Bab 8. Ayo kita belajar jatuh cinta

1090 Words
“Izza…,” panggilan mesra itu terlontar dari bibir seorang wanita cantik bergaun hitam ketika melihat Izza masuk ke dalam ruangan karaoke VIP di restoran and Bar miliknya. Wanita yang bernama Liliana itu segera melompat ke dalam pelukan Izza dan mendapatkan banyak ciuman sayang di wajahnya dari pria itu. “Aku rindu,” bisik Liliana tak bisa menahan kerinduannya dan tak mempedulikan teman-temannya yang menggodanya bermesraan bersama Izza. Izza hanya tersenyum tipis dan sedikit dipaksakan ketika tanpa ragu Liliana mengecup bibirnya. Ia sempat terkejut sendiri ketika bayangan wajah Briona melintas dibenaknya membuatnya membalas cumbuan Liliana dan hanya bisa memeluk perempuan itu erat dan mengajaknya bergabung dengan temen-teman mereka. “Ada apa? Kemana saja kamu?” tanya Liliana sambil menatap kekasihnya penuh rindu dan cemas ketika mereka berdua ikut duduk bersama teman-teman mereka. “Banyak hal yang harus aku selesaikan Li,” jawab Izza setengah berbisik. “Kamu sudah bertemu pria itu? Agam? Bagaimana lanjutannya? Apa dia bisa membantumu?” tanya Liliana penasaran sekaligus cemas. Menjalin cinta dengan Izza selama tiga tahun membuat dirinya menjadi tempat curhatan kekasihnya tapi sejak Izza ingin mencari Agam ia tak pernah mendengar apapun lagi dari Izza. “Stt, sudah jangan pikirkan itu … kita bertemu untuk bersenang-senang bukan?” ucap Izza segera mengalihkan perhatian Liliana sembari mengelus lembut rambut Liliana. “Aku kesini bukan untuk bersenang-senang, tapi aku cemas sama kamu sayang. Sudah 3 bulan ini kamu menghilang, komunikasi kita hanya via whatsapps dan video call itu pun semakin jarang. Aku takut terjadi sesuatu sama kamu! Jika kamu butuh sesuatu, kamu bisa cerita sama aku!” Mendengar keluhan kekasihnya, Izza hanya bisa memeluk Liliana erat dan menciumi pipinya beberapa kali. Perempuan ini begitu tulus mencintainya selama ini, andai ia tahu bahwa Izza telah menikah dengan Briona, pasti akan sangat sakit hati sekali. “Maafkan aku tak bisa menceritakannya padamu saat ini, urusan dan pekerjaanku benar-benar sangat penuh menyita pikiran, kamu juga tahu kan betapa keras dan ketatnya papaku dalam urusan kerja. Malam ini aku hanya ingin memelukmu dan bernyanyi bersama, kita senang-senang saja!” Mendengar ucapan kekasihnya, Liliana hanya bisa menghela napas dan membalas pelukan Izza. Sepasang kekasih itu seolah melepas rindu yang telah lama tertahan. *** Briona menatap jam di dinding yang telah menunjukan pukul tujuh pagi. Ia segera menyambar tasnya dan keluar dari apartemen untuk berangkat kerja. Izza kemarin memang berjanji untuk mengantarnya tapi ia tak bisa menunggu lagi, jika ia berangkat beberapa menit lebih lama pasti akan terlambat sampai di kantor. Langkah Briona terhenti saat ia melihat suaminya tengah duduk dengan mata sedikit terpejam di lobby apartemen mereka. “Mas, bangun! Kok tidur disini?!” ucap Briona sembari membangunkan Izza dengan menggoyangkan kan tangannya. Izza langsung terbangun dan duduk dengan tegak lalu mengacak - ngacak rambutnya sesaat. “Kamu sudah siap? Ayo kita berangkat,” tanya Izza menatap Briona sambil mengumpulkan nyawanya. “Aku berangkat sendiri saja, lebih baik kamu naik keatas dan tidur mas, aku gak mau naik motor dengan kondisi kamu mengantuk seperti ini!” “Tidak, aku bisa mengantarmu! Ayo kita pergi!” ajak Izza sambil berjalan keluar dari apartemen dan memanggil taksi biru. “Kalau naik taksi, aku bisa terlambat mas…” keluh Briona “Sudah naik saja!” Briona segera menaiki taksi diikuti oleh Izza. Di dalam taksi Izza segera menarik tubuh Briona dan mengecup kening istrinya itu cepat sebelum Briona berontak melepaskan diri. Perempuan itu masih tak terbiasa dengan sikap Izza yang senang sekali memeluk dan mencium. Briona mencium aroma parfum lembut dari jacket yang dikenakan suaminya. Ia tahu aroma parfum Izza, tetapi yang satu ini terasa berbeda. “Hari ini aku tak bisa menjemputmu pulang, kamu pulang sendiri ya …. Benar-benar pulang sendiri tanpa perlu Gerry mengantarmu,” ucap Izza membuka pembicaraan. “Ck, bisa-bisanya larang aku, sedangkan kamu sendiri sepertinya abis pacaran!” sindir Briona cepat. “Iya, tadi malam aku bertemu dengan ibu dokter kesayangan ku …,” jawab Izza lirih tanpa beban sambil menutup matanya. “Jadi apa bedanya kamu sama aku? Kita sama-sama memiliki kekasih, dan gak adil rasanya jika kamu suruh aku berhenti bertemu mas Gerry sedangkan kamu tetap asik dengan kekasihmu!” cibir Briona sebal. Izza kembali membuka matanya dan menatap Briona dalam lalu ia bangkit dan duduk lebih tegak. “Ya udah, jadi mau gimana? Aku gak mau kamu ketemu Gerry lagi karena hanya bikin rumit keadaan, tapi aku ngerti kalau kamu ingin membalasku dengan melarang aku bertemu kekasihku. Apa kita sepakat mulai saat ini untuk belajar jatuh cinta satu sama lain?” Ucapan Izza membuat Briona tersedak dan terbatuk-batuk karenanya. “Gampang banget sih mas kamu ngomongin cinta! Kamu pikir bisa segampang itu melupakan orang lalu berpindah hati?!” “Trus pilihan kita apa? Bagaimanapun kita sudah menikah dan menjadi suami istri secara sah! Aku gak mau cerai-in kamu karena aku ingin segera punya anak!” Briona segera menutup mulut Izza dengan tangannya sambil melirik kearah pak supir yang tampaknya asik mendengarkan pembicaraan mereka. Izza segera melepaskan tangan Briona dari mulutnya dan kali ini ia yang bergantian memegangi tangan Briona. “Aku nikahin kamu serius Bri, aku butuh punya anak! “ “Stop bicara seperti itu mas! Kamu pikir punya anak itu gampang?! Jangan membahas anak dulu deh! Aku sendiri gak tahu siapa kamu! Aku gak tahu pekerjaanmu dan apa hubunganmu dengan ayah sebenarnya! Aku gak bisa hidup sama seseorang yang tidak aku kenal! Dalam hidup ini aku hanya ingin hidup yang sederhana dan tenang saja mas! Aku gak minta lebih!” Kali ini Izza terdiam dan hanya bisa menyandarkan tubuhnya kembali. Hening sesaat sebelum akhirnya Izza mengambil tas milik Briona lalu mengeluarkan segepok uang kertas dan memasukkannya ke dalam tas milik Briona. “Itu untuk kamu, maafkan jika aku belum bisa memberikan banyak untuk bulan ini sebagai nafkah, tapi itu halal,” ucap Izza sembari mengembalikan tas Briona. Briona hanya diam, wajahnya masih merengut dan semakin merengut karena tiba-tiba Izza menarik wajahnya dan memaksa untuk mencium bibirnya. “Apa-apaan sih mas!” tolak Briona kesal dengan suara tertahan. “Kita harus coba belajar jatuh cinta Bri.” Briona hanya bisa meleletkan lidahnya kesal dan duduk menjauh dari Izza lalu memalingkan wajahnya keluar jendela. Ia tak ingin Izza melihat matanya berkaca-kaca membayangkan harus berpisah dari Gerry. Walau tak ingin tapi Briona telah memikirkan ucapan Izza tentang secara tidak langsung ia bisa membuat Gerry terlibat masalah hidupnya sehingga cepat atau lambat, ia harus merelakan Gerry. Tapi terus menerus terikat dengan Izza, Briona pun tak mau. Jika ia bisa memilih, ia memilih untuk pergi dan tinggal sendiri menjauh dari hiruk pikuk masalah sang ayah yang selalu membuntutinya kemana pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD