Maunya Mama

1496 Words
Adzan subuh berkumandang, Hiro segera membuka mata. Hal pertama yang iya lakukan adalah melihat Alan yang tepat berada disampingnya. Entah kenapa kedua ujung bibir Hiro terangkat ke atas. Sebelum bangkit dari atas atas ranjang, Hiro menyempatkan diri untuk mencium pipi Alan. Tentu saja ia lakukan dengan pelan-pelan agar tidak mengganggu tidur sang anak. "Tidak yang nyenyak anak Papa," lirih Hiro. Ia membenarkan posisi selimut agar bisa menutupi dengan sempurna tubuh sang anak. Selanjutnya, Hiro memutuskan untuk ke kamar mandi. Ia mulai membersihkan diri agar tubuhnya bisa lebih segar. Beberapa menit kemudian, Hiro sudah selesai membersihkan diri dan segera menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu mengerjakan sholat subuh. Tentu saja ia tidak lupa untuk mendoakan Mama dan sang kakak. Untuk papa, Hiro masih butuh waktu. Walaupun Heri menyuruh dirinya untuk tidak menaruh rasa benci kepada sang papa, tapi Hiro belum bisa sepenuhnya melakukan itu. Sebenarnya Hiro tidak benci, hanya saja ia terlalu kecewa dengan tindakan yang dilakukan sang papa tanpa sepengetahuan dirinya. Jika Hiro tidak mendapat kode akses ke video yang sudah disiapkan oleh Heri, maka rasa kecewa kepada Mama dan sang kakak akan selalu menghantui hari-harinya. Papanya terlalu memikirkan diri sendiri sehingga mengorbankan banyak hal. Walaupun begitu, Hiro meminta kepada tuhan agar ia diberi kelapangan hati untuk membuang rasa kecewa kepada sang papa. "Kok bangun?" tanya Hiro ketika menatap ke atas ranjang. Ia baru selesai shalat dan tengah melipat sajadah. Ternyata sang anak sudah bangun. "Papa." "Iya. Kenapa?" Hiro menyimpan sajadah ke tempat semestinya. Ia langsung mendekat ke arah sang anak. "Kenapa?" tanya Hiro lagi. Alan tidak menjawab. Ia hanya bengong sambil memegang mainan bebek-bebek yang entah dapat dari mana. Mungkin kesadaran sang anak belum sepenuhnya kembali, Hiro hanya tertawa kecil. "Mau mimik s**u?" Alan menggeleng. Ia malah menunjuk televisi. Tentu saja Hiro mengerti apa yang diinginkan sang anak. Hiro mencari tontonan yang layak untuk anak kecil. Setelah itu, ia mulai melipat pakaian Alan satu persatu untuk dimasukan ke dalam lemari. Hiro juga menyiapkan perlengkapan sang anak untuk dibawa ke perusahaan. Tenang saja, Hiro sudah bertanya kepada Agam mengenai perlengkapan apa saja yang nantinya dibutuhkan sang anak. Hal yang paling utama adalah s**u. Sampai sekarang Hiro belum tahu makanan apa yang cocok dengan Alan. Jika hanya diberi s**u, Hiro takut pertumbuhan sang anak menjadi lebih lambat dibanding anak-anak yang seusia dengan Alan. "Papa, mau mimik." "Oke. Papa buat dulu." Hiro bergegas ke dapur. Ia mulai membuatkan s**u untuk sang anak. "Mana celananya?" tanya Hiro ketika mendapati sang anak yang berada di ruang keluarga tanpa menggunakan celana sama sekali. Bayangkan saja betapa terkejutnya Hiro, apalagi ia baru sebentar meninggalkan sang anak. "Kamal," jawab Alan sambil menunjuk posisi kamar. "Kenapa dilepas?" "Bacah." Hiro memijat pangkal hidungnya. Ia memberikan s**u kepada sang anak sebelum melangkah ke kamar. Belum sampai di pintu kamar, bau pesing sudah menyapa indera penciuman. Perasaan Hiro sudah tidak enak, ia berlari ke dalam kamar untuk melihat apa yang terjadi. Ingin rasanya Hiro berteriak melihat popok yang berserakan di lantai. Padahal tadi Hiro sudah meminta sang anak untuk melepaskan popoknya, tapi Alan menolak. Lihat sekarang, ia melepaskan sendiri dan meletakkan begitu saja di lantai. Masih pagi tapi kesabaran Hiro sudah dikikis oleh sang anak. "Ini apa?" tanya Hiro menunjuk cairan di lantai. "Pis." Tidak hanya membuat popok berserakan di lantai, tapi Alan juga pipis disana. Hiro mengusap d**a beberapa kali agar tidak mudah marah. Daripada mengomel tidak jelas, lebih baik Hiro mengambil celana untuk sang anak. Cukup bahaya jika ada nyamuk yang tiba-tiba menggigit Alan. "Pasang celana dulu." Alan mendekat dan Hiro langsung memasangkan celana kepada sang anak. "Mimik di atas tempat tidur," suruh Hiro setelah celana terpasang. Alan menurut, ia langsung naik dan berbaring. Sedangkan Hiro mulai mengambil kain pel untuk membersihkan lantai. Bau pesing langsung hilang setelah Hiro selesai membersihkan lantai. Berhubung jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang, Hiro mulai memandikan sang anak. Mereka mulai bersiap-siap untuk ke perusahaan. Hiro sibuk memasang dasi sedangkan sang anak melempar-lempar bantal ke lantai. Hiro tidak melarang karena ia tahu bagaimana respon Alan jika dilarang. "Itu Om Dimas datang," ucap Hiro agar anaknya tidak membuat kamar berantakan lagi. Kebetulan bel apartemen berbunyi. "Om imas?" "Iya. Coba lihat." Alan turun dari ranjang dan berlari ke pintu depan. Hiro hanya melihat kamar yang sudah berantakan dengan bibir tersenyum. Senyum palsu lebih tepatnya padahal sebelumnya kamar sudah ia rapikan. "Buka intu, Pa." Alan kembali ke kamar sambil menarik celana Hiro karena pintu tidak terbuka. "Iya, iya." Hiro melangkah ke pintu depan untuk membukanya. "Hana!" Pupil mata Hiro membulat dengan sempurna. Ia sangat kaget dengan kedatangan Hana. Untung saja pakaian Hiro lengkap, bagaimana jika ia hanya menggunakan handuk? Memikirkan saja sudah sangat memalukan. Kenapa Hana bisa langsung masuk ke dalam gedung dan berada di depan pintu apartemennya? Jangan bingung karena Hiro sudah melaporkan kepada pihak keamanan apartemen tentang identitas Hana sehingga bisa berlalu lalang masuk ke dalam gedung. Ia kira Hana tidak akan berani untuk datang, tapi nyatanya perkiraan Hiro salah. "Alan mana?" tanya Hana tanpa ada rasa canggung atau apapun. Dia malah bersikap biasa saja. Matanya melirik ke dalam rumah untuk melihat keberadaan Alan. "Ini Alan," ucap Alan sambil menunjuk dirinya sendiri. Mungkin Hana terlalu fokus kepada Hiro sehingga tidak melihat Alan yang berada di samping Hiro. Hana langsung berjongkok. "Alan apa kabar?" "Baik, Kabal Alan baik." Alan menjawab dengan pengucapan yang masih belum sempurna. "Anak pintar." Hana mengusap pucuk kepala Alan. "Kenapa datang?" tanya Hiro dengan nada ketus. "Bukankah kita sudah sepakat untuk merawat Alan bersama-sama Bapak Hiro terhormat?" Hana bertanya dengan penuh penekanan. "Ya, tapi kamu cukup berani untuk datang ke apartemen laki-laki yang masih lajang." Perkataan Hiro mengandung nada sindiran. "Maaf, saya datang untuk Alan. Jadi jangan kepedean." Hana tidak mau kalah sehingga membalas perkataan Hiro dengan mudah. "Oh." Hiro masuk ke dalam apartemen meninggalkan Hana dan Alan yang masih berada di pintu. Entah bagaimana caranya, Alan bisa tidak takut kepada Hana. Padahal Alan baru bertemu satu kali. "Ayo asuk," ucapnya sambil menarik tangan Hana untuk masuk ke dalam apartemen. "Pintunya tidak usah ditutup," celetuk Hiro yang masih belum jauh dari mereka. Bagaimanapun mereka tidak memiliki hubungan apa-apa. Jadi sudah sewajarnya mereka tidak berada dalam ruangan tertutup. "Ya memang seharusnya begitu," balas Hana. Pintu terbuka begitu saja. Sedangkan Hana dan Alan masuk ke dalam apartemen. Tempat tinggal Hana sangat jauh berbeda dengan tempat tinggal Hiro. Tapi Hana tidak berkecil hati, ia akan berusaha di kota ini sampai bisa membeli rumah yang cukup nyaman untuk Alan. "Alan udah makan?" "Belum," jawab Alan. Hana tersenyum. "Ante bawa sarapan. Bagaimana kalau kita makan dulu?" "No Ante, Mama." Alan menggeleng keras seakan tidak mau memanggil Hana dengan sebutan Ante. "Panggilnya Ante, bukan Mama." Hana berkata dengan lembut agar Alan mau mendengarkan dirinya. "No no, Mama!" "Mama!" Alan kembali menyebut kata Mama. "Bukan Mama sayang, tapi Ante." Hana berusaha kembali. Tapi kali ini ia sangat salah memahami Alan karena dalam hitungan detik suara tangis terdengar. Alan menangis sambil menyebut-nyebut kata Mama. Entah kenapa kata itu sangat menarik bagi dirinya. Melihat Alan menangis, Hana merasa bersalah. Padahal hanya karena panggilan, tapi ia tidak mau kalah dari Alan. "Maaf Alan," lirih Hana sambil mengusap air mata Alan yang mengalir. "Ada apa?" Hiro datang karena mendengar suara tangis sang anak. "No Ante Pa, tapi Mama." Alan memberikan penjelasan sembari menangis. Bahkan nafasnya terisak-isak. Hiro menatap Hana dengan sinis. Dia tidak banyak bicara tapi Hana langsung menunduk. "Iya sayang, Mama." Hiro mengulurkan tangan untuk menggendong sang anak. "Udah udah, jangan nangis lagi." "Anak ganteng nggak boleh nangis." Hiro berusaha membujuk agar sang anak tidak menangis. Sedangkan Hana masih menatap Alan dengan tatapan sedih. Beberapa menit kemudian, Alan tidak lagi menangis. Tapi mata dan hidungnya memerah. Perlahan-lahan Hana mendekat dan meminta maaf kepada Alan. Namanya anak kecil pasti sangat mudah untuk memaafkan. Apalagi hati mereka masih sangat bersih. "Maaf," lirih Hana sambil menatap Hiro. Hiro tidak membalas, tapi tatapannya sedikit tidak bersahabat. Hana dan Alan kembali dekat. Memang tidak butuh waktu yang lama. Lihat saja sekarang, Alan sudah menarik Alan ke meja makan. Hana mengeluarkan makanan yang baru saja ia buat dari rumah. Tentu saja makanan yang ia buat mengandung banyak nutrisi. Hana mengolah ikan dan telur menjadi sesuatu yang mudah untuk disantap oleh Alan. "Dia nggak akan mau," celetuk Hiro. Sudah banyak makanan yang dibuat oleh Hiro, tapi tidak ada yang cocok dengan sang anak. Satu suapan masuk ke dalam mulut Alan. Hana menunjukkan senyum penuh kemenangan seakan berhasil mengalahkan Hiro. "Enak?" tanya Hana kepada Alan. Alan mengangguk dengan kedua pipi yang masih menggembung. "Enak katanya," ucap Hana kepada Hiro. Bahkan terlihat jelas bagaimana Hana mengejek Hiro. Hiro langsung membuang muka. Bisa-bisanya lidah sang anak cocok dengan makanan yang dibuat oleh Hana. Padahal Hiro membuat makanan dengan sepenuh hati, tapi tetap tidak cocok dengan lidah Alan. Hiro penasaran, apa Alan sudah dipelet oleh Hana? Pikiran Hiro terlalu dangkal, hanya saja ia sedikit iri dan kesal. Apalagi melihat kedekatan Alan dan Hana. Terlalu cepat merasa nyaman. Apa Hiro juga bisa cepat dekat dengan Alan jika wajahnya tidak mirip dengan papa kandung Alan? Entahlah, pertanyaan ini sulit untuk dijawab.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD