Bab 6. Sang Pengusaha

1795 Words
Briona menatap suaminya sungkan. Pria berpakaian rapi dan tampak sudah siap untuk berangkat bekerja. Melihat gaya berpakaian Izza yang rapi membuat Briona semakin bertanya-tanya apa pekerjaan suaminya yang sebenarnya. Sekali waktu ia bisa menjadi pria yang slengean dan dalam sekejap sikapnya bisa berubah menjadi pria dewasa bak pengusaha. “Kamu sudah siap?” tanya Izza sambil memakai sepatunya. “Aku bisa berangkat sendiri kok mas,” ucap Briona pelan mencoba meyakinkan Izza bahwa ia bisa berangkat sendiri tanpa perlu diantar atau diawasi. “Nggak bisa! Kalau kamu sudah janjian sama si Gerry itu, batalkan sekarang. Ayo cepat nanti terlambat.” “Aku gak janjian sama Gerry! Lagi pula lebih cepat kalau aku naik MRT, turun langsung masuk gedung kantor.” Izza tak menjawab, ia segera mengambil tas ranselnya dan membukakan pintu untuk Briona. Melihat sikap Izza yang tak bisa ditolak, Briona hanya menghela nafas panjang lalu segera berjalan keluar apartemen mereka. “Eh, tunggu dulu!” cegah Izza sebelum Briona benar-benar keluar kamar. Briona berhenti dan sebuah kecupan mendarat di bibir dan keningnya. “Kalau udah pake helm nanti aku susah cium kamu.” Briona hanya menghela nafas panjang menerima kecupan tanpa rasa itu. Entah mengapa di dalam hatinya ia merasa yakin bahwa suaminya pasti nakal karena tidak sungkan untuk menyentuh perempuan, padahal mereka belum lama kenal. Di tempat parkir, Izza segera mengeluarkan helm lain dari bagasi motornya dan memakaikannya pada Briona. “Ini kemarin aku beliin buat kamu, masih baru dan bagus. Kemana-mana mungkin kita akan sering naik motor karena lebih cepat sampai dimanapun. Nanti kalau kamu hamil, aku akan carikan mobil untuk kita.” Briona hanya diam dan tidak menyangka bahwa Izza berniat untuk memiliki anak dari pernikahan mereka. “Peluk aku yang kuat, aku bukan ojek online yang harus kamu jauhi duduknya,” suruh Izza sebelum ia memakaikan helmnya sendiri. Sepasang suami istri itu pun segera berkendara menuju perkantoran dimana Briona bekerja. Setelah sampai, Izza berhenti di pinggir jalan untuk menerima kembali helm yang digunakan Briona. “Kabari aku kalau sudah selesai kerja nanti, biar aku jemput,” ucap Izza sembari mengelus pipi Briona sebelum akhirnya ia pergi meninggal Briona. Briona hanya bisa diam, dan berpikir keras bagaimana caranya agar ia bisa bertemu Gerry hari ini. Bersikap frontal melawan Izza juga tak berani dilakukan Briona, karena ia masih ingin tahu kabar dari sang ayahnya saat ini yang seolah menghilang tanpa kabar. Sedangkan Izza mengendarai motornya menuju ke sebuah restoran and bar terkenal di ibukota. Waktu menunjukan telah lewat dari waktu makan siang ketika Izza sampai. Melihat Izza datang, salah seorang security segera menghampirinya dan membantunya untuk memarkirkan motor. Setelah membuka dan memberikan helmnya, Izza segera masuk sambil merapikan rambutnya dan tersenyum pada beberapa waiters yang menyapanya pria berusia 32 tahun itu dengan ramah. “Mas, ada bapak di dalam sedang meeting dengan beberapa clientnya,” ucap seorang wanita cantik yang segera berjalan menghampiri Izza. “Dimana?” tanya Izza pendek tampak sedikit resah. “Ruangan VIP, bapak bilang setelah meeting, dia mau ketemu mas Izza,” jawab perempuan cantik yang bernama Veronica dan bekerja sebagai manager di restoran bar besar itu. Izza pun hanya mengangguk dan segera menuju bagian belakang resto dan naik ke atas dengan lift menuju ruangan kerjanya. Disinilah ia bekerja sebenarnya, menjadi pemilik sekaligus pengelola restoran bar yang cukup terkenal. Jika siang restoran itu akan penuh dengan orang-orang penting yang menghabiskan waktunya untuk lunch meeting, jika malam makin larut, tempat itu berubah menjadi bar dan live music dan penuh dengan orang-orang muda yang ingin menghabiskan malam dengan bersenang-senang dan bercengkrama dengan kolega mereka. Sebenarnya bukan usaha ini yang Izza inginkan untuknya, tapi saat ini ia hanya bisa menurut dan mengikuti arus kemana membawanya pergi. Tak seperti Agam, ayah Izza adalah seorang pekerja keras dan berhasil mendirikan perusahaannya saat muda. Saat Izza masih sangat kecil, ia dan sang ayah kehilangan sang ibu untuk selamanya karena sakit. Tak sanggup mengurus anak semata wayangnya sendirian, ayah Izza kembali menikah dan kali ini dengan salah satu karyawannya. Lagi-lagi diusia muda, Izza harus kembali kehilangan orang tuanya, ayah Izza meninggal dunia karena penyakit kronis yang dideritanya. Tinggalah Izza bersama sang ibu tiri yang akhirnya menikah kembali tetapi kali ini dengan paman Izza yang bernama Edo yang merupakan adik kandung sang ayah dan dikaruniai dua orang anak perempuan. Diurus dari kecil membuat Izza memanggil mereka dengan panggilan papa dan mama. Kedua orang tuanya itu menikah dan memberikan alasan agar bisa membantu Izza sang pewaris untuk mengurus perusahaan. Tapi yang tak mereka sadari, Izza kecil saat itu sudah paham bahwa sang paman dan juga ibu tirinya telah berselingkuh lama dari sang ayah. Dulu ia hanyalah anak kecil yang tak bisa berbuat apa-apa, kini ia telah dewasa dan ingin kembali mengambil apa yang menjadi haknya walau sangat sulit. Bagaimana pun, perusahaan induk yang merupakan salah satu perusahaan penyedia alat-alat kesehatan di Indonesia itu telah semakin berkembang dibawah kepemimpinan Edo. Tak hanya satu usaha, Edo mengembangkannya menjadi banyak usaha salah satunya adalah restoran dan bar ini dan ia memberikannya pada Izza ketika Izza memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah melanglang buana untuk belajar dan bermain. Tentu saja bukan usaha ini yang Izza mau, ia sadar sang paman tentu saja tidak akan semudah itu memberikannya peluang untuk bisa masuk ke dalam perusahaan yang telah lama ia kelola. Dengan memberikan Izza restoran dan bar untuk dikelola, Izza sadar bahwa sang paman ingin menyingkirkannya pelan-pelan, karena dunia malam adalah hal yang paling mudah untuk disisipi hal-hal negatif yang bisa menghancurkan usaha Izza. Belum lagi dengan syarat Izza harus menikah dan memiliki anak agar bisa mendapatkan warisannya sebagai wasiat sang ayahnya dulu membuat Izza semakin tak berkutik. Ia bisa saja memaksa pada Edo untuk memberikan haknya, tapi dilingkungan itu tak ada satupun yang akan mendukung Izza, semua tunduk pada Edo, termasuk keluarga kekasihnya Liliana. Liliana sendiri seorang dokter dan bekerja di rumah sakit besar milik keluarganya. Berpacaran dengan Liliana tentu saja mendapat dukungan banyak orang, karena jika Izza dan Liliana sampai menikah, pernikahan itu seolah menjadi pernikahan dua perusahaan besar. Itu mengapa Izza tak bisa menikahi Liliana, karena calon mertuanya sangat dekat dengan Edo, sehingga jika terjadi sesuatu, mereka akan menjadi sekutu Edo, bukan Izza. Apalagi jika Izza dan Liliana memiliki anak bersama, hal itu akan semakin menguntungkan Edo yang akan membuat keluarga Liliana terikat padanya. Sebagai pengusaha hebat, bukan berarti Edo tak memiliki kelemahan. Kelemahannya adalah pada Marcela, istri dan juga ibu tiri Izza. Perempuan itu tak hanya cerdas tapi memiliki hobby yang buruk. Sifatnya yang ambisius dan senang berspekulasi membuatnya memiliki hobby berjudi. Marcela mendirikan perusahaan berbasis investasi untuk menutupi kedoknya sebagai perusahaan money laundry. Dan disanalah ia bertemu dan berkenalan dengan Agam. Perusahaan Agam adalah salah satu perusahaan dibawah usaha Marcela yang merupakan satu partner perusahaan money laundrynya. Usaha Izza yang hampir dua tahun ini menyelidiki kelemahan ibu tiri dan pamannya membuatnya mengarah dan bertemu dengan Agam yang tengah kesulitan keuangan karena hobinya berjudi. Kini Agam menjadi salah satu kuncinya untuk menjatuhkan Marcela. Menawarkan Agam uang dalam jumlah besar membuat Agam bertekuk lutut di kaki Izza, apalagi saat ini Izza menikahi putrinya, membuat Agam tak berkutik dan pasti akan menurut apapun keinginan Izza untuk menjatuhkan Marcela dan Edo. Izza menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya yang empuk dan nyaman. Pikirannya melayang jauh seolah memikirkan jalan panjang yang harus ditempuh untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Belum lagi berita tentang Agam yang ia terima saat bertemu orang kepercayaannya setelah mengantarkan Briona ke kantor membuat kepalanya semakin terasa penuh. “Mas, dipanggil bapak,” ucapan Veronika menyadarkan Izza akan lamunannya dan segera bangkit untuk menghampiri paman sekaligus ayahnya di ruangan VIP. Saat Izza masuk, masih ada beberapa orang tamu yang hendak pergi meninggalkan restoran. Izza segera menyapa mereka ramah dan sedikit bersenda gurau, bahkan mengantar mereka semua kedepan dengan sopan. Setelahnya ia kembali keruangan VIP dan mendapatkan wajah muram dari Edo. “Dasar g****k! Kenapa lambat sekali mengatasi masalah kemarin?!” tegur Edo kasar saat hanya berdua saja dengan Izza. Izza hanya menghela nafas panjang dan duduk santai di kursi. Masalah yang dimaksud adalah beberapa waktu yang lalu salah satu pengunjung bar membuat keonaran dan ternyata pria itu anak salah satu client besar Edo. Izza yang ingin tempatnya tetap bersih dari narkoba membuat beberapa security untuk mengusir pria itu karena terlihat seperti habis menggunakan narkoba. Kericuhan tak bisa dihindari sehingga memancing polisi untuk datang ketempat itu. Izza mengeluarkan uang sangat banyak agar insiden itu tak tersebar agar nama baik resto dan barnya tetap terjaga. Mendengar cacian Edo, Izza hanya bisa tersenyum sinis, dari kecil sang paman memang tak pernah baik padanya, Edo selalu iri pada ayah Izza sehingga ia selalu menjadikan Izza sebagai pelampiasannya. “Bagaimana aku bisa memberikan peluang untukmu mengurus perusahaan besar, untuk usaha kecil seperti ini saja gak becus!” Izza masih diam, ia tak ingin terpancing emosi dengan ejekan Edo. Jika ia dianggap tak becus, bagaimana dengan Edo yang memberikan jabatan direktur pada salah satu anak perempuannya yang baru lulus kuliah padahal usianya masih 23 tahun. “Semua urusan itu sudah aku selesaikan dan tak akan jadi masalah untuk tempat ini, apalagi yang papa keluhkan?” “Enak saja kalau bicara! Orang tua anak itu rekanan bisnis papa, dan mereka marah karena kamu tak memperlakukan anaknya dengan baik!” “Dia mabuk!” “Tempat ini kalau malam juga penuh dengan pemabuk!” “Tapi dia menggunakan narkoba, pa! Tidak akan aku tolerir siapapun yang menggunakannya!” Mendengar ucapan tegas Izza, Edo hanya diam. Di dalam hatinya ia pun akan melakukan hal yang sama, tapi ia hanya tak tahan untuk tidak memarahi keponakannya itu. Hening. Tak ada percakapan berarti selain suara tegukan air di tenggorokan Edo. “Orang tua Liliana menanyakan kapan kalian akan menikah, kamu harus segera memikirkannya. Janjiku pada papamu salah satunya adalah menikahkanmu dan melihatmu berkeluarga, baru nanti akan kuberikan saham,” ucap Edo, kali ini nada suaranya menurun dan tak penuh emosi seolah tengah membujuk Izza. “Sudahlah, aku tak ingin memikirkannya sekarang!” elak Izza cepat. “Ck, kemarin merengek minta saham, minta warisan, sekarang dikasih tahu caranya malah menolak! Keluarga Liliana itu adalah salah satu client terbesar kita, jika kamu menikahi keluarganya, papa akan bantu kamu untuk bisa berada di dalam usaha mereka.” “Aku tak ingin membicarakannya sekarang!” “Tapi minimal luangkan waktu untuknya! Papa tahu kamu sibuk bercinta dan bersenang-senang dengan wanita-wanita cantik disini, tapi hubunganmu dengan Liliana itu penting! Jangan sampai kalian putus!” Edo segera menaikan bingkai kacamatanya dan tak lama kemudian menghubungi supirnya untuk bersiap-siap. “Papa pergi dulu, nanti malam akan ada tamu perusahaan yang akan datang untuk bersenang-senang. Tolong temani mereka!” perintah Edo sambil berdiri perlahan dan berjalan keluar ruangan diikuti oleh langkah Izza. Sedangkan Izza mengusap perutnya perlahan, terbayang berapa banyak alkohol yang akan masuk ke dalam lambungnya hanya karena demi menyenangkan dan menghabiskan isi rekening tamu Edo untuk bersenang-senang. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD