Seperti Keluarga kecil

1527 Words
Hiro hanya bisa melihat dua manusia dengan perbedaan umur yang sangat jauh tengah menikmati makanan di meja makan. Ya, dia hanya melihat saja. Tenang saja, Hiro tidak akan mengemis sarapan walaupun perutnya sedikit lapar. Lebih baik kelaparan daripada meminta makanan pada perempuan yang tidak ada basa basinya untuk mengajaknya makan bersama. Raut wajah Hiro terlihat sedikit masam. Dia seperti figuran yang tidak terlihat di apartemennya sendiri. Suara orang memanggil terdengar. Hal ini dikarenakan pintu apartemen yang terbuka. "Ada orang di luar," ucap Hana sambil meliriknya. Hanya sebentar, setelah itu ia terlihat tertawa bersama Alan. Entah apa yang lucu, tapi Alan juga ikut tertawa dengan lepas. Anaknya benar-benar terperangkap ke dalam pelet Hana. Walaupun ada yang memanggil di depan, Hiro tidak bergegas untuk melangkah ke depan. Ia malah berdiam sambil melihat Alan dan juga Hana. "Kenapa diam?" tanya Hana . "Hahaha." Hiro tertawa palsu. Kening Hana langsung berkerut. Tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba Hiro mengeluarkan tawa palsu yang sangat mengertikan. "Masih sehat?" tanya Hana. Hiro tidak merespon. Ia berlalu pergi meninggalkan Hana dan Alan menuju ke pintu depan. Kepergian Hiro membuat Hana menggelengkan kepala. Satu kata yang menggambarkan Hiro bagi Hana, yaitu aneh. "Papa kamu kenapa, Alan?" tanya Hana kepada sang anak. Dia tidak serius bertanya, hanya iseng saja. "Papa kenapa, Ma?" Alan malah balik bertanya. Hana mengecup kedua pipi Alan dengan gemas. "Papa kamu aneh," lirih Hana. "Papa aneh." Alan mengikuti perkataan Hana. Hana menutup mulutnya sendiri. Bisa-bisanya ia mengatakan hal-hal yang tidak pada tempatnya. Walaupun Hana sedikit tidak suka dengan Hiro, tapi dia tidak akan mengajarkan hal buruk kepada Alan. "Bukan bukan, Papa baik." Hana dengan cepat mengoreksi. "Papa baik." "Iya, Nak. Papa baik." Hana bersyukur setidaknya Alan masih bisa mengikuti arahannya. "Papa anteng uga." Hana terdiam beberapa detik, setelah itu ia terpaksa tertawa karena Alan mengatakan Papa ganteng sambil tersenyum lebar. "Ganteng darimana?" ucap batin Hana. Di pintu masuk berdiri seorang laki-laki dengan pakaian rapi. Bahkan aroma tubuhnya begitu menyengat. Hiro sampai menutup sedikit hidung karena tidak nyaman dengan aroma tersebut. Bukannya bau, tetapi kelewat harum sekali. "Masuk," ucap Hiro. "Baik, Pak." Ternyata orang yang datang adalah Dimas. Ia masuk dengan senyum lebar. "Alan mana, Pak?" Hal pertama yang selalu Dimas pertanyakan. Hiro tidak menjawab. Ia melangkah masuk diikuti oleh Dimas. "Mama mau ituuu," teriak Alan. "Mama?" beo Dimas yang mendengar suara teriakan Alan. Hiro langsung memberikan tatapan tajam kepada Dimas. Tatapan itu membuat Dimas selalu ingin meminta maaf, padahal ia tidak melakukan kesalahan. "Maaf, Pak." "Yang mana?" Hana baru selesai mencuci tangan. Sedangkan Alan sudah berdiri di kursi kecil sambil menunjuk sesuatu di laci paling atas bufet. "Ituuu Ma..." Hana langsung bergegas untuk mengambil barang yang diinginkan oleh Alan. Berhubung barang tersebut berada di tempat yang cukup tinggi, Hana juga tidak bisa menggapainya. "Ck, pendek malah sok-sokan mau ngambil." Hiro berceletuk sendiri. "Biar saya saja, Pak." Dimas yang berada di samping Hiro langsung mengajukan diri. "Ah, sa-saya juga tidak sampai kayaknya, Pak," ucap Dimas lagi karena melihat tatapan suram dari Hiro. Apa tahun depan Dimas mengajukan pergantian atasan saja? Lebih baik menjadi sekretaris Agam daripada Hiro. Mana tatapan sang atasan selalu membuatnya merinding tidak jelas. Hiro bergerak langsung mendekati Hana dan Alan. "Awas," ucapnya. Hana langsung bergeser agar Hiro bisa dengan mudah menggapai apa yang diinginkan sang anak. Ternyata barang tersebut adalah mobil-mobilan yang diberikan oleh Yusuf beberapa hari yang lalu. Alan tampak senang saat memegang mobil-mobilan tersebut. "Yah, harusnya si bos berdiri di belakang biar kayak drama-drama gitu." Dimas sedikit kecewa. Padahal adegan romantis bisa saja terjadi walau Dimas tidak tahu siapa perempuan yang ia lihat itu. "Bilang apa sama Papa?" tanya Hana. "Maacih, Papa." "Iya sayang." Hiro mengecup pucuk kepala Alan. Dimas mengaitkan kedua tangan. Matanya berkedip beberapa kali. "Romantis sekali," ucapnya. Padahal baru beberapa detik yang lalu merasa sedikit kecewa tapi sekarang sudah hilang. "Siapa yang datang?" tanya Hana sambil melirik Dimas. Dimas langsung maju beberapa langkah. "Ma-maaf, Bu. Perkenalkan saya Dimas, sekretaris sekaligus asisten Pak Hiro." Dimas mengulurkan tangan di depan Hana. Uluran tangan itu disambut oleh Hiro. "Mana makanan saya?" tanyanya. Dimas buru-buru melepaskan tangan dari sang bos. "Ini, Pak." Ia menyerahkan plastik yang berisi makanan. Hiro menerima plastik tersebut. "Isinya sarapan, kopi sama bubur bayinya, Pak," jelas Dimas lagi. Hiro meletakkan plastik di meja makan. Ia memang meminta tolong kepada Dimas untuk dibelikan sarapan dan bubur bayi. "Terima kasih." "Iya, Pak sama-sama." "Bubur bayi buat siapa?" Hana menyusul Hiro ke meja makan. "Alan." "Kedepannya tidak usah beli diluar." "Ok." Hiro tidak membantah karena membuat sendiri lebih baik daripada membelinya di luar. Apalagi jika menyangkut soal Alan. Diam diam Dimas melirik Hana. Dia berusaha memahami situasi yang terjadi. "Mama Alan kapan datangnya, Pak?" tanya Dimas berbasa basi. Hana dan Hiro sama-sama melihat ke arah Dimas. Tiba-tiba tubuh Dimas menjadi beku. Mana tatapannya tidak bisa diajak bekerja sama. "Ma-maaf, Pak." Dimas memukul pelan mulutnya sendiri. "Kamu udah sarapan?" "Udah, Pak." "Yakin?" Hiro merasa tidak yakin. "Yakin, Pak." "Tidak usah sungkan, anggap saja saya tidak ada," celetuk Hana. Ia takut membuat suasana menjadi tidak nyaman. Dimas menyengir dengan terpaksa. Menganggap tidak ada katanya? Dimas mana bisa melakukan itu. "Masih lapar?" tanya Hiro. Dimas terdiam. Hiro langsung menyuruh Dimas untuk duduk dan juga sarapan. "Buat saya, Pak?" Dimas seperti tidak yakin. "Menurut kamu buat siapa lagi?" "Buat istri Bapak." Dimas melirik Hana. "Dia sudah makan. Ya sudah kalau kamu tidak mau." Hiro ingin mengambilnya kembali. Entah kenapa Dimas menganggapnya sudah menikah. Padahal dia paling tahu tentang identitas Hiro yang belum pernah menikah. "Sa-saya mau, Pak." Dimas segera membuka sarapan sebelum diambil oleh Hiro. Hana meninggalkan Dimas dan Hiro dimeja makan. Ia memilih untuk bermain bersama Alan di ruang keluarga. Padahal Hana baru pertama kali datang, tapi ia bergerak ke sana ke sini di dalam apartemen. Hiro selesai menghabiskan sarapan. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah pukul delapan lewat. "Hari ini ada agenda apa?" tanya Hiro. "Saya?" Hana menunjuk dirinya sendiri. Ia takut jika salah mengira. Bisa saja Hiro bertanya kepada orang lain walau di sana hanya ada dirinya dan Alan. "Ck, orang aneh." Mata Hana langsung melotot. "Ada agenda apa tidak?" Hiro kembali bertanya. Hana berpikir sejenak. Rencananya ia ingin mengajukan lamaran kerja hari ini. "Hanya ingin mengajukan lamaran pekerjaan," jawab Hana. "Online atau offline?" "Online." "Baguslah. Saya titip Alan sebentar." "Oke. Saya bawa Alan ke kos saya." Hiro tidak setuju. Ia belum tahu bagaimana kondisi tempat tinggal Hana. Bagaimana tempat tinggal Hana yang baru tidak aman untuk anak kecil? Hiro meminimalisir keburukan yang bisa saja terjadi. "Tapi saya tidak bawa laptop." Hiro membuka tas dan mengeluarkan laptop pribadi yang sering ia gunakan jika keluar. "Pakai ini," ucapnya. "Kamu percaya sama saya?" Hana cukup terkejut karena Hiro langsung memberikan laptopnya begitu saja. Apalagi harganya tidak murah. "Kamu boleh bawa kabur apapun dari rumah ini, tapi jangan bawa Alan." Hiro lebih mementingkan Alan daripada apapun. "Baiklah, saya pinjam sebentar." Hana mengambil laptop tersebut. "Setelah saya pergi, tutup pintu. Jangan buka kalau ada orang yang datang." Tentu saja Hiro ingin menjaga keamanan Alan. Penculikan anak semakin hari semakin berkembang. "Kalau kamu?" "Saya bisa masuk sendiri tanpa dibuka dari dalam." Hana mengangguk. Hiro mendekat pada Alan. "Papa kerja dulu, hari ini Alan main sama Mama." Alan mengangguk. "Jangan nangis kalau Papa nggak ada." "Ciap." Alan memberi hormat kepada Hiro. "Siapkan mobil," suruh Hiro kepada Dimas. "Tidak pakai motor lagi?" Dimas bingung karena biasanya sang bos menaiki motor. "Alan tidak ikut." "Baik, Pak." Dimas bergegas turun ke bawah gedung. Sebelum Hiro benar-benar pergi, ia menjelaskan beberapa hal kepada Hana. Hal yang penting adalah tempat s**u untuk Alan, tempat pakaian serta hal-hal yang berhubungan dengan keperluan Alan. "Saya pergi," ucap Hiro. Hana mengangguk. Dia tengah menggendong Alan. "Papa pergi dulu," ucap Hiro pada sang anak. Mereka sudah seperti keluarga kecil saja. Jika orang tidak tahu hubungan mereka, maka orang-orang akan mengira mereka merupakan pasangan suami istri. Perjalanan membutuhkan waktu dua puluh menit karena macet. Akhirnya mobil berhenti di depan pintu masuk perusahaan. Banyak pasang mata yang melihat ke arah Hiro. Pemandangan yang sangat asing. Walaupun Hiro menggunakan masker, tapi para karyawan sangat mengenal perawakannya. Bahkan kedatangan Hiro seperti disambut. Ada Lp, Yu, Zero di teras gedung utama perusahaan. Ketiganya memberikan reaksi yang bermacam-macam. "Hari apa ini?" tanya Zero. "Alan mana?" Lp tidak menemukan keberadaan Alan sama sekali. "Pantas aja naik mobil, ternyata Alan nggak ikut." Yu sedikit kecewa. Padahal ia suka jika Hiro membawa Alan ke perusahaan. Hitung-hitung hiburan karena terlalu banyak pekerjaan yang menumpuk. "Lo titipin Alan kemana, Bang?" Raut wajah Lp sedikit khawatir. Apalagi ia tahu jika Hiro tidak memiliki kerabat. "Ada apa ini?" Agam tiba-tiba datang dan menghampiri mereka. "Alan dititipin ke tempat bos?” tanya Lp kepada Agam. Agam mengerutkan kening. “Nggak ada.” “Lah terus kemana?” Semuanya semakin bingung. “Alan nya Di apartemen, Pak.” Dimas menyeletuk setelah memarkirkan mobil. “Ha?” Semuanya semakin kaget. Bisa-bisanya Hiro meninggalkan Alan sendiri di apartemen. “Gila lo ya!” Agam langsung khawatir. “Tenang, Pak. Alan sama Mama nya kok,” jelas Dimas. Semua mata langsung mengarah ke Dimas. “Mama?” Semua orang disana serentak mengatakannya. Hiro hanya bisa memijat pangkal hidung. Pasti ia akan segera disidang oleh Agam dan yang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD