Briona menatap setumpuk uang yang dimasukan Izza ke dalam tas nya pagi tadi. Tumpukan uang itu benar-benar lusuh dan membuat Briona heran dari mana Izza mendapatkan uang itu.
“Jangan-jangan dia tukang parkir, duitnya bisa butut begini!” gumam Briona gelisah melihat tumpukan uangnya.
Kini ia tengah menukarkan setumpuk uang lusuh itu ke bank sekalian memasukkannya ke dalam rekening. Briona cukup kaget ketika ia menghitung uang lusuh itu ternyata lebih banyak dari gajinya satu bulan. Walau sebenarnya enggan, tapi ia tidak bisa menolak pemberian Izza. Ini adalah kali pertamanya ia mendapatkan nafkah dari suaminya. Briona butuh uang banyak untuk ia tabung karena masa depannya yang tak menentu.
Setelah menukarkan uangnya, Briona segera bergegas menghampiri mobil Gerry yang menjemputnya untuk makan siang bersama.
“Dia itu kerja apa sebetulnya, Bri?” tanya Gerry ketika Briona masuk ke dalam mobil. Mendengar pertanyaan sang kekasih, Briona hanya menggelengkan kepalanya cepat.
“Aku takut dia kerja ditempat yang kurang baik,” ucap Gerry lagi. Briona hanya diam dan berusaha mengingat tingkah laku Izza selama ia menikah dengannya. Pria itu tak pernah kasar, tapi sering pulang pagi dalam keadaan setengah mabuk.
“Hari ini dia akan pulang pagi lagi?” tanya Gerry.
“Aku tidak tahu, tapi dia bilang tak bisa menjemputku saat pulang kerja nanti.”
“Biar aku antar kamu pulang, aku tak peduli jika ia tahu dan marah. Biar aku hadapi. Berusahalah untuk bercerai darinya Bri… aku sedang mencari cara agar kita bisa menikah segera setelah kamu bercerai. Aku juga sedang mencarikan tempat tinggal baru untukmu, aku tak ingin kamu berlama-lama tinggal bersamanya.”
Briona hanya diam dan mengangguk perlahan, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk bisa menenangkan hati kekasihnya. Masih terbayang di pelupuk matanya kemarahan Gerry saat Briona cerita bahwa Izza telah mengambil kesuciannya.
“Jangan lupa untuk meminum pil kb setiap hari, Bri. Aku gak mau di rahim kamu ada anak dia. Rahim itu untuk anakku, anak kita berdua,” ucap Gerry menatap kekasihnya dalam dan menggenggam tangan Briona sambil mengendarai mobilnya. Lagi-lagi Briona hanya bisa mengangguk setuju.
Sesampainya di kantor, Briona kembali mendapatkan telepon dari Wina rekan kerjanya.
“Ya mbak,” ucap Briona saat terdengar suara Wina menyapanya.
“Ada tamu buat kamu …. Ibu kamu dateng… ayo cepat naik,” suruh Wina di ujung sana.
Mendengar kalimat ibu yang datang, Briona segera memasuki lift. Mendapat kunjungan dari Selly adalah kemewahan sendiri untuk Briona. Ia jarang sekali dikunjungi sang ibu, entah mengapa ayah tirinya kurang suka padanya. Ayah sambung Briona seolah menganggap Briona tak pernah ada sehingga sang ibu harus sembunyi-sembunyi jika menghubungi dan mengunjungi Briona.
Alangkah terkejutnya Briona saat ia memasuki ruang meeting dan menemukan bahwa bukan Selly yang datang, tetapi ibu sambungnya – Ida istri sang ayah saat ini.
“Bri…” sambut Ida senang saat melihat Briona dan segera memeluknya.
“Tante, kenapa bisa kesini?! Tahu dari mana?! Mau apa?!” tanya Briona kaget sekaligus cemas, ia tak menyangka ibu sambungnya bisa mengetahui dimana ia bekerja. Selama ini hubungan mereka tidak baik karena Ida selalu galak padanya.
“Kok gitu, Bri? Tante kangen aja sama kamu … gimana kabar kamu? Sehat kamu, Bri?” tanya Ida sambil tersenyum riang dan membuat Briona semakin muak, karena ia tahu ibu sambungnya hanya basa - basi.
“Maaf tante, aku harus cepat-cepat kembali bekerja jadi tidak bisa lama. Tante ada perlu apa?”
Melihat sikap tegas anak sambungnya, sikap Ida pun berubah menjadi dirinya sendiri tapi kali ini ia bicara tak terlalu emosional seperti biasanya.
“Tante butuh bantuanmu Bri…”
“Aku gak punya uang tante … Tante tahu sendiri kan, gara-gara ayah semua peninggalan eyang habis dan hilang! Aku sampai harus keluar dari rumah itu!”
“Tapi kan kamu sekarang jadi punya suami…”
“Oh, jadi ayah sempat cerita kalau aku dipaksa nikah sama orang yang gak jelas seperti itu!”
“Dia bukan orang yang gak jelas, Bri. Akh, sudahlah… tante gak punya banyak waktu juga. Kamu tinggal dimana sekarang? Tante mau minta tolong untuk menitipkan si kembar Kana dan Kinta di tempatmu.”
“Apa?! Nggak bisa tante!”
“Seminggu lagi tante harus berangkat mencari ayahmu … tante hanya menitipkan sebentar saja… hanya untuk satu minggu!”
“Aku saja tinggal dalam apartemen ukuran studio, Tante! Bagaimana aku bisa menampung dua orang lagi di dalam ruangan sekecil itu!”
“Minta tolong pada suamimu untuk mengontrakan rumah, Bri…”
“Tante! Suami yang dipilihkan ayah untukku itu kerjaannya gak jelas! Dia bukan orang kaya yang bisa memenuhi semua kebutuhan kita dengan uang! Lagi pula aku tak akan lama-lama untuk menikah dengannya!” ucap Briona penuh kemarahan karena Ida begitu menggampangkan keadaan.
“Bri, kamu salah … suami kamu itu…”
“Sudah, cukup! Tante apa gak kasihan sama aku?! Aku tahu, bagaimanapun Kana dan Kinta itu adikku, tapi saat ini aku tak bisa membantu tante. Hidupku saja sudah sulit!” tolak Briona dengan suara parau. Ia begitu marah dan sedih karena semua orang begitu mudahnya melemparkan masalah mereka pada dirinya.
Ida hanya diam saat melihat Briona tak kuasa menahan air matanya. Ia menangis karena merasa tak mampu lagi ditambah masalahnya saat ini.
“Aku masuk dulu ya, Tan. Jam makan siangku sudah selesai. Kalau Tante bertemu ayah nanti tolong sampaikan untuk segera menyelesaikan semua masalahnya, aku sudah tak sanggup menjadi bumper untuk ayah,” ucap Briona sambil menghapus air matanya.
Setelah menenangkan dirinya sesaat Briona segera meninggalkan Ida tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Perasaannya kacau tak karuan dan berusaha untuk mengurai semuanya. Hanya saat bersujud ia bisa mencurahkan segala perasaannya dan memohon pertolongan.
Waktu kerja pun usai, saat Briona keluar dari kantornya, sudah terlihat mobil Gerry yang menunggunya di lobby.
“Mas, lebih baik aku pulang sendiri …,” ucap Briona lirih, ada rasa takut jika Izza tiba-tiba memergoki mereka berdua.
“Sudah, tenang saja. Jika ia ada seperti kemarin, aku akan menghadapinya supaya suamimu itu tahu kalau kita serius dan akan terus bertahan dengan hubungan kita.”
Mobil pun melaju untuk mengantarkan Briona pulang. Gerry sengaja memarkirkan mobilnya dan ikut turun lalu mengajak Briona untuk berbincang di taman yang tak jauh dari lobby apartemennya.
“Lebih baik kamu pulang mas, aku takut kalau tiba-tiba mas Izza datang dan melihat kita.”
“Aku masih kangen sama kamu, rasanya tersiksa setiap berpisah. Kalau bisa aku bersamamu selama mungkin yang bisa kulakukan. Perasaan hatiku panas dan marah membayangkan jika ada pria itu bersamamu!”
“Mas…,”
Gerry menatap Briona yang tiba-tiba memanggilnya dengan pandangan takut kearah belakang tubuh Gerry. Pria itu pun segera menoleh dan seolah bersiap kalau itu adalah Izza. Ternyata bukan, tak jauh dari mereka duduk, terlihat tiga pria yang kemarin datang ke kantor Briona tengah menghampiri mereka berdua.
“Selamat malam mbak Briona,” sapa salah satu dari mereka tampak menyeringai.
Tubuh Briona gemetar ketakutan karena mereka sampai bisa menyusul Briona ke tempat tinggalnya. Gerry segera berdiri di depan Briona mencoba melindungi kekasihnya dari intimidasi preman-preman yang sudah ia duga pasti mencari Agam.
“Mau apa kalian?!” tanya Gerry tegas dan mencoba menunjukan keberaniannya dan tak ingin merasa takut terintimidasi oleh preman-preman itu.
“Malam bos! Bisa bantu kali bos, untuk beritahu dimana keberadaan pak Agam, kalau gak tahu mungkin bisa bantu juga buat lunasin hutang keluarga istrinya,” ucap salah satu preman santai sambil menatap liar ke arah Briona.
“Woi! Mau ngapain loe!” teriakan keras seseorang membuat preman-preman itu dan juga Briona dan Gerry menoleh kearah suara. Ternyata Izza yang berteriak.
Terlihat Izza tengah berjalan tergesa-gesa dengan beberapa pria berpakaian hitam dan berwajah garang. Melihat lebih banyak pria yang bertubuh besar hendak menghampiri mereka, ketiga preman itu segera saling toleh sebelum akhirnya mereka bergerak mundur meninggalkan Briona dan Gerry.
Hanya Izza yang berhenti ditempat Gerry dan Briona, sedangkan beberapa pria berbaju hitam itu segera mengejar preman-preman itu entah kemana.
“Sudah kubilang jangan lagi bertemu kekasihmu ini! Susah banget dibilangin sih?!” ketus Izza menatap Briona kesal.
“Kalau gak ada aku, mungkin Briona bisa apa-apain sama mereka!” bela Gerry sembari mendorong Izza agar mundur dari hadapan Briona.
“Mereka tahu tempat ini pasti karena mengikuti kalian! Apartemen ini sudah tak aman lagi buat Briona! Ayo kita pulang!” ucap Izza keras dan menarik tangan Briona agar berdiri mengikutinya.
“Tidak! Briona tidak akan ikut!” tahan Gerry cepat, ia merasa ketakutan bahwa Izza akan memisahkan Briona darinya.
“ Saranku, lebih baik untuk beberapa bulan ini kalian berdua tak perlu bertemu dulu, kalau bisa tak perlu bertemu lagi! Bukan hanya keselamatan Briona yang dipertaruhkan, tapi juga kamu bisa ikutan terluka!”
“Aku tak peduli! Aku juga bisa melindungi Briona!”
“Ck! Dasar bodoh! Ayo Bri, kita pulang!” umpat Izza segera menarik Briona untuk mengikutinya.
“Lepaskan Briona!”
“Jangan macam-macam kamu! Jika aku berteriak, banyak orang akan datang untuk memukulmu! Aku suaminya dan aku yang berhak atas dirinya!”
“Mas, lebih baik kamu pulang … aku tidak apa-apa…” bujuk Briona pada Gerry sambil ketakutan bahwa Izza akan menyerang kekasihnya. Ia segera mengikuti langkah Izza yang menarik tangannya kuat sambil menatap Gerry kebelakang.
Sesampainya di dalam kamar, Briona segera menghempaskan tangan Izza dan Izza hanya menghebuskan nafas sambil menatap Briona heran.
“Kamu tuh ternyata susah dibilangin ya! Kalau gak ada aku dan beberapa security tadi, bisa habis kalian diintimidasi bahkan bisa digebukin sama mereka kalau Gerry terpancing emosi! Sudah aku bilang, kamu bisa membuat kekasihmu terluka!”
“Tenang saja mas! Dari kemarin aku bisa menghadapi mereka! Sudah biasa di dalam hidupku ketemu preman-preman seperti itu!” pekik Briona histeris, merasa terpojok dan sedikit malu karena ketahuan melanggar perintah Izza.
“Kemarin? Kemarin kamu ketemu mereka dimana?” tanya Izza cepat menatap Briona cemas.
“Di … kantor… mereka ke kantor…” jawab Briona lirih.
Izza segera menarik pinggang Briona agar mendekatinya dan memegang wajah Briona dengan kedua tangannya yang besar.
“Bri, dengar aku … ayah kamu tertangkap oleh salah satu bandar ketika tengah berjudi Genting Highland! Ia melarikan banyak uang untuk bisa berjudi sehingga saat ini ia dicari banyak orang! Aku baru diberi kabar kalau pak Agam sedang dirawat dirumah sakit karena ia terluka parah dipukuli orang. Saat ini kamu harus hati-hati Bri, karena bisa siapa saja datang mencarimu untuk mengintimidasi atau melakukan apapun agar pak Agam membayar hutangnya. Kamu harus percaya sama aku! Saat ini hanya aku yang bisa menjagamu!”
Pandangan Briona berkaca-kaca ketika mendengar ucapan Izza yang terlihat sangat serius berbicara padanya.
“Tinggalkan Gerry, saat ini kamu harus memilih untuk menyelamatkan dirimu dan menyelamatkan dirinya dengan meninggalkanmu.”
Izza segera memeluk Briona saat air mata istrinya tumpah karena sedih harus dipaksa berpisah dengan sang kekasih. Ada rasa kasihan di hati Izza melihat Briona yang seolah tak ada pilihan untuk bisa memilih kebahagiaannya sendiri.
“Walau tak ada cinta diantara kita, tapi kamu masih punya aku, Bri. Aku sudah berjanji untuk melindungimu,” bisik Izza sambil membiarkan kaosnya basah dengan air mata Briona untuk kesekian kalinya.
Bersambung.