dia memang paling tidak bisa berbohong di depan sang bunda. "Hemmmm!" Sambil menggaruk kepalanya. "Sebenarnya Kei malas bun. Malas ketemu sama Kakek sih! Soalnya Kakek selalu saja bersikap dingin pada kita. Kei nggak mau lihat bunda nangis lagi di kamar, sesenggukan gara-gara sikap Kakek. Hati Kei sakit!" Tegas Keinara, seraya menatap sang Bunda dengan berkaca-kaca. "Setiap kita pulang dari tempat Kakek, pasti bunda selalu nangis kan? Kei tahu, Bun." Sita membelai pipi sang putri, lalu menyelipkan beberapa helaian rambut ke belakang daun telinganya. "Nak, bagaimanpun sikap mereka ke kita, terlebih ke bunda, bunda tidak pernah sakit hati menerima semua itu. Mereka hanya butuh waktu untuk bisa dengan ikhlas memaafkan kesalahan fatal yang pernah bunda lakukan dulu. Bundapun sama, kalau seandainya anak bunda melakukan kesalahan yang sangat fatal, pasti juga akan seperti Kakek atau Nenek. Mengikhlaskan itu tidak mudah!" Terang Sita, mencoba memberikan pengertiannya pada Keinara. "Tapi kenapa pakde Yudha berbeda. Pakde selalu perduli sama kita. Pakde selalu ada buat kita. Bahkan, Pakde sampai sekarang masih memilih untuk sendiri karena lebih ingin menjaga kita kan bun?" "Jangan menyamakan sifat seseorang itu sama satu sama lain. Bahkan antara orang tua dan anak kandungpun bisa mempunyai sifat yang sangat berbanding terbalik. Begitu juga dengan Kakek, Nenek, dan pakde. Mereka masing-masing mempunyai sifat yang berbeda." Jelas Sita. Keinara membuang nafasnya melalui mulut. "Baiklah, Kei ikut bunda ke tempat Kakek sama Nenek deh." Ucapnya masih nampak tidak bersemangat. Sita mengelus rambut sang putri. "Nah, gitu dong. Baru anak baiknya bunda. Jangan biarkan hati kita mengeras karena setitik kebencian nak. Karena setitik kebencian itu yang nantinya lama-kelamaan akan melebar dan sulit untuk kita hapuskan." Tuturnya lembut. "Iya bundaku sayang. Bundaku yang paling baik hati dan berhati berlian." Puji Keinara, lalu berdiri dan beranjak menuju ke kamarnya untuk bersiap-siap. Keinara senja! Gadis mungil itu kini telah tumbuh dewasa. Gadis mungil yang tak di inginkan oleh Ayahnya sendiri, namun dengan kegigihan dan tekat yang kuat, sang bunda berhasil merawatnya hingga ia tumbuh menjadi gadis cantik dewasa dan mempunyai banyak prestasi di sekolahnya. Entah dimana sang ayah berada saat ini, yang jelas, sejak di kirimnya surat perpisahan ketika di stasiun kala itu, kini kabarnya tak pernah lagi terdengar. Entah masih hidup atau malah sudah tak ada, Sitapun kini sudah benar-benar lupa dan tidak pernah berharap akan bertemu kembali dengannya. Rafly, tidak kah kau ingin tahu keadaan darah dagingmu sendiri? Lihatlah! Kini dia sudah tumbuh menjadi gadis kebanggaan bundanya. *** Setelah Keinara sudah berdandan rapi, Sita segera menutup tokonya. Memastikan semua akses pintu sudah terkunci, ia segera memacu kuda besinya menuju ke kediaman orang tuanya. Perjalanan kurang lebih satu jam ia tempuh, dan akhirnya tibalah Sita dan Keinara di sebuah rumah sederhana yang terletak di kecamatan seberang. Keinara turun dari jok, sementara sang bunda masih terlihat menatap lekat rumah kenangan masa kecilnya itu yang tidak begitu banyak perubahan yang ia temukan. Sita tersenyum, lalu turun dari atas sepeda motor. Ia berjalan lurus menuju pintu utama berada. "Assalamualaikum!" Ucapnya di depan pintu jati berukir yang sudah terbuka. "Waalaikumsalam!" Sahut seseorang yang muncul dari dalam. Terlihat sosok laki-laki tua yang sudah hampir memutih semua rambut di kepalanya. Berjalanpun sudah tidak sempurna seperti delapan belas tahun yang lalu. Dia adalah Prayoga, Ayah kandung Sita. Melihat Bapaknya yang sudah semakin sepuh, jujur membuat hati Sita merasa semakin bersalah. Harapan yang begitu besar di gantungkan terhadapnya kala itu, harus hancur karena kebodohannya sendiri. Rasa bersalah itu masih terus menghantuinya hingga kini. "Bapak!" Seru Sita seraya mengurai senyum di bibirnya. Sita segera mengambil punggung tangan sang Ayah dan menciumnya. Sikap sang Ayah masih sama seperti yang lalu-lalu. Sikap dingin begitu kentara ditunjukkan oleh sang Ayah. Lalu bergantian Keinara yang menyalami sang kakek. "Bapak sehat? Ibu mana Pak?" tanya Sita sambil melongok ke arah dalam. "Ada, di belakang lagi nyiram cabe." Jawabnya datar. "Ayo masuk!" titah Prayoga. Sita dan Keinara melangkahkan kaki mereka melewati pintu utama. Sementara Prayoga terus melaju ke belakang, memanggil sang istri. Tak selang berapa lama, sosok seorang wanita dengan tubuh sedikit tambun dan rambut yang sudah memutih muncul, mengurai senyum ketulusan khas seorang Ibu pada umumnya. Sebesar apapun kesalahan seorang anak, baginya akan selalu ada maaf yang terucap dari bibir tulusnya. Sita berdiri, menyambut kedatangan sang Ibu. "Buk!" Meraih punggung tangan sang Ibu, menciumnya beberapa detik, lalu melepaskannya. "Ibuk sehat?" tanyanya. "Alhamdulillah nduk, Ibu sehat." sahutnya masih dengan ukiran senyum itu. Keinara ikut berdiri, bergantian menyalami sang nenek. "Nek!" Ucapnya, mengecup punggung tangan sang nenek. "Masya Allah! Sudah besar kamu nak. Perasaan satu bulan yang lalu belum setinggi ini lho. Sekarang lihat! Sudah jangkung segini." Keinara tersenyum malu-malu. "Iya, Nek, kan tumbuh itu ke atas, bukannya ke samping." Celetuknya. Ketiganya nampak tertawa mendengar celetukan Keinara. "Duduk nduk!" Ucap Mainah, mempersilakan anak dan cucunya untuk duduk kembali. Ya, walaupun rumah ini merupakan rumah kedua orang tuanya, namun semenjak keputusannya meninggalkan rumah ini, Sita memang seperti orang asing ketika berkunjung kembali. "Gimana tokonya? Tambah rame nggak?" tanya Mainah. "Alhamdulillah buk, rame sih. Rencananya nanti juga mau nyari karyawan buat bantu-bantu di toko. Soalnya Sita cukup kewalahan juga kalau handle sendiri. Ditambah sekarang juga orderan online makin kenceng." terang Sita. "Alhamdulillah ya nduk, Ibu ikut senang dengarnya. Mudah-mudahan tokonya makin tambah rame ya." "Aamiin! Makasih Bu doanya. Doain juga buat Keinara, karena sebentar lagi juga mau masuk ke perguruan tinggi. Mudah-mudahan bisa di terima di kampus impiannya." "Aamiin. Doa Ibu buat kalian Insya Allah nggak pernah putus." Mainah menoleh ke arah Keinara. "Sekolah yang bener ya nduk, jangan mikirin yang macam-macam dulu. Kamu lihat perjuangan bundamu bisa sampai seperti ini. Ya?" Pesannya pada Keinara. Seketika hati Sita merasa tersentil dengan ucapan sang Ibu. Ucapan yang sembilan belas tahun lalu di ucapkannya juga ketika dirinya mulai masuk ke bangku kuliah. "Iya, Nek. Keinara janji, nggak akan mengecewakan bunda. Keinara mau jadi orang sukses. Keinara pengen jadi dokter yang hebat." Ucap Keinara dengan yakin. Ketiganyapun melanjutkan pembicaraan dengan di selingi canda tawa. Satu bulan tidak bertemu ternyata banyak cerita yang mereka bagikan. Sesekali Sita melongok ke belakang, berharap sang Ayah akan muncul dan ikut bergabung bersama mereka bertiga. "Buk, Sita ke belakang sebentar ya, mau pipis." Ujarnya lirih. Lalu berdiri dan menuju belakang. Sita pergi ke kebun yang ada di belakang rumah. Mencari keberadaan sang Bapak yang tengah melanjutkan pekerjaannya menyiram pohon cabe yang sudah hampir meninggi hingga lutut. Sita mendekati sang Ayah. "Pak, biar Sita yang lanjutin." Pintanya seraya hendak mengambil selang yang di pegang Ayahnya. Belum sampai Sita memegang selang, Prayoga sudah menjauhkannya terlebih dahulu. "Bapak masih bisa melakukannya sendiri." Timpalnya tanpa menoleh ke arah putrinya. Sita memandang wajah sang Ayah dari arah samping. "Pak, sudah sembilan belas tahun, apa Bapak masih juga belum mau memaafkan Sita?" Prayoga tetap diam. Tak menunjukkan reaksi apapun! Tetap melanjutkan menggerakkan selangnya. "Lihat Keinara pak, dia sudah besar sekarang. Apa Bapak nggak kasihan melihat dia yang selalu berharap untuk bisa diterima Kakeknya sendiri? Keinara tidak bersalah pak, semuanya salah Sita." Tuturnya dengan bibir bergetar. "Sita mohon pak!" Imbuhnya. Kini Sita tak dapat menyembunyikan kesedihannya lagi. Air mata yang sedari tadi ia tahan di penghujung netra, akhirnya luruh juga. Prayoga sejenak mematung, memandang datar ke depan. Tak satupun kata-kata yang terucap dari bibirnya lagi. Hingga akhirnya laki-laki tua itu memilih berpaling, meninggalkan Sita yang masih tergugu di tengah kebun. "Pak! Bapak!" Seru Sita berusaha menahan laju sang Ayah. Namun apa mau dikata, sang Ayah memilih terus berjalan memasuki rumah. Matanya kian sembab, aliran cairan bening itu makin deras melewati pipinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD