Hiro melihat senyum Heri. Entah kenapa ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Mungkin Hiro sudah lama tidak melihat senyum itu. Rasanya benar-benar asing.
"Lo pasti tau penyebab perceraian Mama dan Papa." Heri terdiam sejenak. Matanya tampak berkaca-kaca dan Hiro dapat melihat hal tersebut.
"Papa jahat ya?" ucap Heri. Kali ini senyum yang terbit terlihat sangat dipaksakan.
"Andai aja Papa nggak tergoda sama perempuan lain, mungkin kita nggak bakal pisah. Tapi mau bagaimana lagi. Mama sudah sangat menderita. Bertahan lebih lama hanya akan membuat kejiwaannya rusak."
Hiro setuju dengan apa yang dikatakan oleh Heri. Walau saat itu mereka masih duduk disekolah dasar, tapi mereka cukup tahu tentang apa yang terjadi. Mama dan Papa nya sering bertengkar, bahkan tidak jarang keduanya berkelahi secara fisik. Mungkin Mama sudah sangat lelah mendapat perlakukan kasar sehingga emosi membuat dia menjadi tidak terkendali.
"Hiro, jangan marah sama Mama ya." Heri mengeluarkan air mata, tapi ia dengan cepat menghapusnya.
"Mama nggak punya pilihan lain. Mama cuma bisa bawa gue. Lo tau kenapa?"
Heri terlihat tidak sanggup untuk melanjutkan kata-kata. Bahkan berulang kali ia memalingkan wajah dari kamera yang sedang merekam.
"Kalau Mama bawa lo, Papa ngancam nggak akan melanjutkan pengobatan lo."
Deg. Rasa sesak langsung menghantam d**a Hiro. Sejak kecil, ia sudah mengidap penyakit kelainan jantung. Kehidupan Hiro bahkan lebih banyak berada di rumah sakit karena pengobatan panjang yang ia harus jalani. Pengobatan tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
"Gue cengeng ya?"
Heri menutup wajah dengan kedua tangan. Umur mereka bukan anak-anak lagi, tapi dia tidak bisa untuk menahan diri agar tidak menangis. Hal ini lebih sulit daripada menahan sakit dari luka fisik.
"Mama nggak punya pilihan lain. Mama pergi dengan uang yang hanya cukup untuk hidup. Papa egois, dia selingkuh dan nyakitin Mama tapi dia nggak mau lepasin Mama. Papa memang bisa jadi sosok superhero untuk anaknya, tapi dia bagai moster bagi Mama."
Hiro mengepalkan tangan. Fakta itu membuat dirinya tertampar. Selama ini dia menganggap sosok Mama sebagai orang yang jahat karena dengan tega meninggalkan dirinya.
"Walaupun begitu, Mama janji bakal jemput lo kalau dia udah kumpulin duit sesuai persyaratan yang Papa ajukan. lo tau, selama bertahun-tahun Mama banting tulang agar bisa mengumpulkan uang buat jemput lo. Bukan satu tahun dua tahun, tapi bertahun-tahun. Lo rindu kita, kita juga rindu sama lo. Tiap malam Mama nangis karena rindu sama lo. Bahkan Mama sering kali manggil gue dengan nama lo. Awalnya gue marah karena Mama selalu menyebut nama lo padahal gue bukan lo. Gue iri karena Mama selalu rindu sama lo. Sampai akhirnya gue mengerti. Gue ada di dekat Mama, gue bisa peluk Mama. Bahkan saat gue sakit, Mama jadi orang terdepan untuk gue. Tapi lo nggak ada didekat Mama. Kalau penyakit lo kambuh, siapa yang ngelus d**a lo? Kalau lo takut, siapa yang peluk? Maaf karena gue pernah iri sama lo."
Pernyataan Heri membuat Hiro tidak bisa bernafas dengan baik. Bahkan rasa sesak membuat ia keringat dingin. Jangan tanya sebanyak apa air mata Hiro yang keluar. Hiro kira Mama dan sang kakak hidup bahagia tanpa dirinya. Tapi perkiraannya selama bertahun-tahun adalah sebuah kesalahan besar. Dia terlalu percaya perkataan dari perempuan yang masuk ke dalam kehidupan sang Papa. Sebenarnya Hiro tidak ingin percaya, tapi perempuan itu selalu berkata yang buruk dengan menunjukan bukti yang entah dapat darimana. Saat itu Hiro masih belum bisa berpikir dengan jernih. Kesedihan karena ditinggal membuat ia tidak bisa mengendalikan emosi dan pikiran.
"Kata Papa lo udah sembuh. Saat tau kabar itu, gue sama Mama sangat sangat bahagia. Adik kecil gue akhirnya bisa main dengan bebas. Adik kecil gue bisa lari kesana kesini tanpa takut penyakitnya kambuh. Makasih udah bertahan selama bertahun-tahun. " Heri tersenyum lebar di layar. Bahkan matanya menunjukkan rasa bahagia itu.
"Maaf karena gue dan Mama nggak bisa nemani saat-saat lo berjuang melawan sakit, maaf karena gue dan Mama nggak bisa nemani lo main lagi. Maaf karena Mama nggak bisa ngelus rambut lo saat mau tidur. Mama karena hanya gue yang dibawa oleh Mama. Maaf Hiro... Maaf."
Hiro menggeleng. Tidak seharusnya sang kakak minta maaf karena itu bukanlah kesalahannya atau sang Mama. Jika ada yang disalahkan, maka itu adalah sang Papa dan keadaan.
Heri menangis terisak-isak. Kehidupannya juga sama seperti Hiro walau mereka berada di posisi yang berbeda. Beberapa menit video hanya menampilkan Hiro yang tengah menangis.
"Sebelas tahun Mama kumpulin uang buat jemput lo. Bahkan supaya uang cepat terkumpul, Mama makan ala kadarnya dan Mama selalu memberi makanan terbaik untuk gue. Mama kita kuat ya Ro? Nggak ada cinta makhluk yang lebih besar di dunia ini untuk kita kecuali Mama," lanjut Heri.
Hiro mengangguk. Papanya pasti minta uang dengan jumlah yang tidak sedikit. Apa Papanya tidak punya hati? Kenapa dia membuat mereka bertiga menderita?
"Nyatanya setelah uang hampir terkumpul, Mama sakit. Mungkin tubuhnya memaksa Mama untuk istirahat karena sudah sangat dipaksakan. Mama mengidap kanker perut. "
Tubuh Hiro membeku. Dia tidak tahu jika sang Mama sakit. Tangisnya semakin terisak-isak. Bahkan bibirnya memanggil sang Mama walau tidak ada jawaban sama sekali.
"Takdir lucu ya Ro? Kenapa bukan Papa yang sakit? Kenapa harus Mama? Papa yang jahat sama Mama tapi kenapa malah Mama yang sakit?"
Hiro tersenyum kecut sambil mencengkram dadanya kuat-kuat. "Papa juga sakit, Bang. Papa mengidap HIV," balas Hiro. Walaupun Heri hanya memberikan ia sebuah video, tapi Hiro merasa sedang berhadapan dengan sang kakak.
"Uang yang susah susah dikumpulkan oleh Mama buat jemput lo harus terpakai untuk biaya pengobatan Mama. Awalnya Mama nggak mau, tapi gue memaksa karena kondisi Mama tidak baik-baik saja. Mama setuju setelah gue bilang kalau mama tetap nolak, gue bakal potong leher gue sendiri di depannya. Nyatanya gue juga sama kayak Papa, gue ngancam Mama agar mau melakukan apa yang gue mau. Gue jahat sama Mama, tapi gue nggak punya jalan lain. Pikiran gue kalut, gue hanya mau Mama sembuh. Setelah Mama sembuh, gue janji bakal ganti uang yang udah dipakai buat jemput lo."
Tubuh Hiro serasa hancur lebur. Isak tangis mengisi ruangan yang sunyi. Ia tidak bisa untuk berpura-pura kuat. Apa yang dikatakan oleh sang kakak sungguh membuat jiwanya menghilang entah kemana.
"Tapi sebelum gue nepatin janji itu, Mama udah nggak ada. Tiga tahun Mama bertahan dengan penyakitnya. Berulang kali ia menjalani operasi dan pengobatan lainnya. Perlahan-lahan uang menipis dan pengobatan Mama tetap harus berjalan. Gue nggak tau cari uang kemana lagi. Walaupun gue benci sama Papa saat itu, tapi untuk Mama gue menahan rasa benci itu. Gue coba hubungi Papa untuk minta uang, tapi gue nggak bisa hubungi Papa. Gue nggak bisa cari Papa. Papa nggak tinggal dirumah lama lagi."
Tanpa Heri ketahui, saat itu Papa mereka sudah tidak ada lagi.
"Gue kalut Ro, Mama ingin berhenti menjalani pengobatan apalagi kankernya udah menyebar kemana-mana. Gue nggak mau itu terjadi. Gue berusaha cari cara agar bisa dapatin uang. Saat itu, gue sendiri Ro. Gue takut. Jika Mama nggak ada, apa gunanya gue hidup lagi?"