Bab 1. Malam Pertama
“Buka bajumu!”
“Hah?! Tidak!” Briona segera meletakkan kedua tangannya di d**a untuk menghalangi pria yang bertubuh tinggi dan berwajah dingin itu mendekatinya. Namun, pria yang bernama Izza itu tampak tak peduli ia segera menarik tangan Briona dan mencoba membuka kemejanya yang basah kuyup.
“Nanti kamu sakit jika membiarkan tubuhmu basah kuyup seperti itu! Bukalah! Apa yang membuatmu malu? Bukankah aku sudah menjadi suamimu sekarang? Jadi, harusnya tak ada batasan lagi di antara kita! Kamu pikir hanya karena kita belum mengenal satu sama lain, aku akan menjaga jarak? Tidak! Aku akan tetap akan menjalankan tugasku sebagai suami!” ucap Izza tampak kesal karena Briona coba menjauhkan diri. Gadis itu masih tak habis pikir dengan apa yang menimpanya. Setelah menikah di KUA, pria itu langsung membawanya dengan menaiki sepeda motor meski saat itu sedang turun hujan.
Melihat Briona hanya diam, Izza pun jadi tak peduli. Pria itu pun tampak membuka pakaiannya sendiri yang juga basah kuyup, lalu melangkah pergi menuju kamar mandi. Sementara Briona, gadis itu hanya bisa menyandarkan tubuhnya pada dinding. Menatap pintu apartemen ukuran studio di mana mereka berada saat ini. Ingatannya seketika tertarik ke beberapa jam lalu. Tepat di saat hidupnya berubah dalam sekejap.
Pagi itu, segerombolan orang datang ke rumahnya di mana ia dan sang eyang tinggal selama ini. Preman-preman kasar itu seolah memaksa mengeluarkan semua barang-barang di rumahnya yang masih terpancang tenda dan bendera kuning tanda tengah berduka.
“Rumah ini sudah dibeli, silakan tinggalkan rumah ini segera! Barang-barang kalian akan kami angkut dan kami simpan di gudang. Silakan ambil sendiri jika nanti sudah mendapatkan tempat tinggal yang lain!” ucap salah satu pria seram yang menghampiri Briona, sepertinya ia kepala preman.
“Tidak! Tidak ada yang menjual rumah ini! Siapa kalian yang bisa mengambil paksa rumah eyang!” jerit Briona penuh amarah. Ia sudah tak bisa merasakan malu diperhatikan oleh para tetangganya yang hari itu masih membantunya karena mereka tahu Briona tinggal sendirian.
“Bilang saja sama ayahmu! Makanya, kalau punya utang, dibayar dong!”
Briona segera menoleh ke arah luar rumah dan melihat sang ayah–Agam yang tengah berdiri di depan mobilnya dengan wajah kusut dan tak berani menatap ke arah Briona.
“Ayah! Apa-apaan ini!” teriak Briona sambil berlari menangis penuh kemarahan kepada pria yang sudah lama menitipkan dirinya pada eyang putri.
“Rumah itu sudah bukan milik kita lagi, Bri .…”
“Enak saja! Ayah keterlaluan! Selalu saja begini! Setelah ini, harta eyang mana lagi yang akan Ayah habiskan?! Rumah ini satu-satunya peninggalan eyang! Aku harus tinggal di mana, Yah?!” jerit Briona sambil menangis histeris dan memukuli tangan sang ayah dengan kesal.
Agam yang merasa tak tahan karena rasa bersalah sekaligus panik hanya bisa menahan pukulan anak gadisnya lalu menatap seseorang dari dalam mobil dan segera memberi kode untuk membawa Briona ke dalam mobilnya.
Pria itu adalah Izza, yang beberapa waktu memang sering muncul bersama Agam di saat menjenguk Eyang Putri saat jatuh sakit sebelum kematiannya. Yang Briona tahu, pria itu adalah pegawai sang ayah karena sering diperintah ini dan itu.
Izza segera membuka pintu dan menarik Briona setengah memaksa untuk membuatnya masuk, lalu mereka bertiga pergi begitu saja menuju KUA tanpa memedulikan teriakan marah Briona yang harus meninggalkan rumah eyang putrinya tanpa membawa apa-apa.
“Diam kamu! Diam! Kamu pikir hanya kamu saja yang kesulitan saat ini?! “ Bentak Agam saat ia sudah tak tahan lagi mendengar kemarahan Briona saat mereka dalam perjalanan.
“Andai aku bisa memilih, aku gak mau jadi anak Ayah! Aku gak mau!”
“Tenang saja! Setelah ini kamu akan lepas dari Ayah! Terserah kamu mau mengakui Ayah lagi atau tidak! Yang mesti kamu ingat adalah, apa yang Ayah lakukan saat ini adalah untuk kebaikan kamu! Ini adalah hal terakhir yang bisa Ayah lakukan untuk melindungi kamu!” ucap Agam saat mereka sampai di kantor urusan agama terdekat.
“Aku gak mau!” pekik Briona saat menyadari bahwa sang ayah akan menikahkannya dengan Izza.
“Untuk yang terakhir kalinya, percayalah pada Ayah! Pernikahan kamu dengan Izza adalah yang terbaik! Izza sudah berjanji akan melindungimu, dan Ayah punya jaminannya!”
“Aku gak mau, Yah ….” isak Briona sambil memohon pada sang ayah.
“Bri … tolong Ayah, besok Ayah gak tahu masih bisa hidup atau tidak … Ayah tahu, Ayah tidak pernah menjadi Ayah yang baik untuk kamu, tapi kali ini percayalah! Ayah melakukan ini untuk melindungimu. Menikahlah dengan Izza, dia akan melindungimu ….”
Briona hanya bisa diam dan menangis ketika Agam mendaftarkan pernikahan dirinya dengan Izza. Ijab kabul pun terjadi dengan singkat. Dua buah kartu berwarna coklat dan hijau menunjukan bahwa Briona sudah sah menjadi istri Izza.
Setelah pernikahan itu, Agam membawa Briona dan Izza ke kantor di mana Agam mengurus perusahaan miliknya, tetapi Izza segera mengajak Briona ke tempat parkir dan mengajaknya pergi naik motor miliknya tak sampai ikut masuk ke dalam kantor milik Agam.
“Hiduplah dengan baik, jika kamu berkenan, titip anak-anak ayah yang lain,” pesan Agam sebelum Izza mengajak Briona untuk turun dari mobil.
Briona hanya bisa memalingkan wajahnya agar sang ayah tidak tahu betapa marahnya ia ketika mendengar sang ayah ingin menitipkan adik-adiknya yang lahir dari ibu sambung yang dinikahi sang ayah sejak bercerai dari sang ibu. Ia merasa tak sudi.
Ingin rasanya Briona bertanya ada apa sebenarnya, tetapi hatinya sudah sangat enggan karena penuh amarah. Namun, ia pun tak bisa menolak untuk pergi bersama Izza karena Briona tahu, bukan pertama kalinya sang ayah membuat masalah. Berdasarkan pengalaman itu, ia sadar jika Agam sampai memintanya untuk segera pergi, ia harus segera pergi sebelum masalah lain datang.
“Hei, ayo mandi, airnya sudah hangat!” suruh Izza yang baru saja selesai mandi di saat Briona sibuk memikirkan hidupnya sambil duduk di sudut dengan genangan air dari tubuhnya.
“Aku boleh pinjam bajumu? Bajuku basah semua,” pinta Briona pelan pada Izza. Pria itu hanya bisa menghela nafas pelan, membuka lemari dan mengambil satu handuk untuk Briona.
“Aku pun tidak punya baju ganti, untuk sementara kita pakai handuk masing-masing dulu. AC-nya akan aku atur agar tidak terlalu dingin. Mandilah! Nanti aku akan pesankan makanan via online untuk kita,” perintah Izza sambil memberikan handuk pada Briona.
Gadis itu pun segera menerima handuk itu dan pergi untuk membersihkan dirinya. Selesai mandi, ia melihat Izza masih mengenakan handuk dan sibuk dengan handphonenya lalu tak lama kemudian ia menyuruh Briona yang hanya mengenakan handuk untuk kembali masuk ke kamar mandi sesaat.
“Aku pesan makanan dan pengantarnya aku suruh untuk mengantarnya sampai kamar ini. Kembali ke dalam kamar mandi sebentar, gak enak kalau dia sampai lihat kamu seperti itu.”
Briona pun menurut dan menunggu di dalam kamar mandi sampai terdengar ketukan dari Izza.
Saat keluar kamar, Briona melihat ada beberapa bungkusan plastik besar diatas meja.
“Masuklah ke dalam selimut biar kamu tidak kedinginan, lepas handuknya, nanti kasur kita jadi basah!”
“Tidak! Masa kamu suruh aku telanjang di dalam selimut?!”
“Loh, kamu pikir aku juga enggak akan telanjang saat masuk selimut nanti? Handuk ini basah bekas aku mandi tadi.”
“Tapi handukku tidak terlalu basah!” tolak Briona.
“Terserah kamu deh, ayo makan! Hari ini kita tidak bisa ke mana-mana. Jadi, kita nonton tv saja,” jawab Izza sambil mengambil salah satu kotak bento dan memberikannya pada Briona, lalu mengambil satu lagi untuk dirinya.
Briona sekuat tenaga menahan batuknya karena tersedak napasnya sendiri saat tanpa sungkan Izza melepas handuknya dan bertelanjang bulat masuk ke dalam selimut lalu makan. Sedangkan Briona memilih untuk duduk di depan meja dan menghabiskan makanannya perlahan sambil melamun. Pikirannya masih kacau, tetapi perutnya lapar dan tubuhnya terasa sangat lelah dan tegang. Ia memutuskan untuk mengisi perutnya terlebih dahulu sebelum memikirkan hal yang lain.
Selesai makan, Briona hanya diam dan sesekali mencuri pandang pada Izza yang tampak santai dan asik menonton tv. Pria itu makan dengan lahap dan dalam sekejap makanannya habis lalu ia segera mengambil kotak bento keduanya.
Briona hanya bisa menghela nafas panjang ketika menyadari siapa yang ia nikahi. Pria bertubuh tinggi itu memang tidak jelek dan cukup tampan. Kulitnya cokelat, tetapi bersih, wajahnya yang terlihat dingin dan acuh ternyata cukup manis dengan bentuk tubuh yang proposional akan membuat perempuan yang melintas di hadapannya pasti akan melirik. Namun, Briona sama sekali tidak tertarik dengannya, ia sendiri telah memiliki kekasih yang tampan dan mapan bernama Gerry. Penampilan Gerry yang sangat mudah bergaul sering kali membuat Briona cemburu. Lagi-lagi perempuan itu hanya bisa pasrah, walau hatinya gelisah. Gerry pasti mencarinya, tetapi ia sendiri tidak membawa apa-apa. Tak ada handphone, dompet ataupun pakaian ganti.
Waktu baru menunjukan pukul tujuh malam, kepalanya terasa pusing dan sangat berat. Hari ini benar-benar hari yang berat untuk Briona dan ia butuh berbaring untuk istirahat. Perlahan ia berjalan menghampiri ranjang dan segera mengambil salah satu bantal lalu meletakkannya di atas karpet murahan yang tergelar di samping tempat tidur dan berbaring perlahan.
“Ngapain tidur di bawah situ? Di sana dingin dan kotor,” tanya Izza spontan sambil melongok ke sisi ranjang Briona.
“Terus kamu pikir, mentang-mentang kita suami-istri aku akan tidur satu ranjang sama kamu! Laki-Laki yang sebelumnya sama sekali tidak aku kenal. Kamu harus tahu, kalau aku juga udah punya pacar dan aku akan menjaga diriku utuh untuknya,” gumam Briona sambil menutup matanya, ia sudah tak sanggup lagi bicara. Dalam balutan handuk basah, tubuhnya sudah terasa tidak enak dan ia butuh segera istirahat.
Bersambung