Hiro berdiri di balkon sambil melihat langit yang dipenuhi oleh banyak bintang. Sepertinya cuaca malam ini sangat cerah sekali. Namun hal itu tidak berbanding lurus dengan keadaan Hiro sekarang. Pikirannya benar-benar kalut. Hiro hanya bisa menghisap rokok sambil memikirkan banyak hal. Sesekali ia menatap ke dalam kamar untuk memastikan Alan masih memejamkan mata.
Hiro sudah menceritakan kepada teman-temannya yaitu Agam, Lp, Zero dan Yu tentang apa yang terjadi. Walaupun Hiro ingin menyembunyikan cerita dibalik hadirnya Alan, tapi teman-temannya tidak bisa diakali. Mereka terlalu pintar, sehingga mau tidak mau Hiro menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Entah sudah berapa jumlah puntung rokok yang terbakar, Hiro seakan tidak peduli. Padahal ia bukan tipikal orang yang candu pada nikotin tersebut. Tapi ada kalanya ia menghisap beberapa puntung rokok tanpa sadar. Buktinya sekarang, ia hanya bisa duduk dengan keadaan hening. Meskipun begitu, siapa sangka isi kepalanya seperti sedang berperang. Ya begitulah laki-laki. Jika ada masalah, mereka hanya diam tanpa mengumbar kesana kesini apalagi bercerita kepada orang-orang. Mungkin karena laki-laki memang diciptakan seperti itu.
Aktivitas di balkon harus terhenti karena Hiro melihat sang anak menggeliat di dalam tidurnya. Ia buru-buru mematikan puntung rokok yang masih panjang dan melangkah masuk ke dalam kamar. Suara tangis Alan langsung menyapa telinga Hiro. Jika berada di balkon ia tidak terlalu mendengar suara tangis sang anak karena pintu tertutup rapat.
"Kenapa?" tanya Hiro sambil mengambil tubuh sang anak untuk digendong.
Alan hanya menangis. Hiro berusaha untuk menenangkan sang anak dengan mengelus punggungnya dengan pelan. Padahal Hiro masih sangat pusing, tapi ia harus memprioritaskan sang anak dibanding yang lain. Segala kelelahan harus dikubur dalam-dalam.
"Papa disini," ucap Hiro. Saat dirawat di rumah sakit, Alan juga sering menangis secara tiba-tiba di malam hari. Dokter mengatakan jika psikis Alan masih belum stabil. Alam bawah sadar Alan masih merekam dengan jelas kecelakaan yang terjadi.
Hiro membawa Alan keluar menuju balkon, kali saja sang anak bisa berhenti. Padahal jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Tubuh Alan ditutupi dengan selimut tebal agar tidak terkena angin malam.
Bukannya berhenti, Alan semakin kuat menangis. Hiro kembali masuk ke dalam kamar. "Alan buang air?" Hiro menyentuh popok sang anak. Kali saja popoknya sudah penuh sehingga merasa tidak nyaman. Setelah diperiksa ternyata tidak, popok yang dipakai Alan masih aman.
Kepala Hiro tambah pusing, entah sampai mana batas kesabarannya untuk menghadapi sang anak.
"Alan kenapa?" Hiro mendudukkan sang anak di tepi ranjang sedangkan ia berjongkok agar tubuhnya sejajar dengan sang anak.
Tangan Alan bergerak-gerak seakan meminta agar Hiro kembali menggendong dirinya. Hiro bukan tidak mengerti dengan bahasa tubuh sang anak. Tapi ia tidak mengikuti kemauan Alan.
"Mau mimik?"
Alan menggeleng. Dia masih menangis sembari menyebut-nyebut papa. Melihat sang anak yang tidak kunjung berhenti menangis, Hiro memilih untuk menggendongnya kembali. Dia bergerak kesana kesini agar sang anak bisa segera berhenti menangis. Entah butuh berapa lama, tapi saat mata Hiro menatap jam yang terpajang di dinding kamar, ia hanya bisa menghela nafas panjang. Kurang lebih satu jam sang anak baru berhenti walau sisa-sisa tangis itu masih ada. Kepala Alan berada di bahu sedang tangannya melingkar pada leher Hiro.
"Mik, Pa." Alan bersuara dengan nada serak.
"Mau mimik?"
"Iya."
Hiro melangkah ke dapur sambil menggendong sang anak. Alan tidak ingin turun dan hanya ingin lengket dengan sang papa. Perlahan-lahan namun pasti, Hiro sudah terbiasa membuat s**u untuk sang anak. Biasanya ia masih ragu-ragu apa air yang tuang sudah sesuai takaran atau belum. Tapi kini ia sudah sangat yakin jika air yang dituang sudah pas dengan bubuk s**u yang ada di dalam botol s**u tersebut.
Alan kembali ke kamar. Ia menurunkan sang anak di atas ranjang. Alan terbiasa minum s**u sambil berbaring. "Kenapa bangun?" tanya Hiro. Padahal s**u sang anak masih ada.
"Pis," jawab Alan.
"Ya udah, pipis aja." Berhubung Alan memakai popok, jadi tidak masalah jika buang air tanpa ke kamar mandi.
"Ndak auu."
"Alan kan pakai popok. Jadi nggak perlu buka celana." Hiro memberi penjelasan kepada sang anak.
"Ndak auu. Pis, Pa." Alan ingin menangis kembali dan Hiro dengan cepat mencegah hal itu.
"Ya udah, buka celananya." Hiro membiarkan sang anak membuka celana sendiri. Sesekali ia juga membantu jika sang anak kesulitan. Seperti sekarang karena sang anak menggunakan popok, maka Hiro membantunya.
Setelah membuka celana dan popok yang masih bisa menampung cairan dengan jumlah banyak, Alan berlari kecil ke kamar mandi. Hiro mengikuti dari belakang. Sang anak ingin buang air dengan berdiri, Hiro langsung melarangnya. Ia ingat bagaimana Yusuf (Anak Agam) dididik oleh orang tuanya untuk tidak buang air kecil dengan berdiri.
Alan cukup mengerti, dia berjongkok dan buang air kecil. Hiro menunggu karena sang anak belum bisa mencuci sendiri. Perlahan-lahan, Hiro akan berusaha mengajarkan sang anak.
"Ndak au akai!" Alan membuang popok baru yang ingin dipasang oleh Hiro.
"Alan!" tegur Hiro. Dia tidak suka sang anak buang-buang barang seperti sekarang. Sebenarnya bukan kali ini saja, tapi sebelumnya juga pernah. Jika tidak ditegur, Hiro takut Alan akan memiliki sifat buruk. Tapi ia juga belum mengerti bagaimana cara baik untuk memberitahu kepada sang anak apa yang dilakukannya itu adalah perbuatan yang tidak baik.
Mimik wajah Alan langsung berubah. Bahkan ia melangkah ke sudut kamar dengan wajah mengarah ke dinding. Entah apa yang Alan lakukan, Hiro hanya bisa memijat pangkal hidung. Mengurus anak bukanlah sebuah beban, hanya saja Hiro yang belum mengerti.
"Ayo pakai celana," bujuk Hiro.
Alan hanya diam. Hiro mencoba untuk mendekat ke arah sang anak. "Alan marah sama Papa?"
Alan masih tidak menjawab.
"Papa minta maaf, tapi Alan nggak boleh lempar-lempar barang kayak tadi." Hiro menyentuh punggung sang anak.
"Papa jadi sedih kalau Alan kayak gini." Hiro pura-pura menangis di dekat sang anak. Cara ini lumayan ampuh karena Alan langsung berbalik. Kini sang anak sudah mau berbicara dengan Hiro, bahkan meminta maaf.
Walaupun butuh waktu, setidaknya Alan tidak berdiri di sudut kamar lagi. Hiro tidak memaksa Alan untuk memakai popok. Setelah celana terpasang, Alan berbaring diatas ranjang. s**u yang masih tersisa ia habiskan. Hiro menepuk pelan tubuh sang anak agar bisa kembali memejamkan mata. Tidak lama setelah Alan menuju alam mimpi, Hiro juga menyusul. Dia benar-benar lelah dan tubuhnya butuh istirahat.
Keesokan harinya, Hiro benar-benar harus menahan diri agar tidak melampiaskan kemarahan dan kekesalan kepada Alan. Bayangkan saja, sang anak mengompol sehingga membuat bed cover menjadi basah. Bahkan kain yang dikenakan Hiro juga ikut basah. Meskipun ada rasa kesal, tapi Hiro tidak bisa marah kepada sang anak. Apalagi melihat wajah menggemaskan sang anak.
Hiro membawa bedcover ke dalam kamar mandi untuk disiram. Setelah itu ia baru menghubungi laundry langganan untuk menjemput. Biasanya Hiro mengantarkan sendiri, tapi ia tidak bisa meninggalkan sang anak sendiri di apartemen. Jika pergi, Hiro tidak bisa menggunakan sepeda motor. Sedangkan Alan tidak bisa masuk ke dalam mobil. Posis Hiro jadi serba salah.
"Mandi dulu, udah bau pesing. " Hiro mengeluarkan pakaian sang anak dari dalam tas. Dia tidak pernah membongkar dua tas tersebut karena tidak sempat. Kali ini Hiro membongkar untuk mencari celana dalam sang anak yang mungkin ada karena stok yang dibeli oleh Hiro sudah kotor.
"Awa bebek ya, Pa." Alan memegang dua mainan bebek yang entah dapat dari mana.
"Iya."
Hiro mengeluarkan beberapa helai pakaian sang anak. Dia mengecek takut dipakaian tersebut ada darah yang menempel. Pakaian Alan masih terlihat sangat bagus. Saat mengeluarkan pakaian, Alan malah ikut membantu dengan mengambil beberapa pakaian dan membawanya berlari-lari. Hiro tidak melarang selama tidak kelewatan dan membahayakan sang anak. Nanti jika sudah lelah, pasti Alan akan berhenti sendiri.
Apa yang diperkirakan oleh Hiro benar, Alan sudah anteng duduk di atas ranjang sambil menonton televisi. Kini Hiro memungut pakaian yang berserakan di atas lantai.
Sebenarnya pakaian itu tidak kotor, tapi Hiro tidak ingin memakaikan langsung kepada sang anak. Ia takut jika ada kuman atau bakteri yang menempel disana.
"Jangan kemana-mana, Papa mau cuci pakaian sebentar."
"Iya." Alan menjawab tapi matanya terus mengarah ke televisi.
Hiro mulai memasukkan helai demi helai pakaian ke dalam mesin cuci. Tapi sebelum itu, ia membaca informasi yang ada di label informasi pakaian. Informasi itu berisi bagaimana cara memelihara pakaian agar tetap memiliki kualitas yang baik.
Awalnya semua masih aman, tapi ada satu hal yang mengganjal. Label informasi yang ada di satu pakaian terlihat sedikit tebal. Insting Hiro cukup kuat padahal jika dilihat dengan kasat mata tidak ada yang aneh. Namun ketika dipegang dan diteliti dengan jeli, ada hal yang mengganjal. Hiro mengambil pisau dan mengunting label pakaian tersebut. Banyak pikiran aneh yang muncul, apalagi pakaian itu milik sang anak. Jika memang hal buruk, Hiro akan mencari tahu perusahaan yang memproduksi pakaian tersebut.
Hiro sedikit terkejut karena mendapati kertas di dalam label informasi tersebut. Sebelum membuka kertas yang baru ia dapat, Hiro berlari ke kamar. Ia mengambil ponsel dan mencari informasi perusahaan yang memproduksi pakaian milik sang anak. Tidak ada hal aneh atau track record yang buruk dari perusahaan tersebut. Lantas kenapa ada kertas yang tersembunyi di label informasi?
Rasa penasaran Hiro semakin menjadi-jadi. Dia ingin membuka untuk melihat apa isinya. Tapi sebelum itu, Hiro menggunakan sarung tangan. Ia juga membukanya di balkon kamar untuk menghindari hal buruk yang terjadi.
Sedikit takut tapi Hiro tidak bisa merendam rasa penasaran. Ia berhasil membuka dan kertas kecil itu berisi tulisan.
"Halo Hiro, gue tau lo bakal dapat kertas ini."
Hiro sangat terkejut. Apalagi ada namanya di kertas tersebut.