Flashback “Dari Heri”

1485 Words
"Papa..." "Eh eh, jangan keluar." Keterkejutan Hiro langsung buyar karena melihat Alan mendekat ke arahnya. Ia sengaja tidak menutup pintu terlalu sempurna agar bisa mendengar suara dari dalam kamar. "Papa..." Alan kembali memanggil Hiro. "Iya kenapa?" Hiro buru-buru menyimpan kertas ke dalam saku celana. Ia juga melepas sarung tangan dan meletakkan di atas meja yang ada di balkon kamar. "Papa bilang jangan keluar." Hiro khawatir dengan sistem kekebalan tubuh sang anak. Apalagi Alan hanya menggunakan popok. Bajunya entah kemana, padahal beberapa waktu yang lalu masih terpasang. "Au andi," pinta Alan. "Tadi Papa ajakin mandi nggak mau." Hiro tertawa kecil karena mendengar permintaan sang anak. "Andi, Pa!" "Iya iya. Mandi." Hiro langsung mengangkat tubuh sang anak. Sebelum membawa Alan ke kamar mandi, Hiro melangkah ke arah dapur lebih dulu. Ia masih ingat jika ada beberapa helai pakaian yang belum masuk ke dalam mesin cuci. Hiro menyelesaikan terlebih dahulu sedangkan Alan yang baru ditinggal sebentar sudah asik main air. Kerepotan Hiro pagi ini kembali bertambah. Lantai yang awalnya tidak basah, tetapi kini sudah basah karena sang anak. Entah butuh beberapa detik bagi Alan untuk membuat lantai menjadi basah. Hiro hanya bisa tersenyum dan melarikan sang anak ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. "Alan anak siapa?" tanya Hiro sambil memandikan sang anak. Dia sudah belajar dari suster yang ada di rumah sakit jadi memandikan sang anak bukan lagi menjadi hal yang sulit. "Papa. Alan nak Papa," jawab Alan. Senyum hero mengembang, walaupun Alan bukan darah daging nya sendiri tetapi Hiro sangat menyayangi dirinya. Hero kembali mengajukan pertanyaan kepada Alan. Anak papa sayang siapa Alan tertawa sampai giginya terlihat anak papa dong jawabnya lagi dan lagi hero tersenyum mendengar jawaban Sang anak Agar kasih sayang Sang anak tidak hanya sepihak maka hero membalas dengan mengatakan papa juga sayang sama hero tentu saja akhirnya tersenyum lebar saat mengatakan itu Hera kembali melanjut kan memandikan Alan berhubung Alan masih kecil maka hero hanya mengusap pelan tubuh Sang anak karena tubuhnya belum there seperti orang dewasa pada umumnya. "Akhirnya selesai mandi juga. Anak Papa udah nggak bau lagi." Hiro mengecup kedua pipi sang anak. Mungkin karena geli dengan kumis tipis yang tumbuh di atas bibir Hiro, Alan berusaha untuk menghindar. "Angan, Pa," rengek Alan. Hiro tertawa karena tingkah menggemaskan Alan. Ia membalut tubuh Alan dengan handuk agar tidak kedinginan. Berhubung masih pagi maka Hiro memandikan Alan dengan air hangat. "Baring sini." Hiro menepuk ranjang. Alan langsung naik ke atas ranjang. Walaupun butuh usaha ekstra, Alan tetap bisa naik ke atas ranjang. Hiro hanya memperhatikan sang anak tanpa ada niat untuk membantu. Berhubung ranjangnya tidak terlalu tinggi, jadi ia kira tidak masalah. Apalagi ada karpet lembut yang melapisi lantai di dekat ranjang. "Pakai popok aja ya," ucap Hiro. Semu celana sang anak sudah kotor. "No." Alan menolak. "Lihat ini, ada gambar kelinci." Hiro menunjukkan gambar agar Alan tertarik dan tidak menolak menggunakan popok. Alan membuang muka. Hiro sempat tidak percaya, apa anaknya memang berumur dua tahun? Kenapa tingkahnya seperti bukan anak yang berumur dua tahun? "Kelincinya lucu, warna biru lagi." Sebenarnya tidak ada yang spesial dari gambar kelinci tersebut. Hanya saja Hiro berusaha untuk membuat sang anak tertarik. "Ana?" Cara Hiro sedikit berhasil, Alan tidak membuang muka lagi. "Ini, lucu kan?" Alan melihat gambar kelinci dengan seksama. Hiro dapat melihat jika sang anak sedikit tertarik. Dia tidak mau menyia-nyiakan waktu sehingga langsung membujuk agar Alan mau untuk menggunakan popok. Hanya untuk memasangkan popok dan baju, Hiro butuh banyak waktu. Sepertinya ia masih perlu banyak belajar. Bahkan mengurus dan memahami sang anak jauh lebih sulit daripada pekerjaannya sendiri. Setelah memandikan sang anak, Hiro membuatkan s**u. Suasana sedikit lebih kondusif sehingga Hiro bisa mengerjakan pekerjaan lain. Pakaian kotor milik sang anak sudah dicuci bersih. Kini Hiro menjemurkan satu persatu di balkon. Ia harap pakaian tersebut bisa segera kering. "Papa, au itu." Alan menunjuk minuman kaleng yang biasa diminum. "Nggak boleh, itu minuman orang dewasa." Hiro memindahkan dengan cepat minuman kaleng tersebut ke tempat yang lebih tinggi di dalam kulkas. Jika tidak, Alan bisa mengambilnya dengan mudah. Minuman kaleng tersebut tidak cocok untuk anak kecil. "Au itu." Alan merengek. "Papa bilang nggak boleh." Padahal Hiro membuka kulkas untuk mengambil minuman dingin, tapi ternyata sang anak malah mengikuti dirinya. "Au itu, Pa." "Ambil sendiri," balas Hiro pada akhirnya. Ia rasa sang anak tidak akan bisa mengambil. Meskipun begitu, Hiro tetap memperhatikan Alan. Apa yang akan dilakukan sang anak? Senyum Hiro terbit dengan sendirinya. Ia melihat Alan berusaha mendorong kursi meja makan. Jika hanya kursi plastik, maka Alan bisa mendorongnya. Tapi kursi tersebut terbuat dari kayu dan tentu saja berat bagi anak umur dua tahun. "Berat," ucap Hiro. Hal itu tidak didengar oleh Alan sama sekali. Ia masih berusaha mendorong dengan sekuat tenaga. Hiro tidak lagi tersenyum, tetapi ia sudah tertawa karena melihat sang anak yang pada akhirnya menyerah. "Papa udah bilang berat, masih juga didorong." Hiro langsung menggendong tubuh sang anak. "Ulun, Pa. Ulun..." Alan tidak mau digendong karena masih ingin mendorong kursi. Meskipun begitu, Hiro tidak mau menurunkan sang anak. Area dapur terlalu berbahaya. Ia membawa Alan ke dalam kamar. *** Keadaan hening karena jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Malam ini Alan tidak terlalu sulit untuk ditidurkan. Mungkin karena seharian sudah menghabiskan banyak tenaga. Sebelum bangkit dari ranjang, Hiro mengecup pelan pipi Alan. Senyum terbit begitu saja melihat wajah Alan yang tampak damai. Entah sudah berapa banyak senyum yang muncul karena kehadiran Alan dalam hidup Hiro. Ia tidak bisa menghitung hal tersebut karena sebuah senyuman terbit dengan sendirinya tanpa dibuat-buat. Hiro duduk di depan laptop yang sudah menyala. Ia membuka laci untuk mengambil sesuatu. Hiro terdiam beberapa detik. Kertas itu berisi beberapa karakter yang tersusun membentuk semua informasi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" Hiro berbicara sendiri. Pikirannya dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Tapi ia tidak bisa mengajukan pertanyaan itu kepada orang lain. "Wyuinbvtyuxxx0124nhudysyheysjhhuhatahsg" "Yhdfsgrbbbbczzzz" "23vgh1adsgsr" Mata Hiro tidak lepas dari kertas yang ada di tangannya. Di dalamnya ada sesuatu yang membuat jiwa Hiro semakin penasaran. Tangan Hiro bergerak menekan keyboard. Tapi apa yang ia ketika tidak menampilkan hasil apa-apa. Dia yakin, ada maksud tersembunyi dari huruf yang tersusun berantakan itu. Hiro memijat pangkal hidung. Ia mencoba untuk menguras kemampuan otaknya untuk memahami apa maksud dari kode tersebut. "Enkripsi?" lirih Hiro dengan sebelah alis terangkat. Enkripsi adalah proses pengkonversian informasi ke dalam kode rahasia. Walaupun Hiro tidak begitu yakin, tapi ia mencoba untuk memecahkan kode tersebut dengan berbagai macam teknik. Hal itu tidak mudah, bahkan beberapa kali Hiro mengacak rambut karena tidak menyelesaikan pemecahan kode tersebut. Waktu terus berjalan, sudah tiga jam waktu berlalu dan Hiro masih kesulitan. Ia mengambil ponsel dan ingin menghubungi seseorang. Tapi belum sempat melakukan panggilan, Hiro lebih dulu meletakkan kembali ponsel ke atas meja. Jika kode itu memang tertuju untuk dirinya, pasti Hiro bisa untuk memecahkannya. Usaha Hiro tidak sia-sia, akhirnya ia bisa memecah kode tersebut. Ternyata kode itu memuat sebuah link. Hiro bisa masuk ke dalam link yang masih bersifat abu-abu dengan username dan juga password. Mulut Hiro sampai menganga saking tidak percayanya. Link bisa diakses dan ia menemukan beberapa video dan juga foto yang tersimpan disana. Penyimpanan dengan keamanan tingkat tinggi. Hiro mencoba untuk membuka satu persatu video tersebut. Ujung bibirnya terangkat ke atas karena video tersebut menampilkan Alan saat berumur beberapa bulat. Hiro membuka satu persatu video, ia bahkan mengetahui bagaimana wajah kakak ipar atau ibu kandung Alan. Jika orang tua Alan masih hidup, pasti keluarga mereka menjadi keluarga yang bahagia. Senyum Hiro berubah ketika video selanjutnya berputar. Baru beberapa detik, air matanya mengalir. Disana ada video sang Mama yang sudah tidak ia lihat belasan tahun lamanya. Walaupun ada rasa marah dalam dirinya, tapi rasa rindu mengalahkan itu semua. Mamanya sangat cantik. Apalagi saat tersenyum. Hiro memandang dalam video yang berputar. Entah berapa lama durasi dari video tersebut. Namun, Ia menginginkan durasi itu menemani seluruh waktu kehidupannya. Tiba-tiba suara Heri muncul bersama orangnya. "Apa kabar?" Hiro tersenyum kecut. "Lo pasti benci sama gue." Heri bisa menebaknya. "Baiklah, walaupun lo benci tapi gue sayang." Hiro ingin tertawa. Malam ini semua emosi muncul baik itu sedih, marah, senang dan lain sebagainya. "Video ini gue buat entah untuk apa. Tapi gue yakin pada akhirnya Video ini bisa lo lihat. Gue pintar dan lo lebih pintar dari gue." "Terlalu percaya diri," komen Hiro. "Gue cerita mulai dari mana ya?" Heri tampak bingung. Padahal itu video yang direkam beberapa bulan yang lalu. Ada informasi di layar kapan video itu di ambil. Tapi Hiro merasa Heri berada di depannya. "Enam belas tahun gue berpisah dari lo. Apa gue senang? Tentu aja nggak. Kita berada di rahim yang sama selama sembilan bulan lebih. Kita berbagai makanan dari Mama. Apa hubungan kita hanyalah saudara biasa? Gue jawab enggak. Kita punya ikatan. Gue ngerasain hal itu. Waktu berpisah, gue sakit selama bertahun-tahun. Gue harap lo nggak." Tubuh Hiro membeku. "Kenapa Mama cuma bawa gue? Mungkin ini yang lo pertanyakan dari dulu. Mungkin terlambat cukup lama, tapi Setelah gue jawab seharusnya lo nggak akan benci sama Mama lagi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD