Mama?

1833 Words
Pesaingan sengit berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Walaupun hanya 2 jam lebih, tapi bagi Hiro itu sudah sangat lama. Apalagi ia ingin menghabiskan waktu dirumah. Dua jam adalah waktu yang cukup untuk beristirahat. Sayangnya dua jam itu harus membuat tenaga dan pikiran Hiro terkuras. Hiro tidak peduli bagaimana kehidupan Hana di kota ini nantinya. Mereka membuat kesepakatan untuk merawat dan menjaga Alan bersama-sama. Ya, Hiro tidak masalah jika Hana ingin bertemu serta menghabiskan waktu bersama Alan, tapi Hana harus berjanji tidak akan berlaku curang dengan membawa Alan secara diam-diam ke tempat lain. Bukannya Hiro tidak percaya, hanya saja ia tidak ingin hal buruk terjadi. Perjanjian sudah dibuat, bahkan ada tanda tangan keduanya. "Saya pamit dulu," ucap Hana setelah menghasilkan sebuah kesepakatan. Ia harus mencari rumah karena barang-barangnya masih berada di hotel. Hana tidak bisa tinggal di hotel terlalu lama, biaya permalamnya cukup besar. Uang tabungan yang ada di rekeningnnya tidak banyak dan Hana harus menghemat biaya karena ia belum mendapatkan pekerjaan. "Silahkan," balas Hiro. Hana berdiri, namun Hiro menyuruhnya untuk menunggu sebentar. Tentu saja Hana bertanya-tanya kenapa Hiro memintanya untuk menunggu. Pikirannya berkelana kemana-mana. Ia takut jika Hiro berubah pikiran dan tidak memperbolehkan dirinya untuk ikut menjaga dan merawat Alan. Hiro memegang kedua pundak Alan. "Bibi mau pulang," ucapnya kepada Alan. "Bibi?" Alan menatap Hiro dengan penuh kebingungan. Hal ini dikarenakan Alan baru pertama kali mendengar kata Bibi. "Bibi?" Hana menunjuk dirinya sendiri yang tengah diliputi kebingungan. Sebelah alis Hiro terangkat. "Bibi bukan?" tanyanya seakan meminta validasi atas panggilan tersebut. "Ganti," balas Hana. "Mau dipanggil apa?" Hiro ikutan bingung. Apa yang salah dari panggilan "Bibi"? Bukankah Bibi menjadi nama panggilan untuk adik ibu? Ya benar, Hiro tidak mungkin salah dalam hal yang sesimple inu. "Terserah." Hana merasa dirinya masih muda sehingga merasa aneh jika dipanggil bibi. Hiro tersenyum tipis. "Jangan bilang kamu mau di panggil Mama?" tanyanya dengan ekpresi wajah yang membuat siapapun akan kesal. Hana langsung menggeleng. Panggilan Mama tidaklah tepat untuk dirinya. Panggilan itu untuk Kakaknya bukan untuk dirinya. "Saya cukup tau diri," jawab Hana dengan niat menyindir. "Oh. Kirain mau dipanggil Mama." "Mama." Alan bermonolog. Kata Mama sering ia dengar. Contohnya dari mulut orang-orang yang ia temui atau juga dari tontonan kartun. "Bukan Alan." Hana menggeleng. Ia bukan tidak mau dipanggil Mama. Hanya saja ia tidak pantas mendapat panggilan tersebut. Walaupun Alan tidak pernah bertemu dengan Mama kandungnya, tapi Alan harus tahu bahwa Mama kandungnya sangat luar biasa. "Mama, Pa?" Alan meminta pendapat kepada Hiro. Hiro mengangkat bahu seakan-akan tidak memberitahu jawaban yang jelas kepada Alan. "Ante." Hana mengoreksi sendiri. Ia menunjuk diri seraya berkata ante berulang-ulang kali. "No!" Alan menolak. "Ante ya." Hana sudah berjongkok di depan Alan. "No ante, api Mama..." Alan tetap kekeh dengan kata Mama. Padahal ia tidak terlalu mengerti dengan kata tersebut. Dalam otak Alan sekarang, kata Mama diperuntukan seorang perempuan yang terus bersama Papanya. Berhubung Alan belum pernah melihat perempuan lain yang dekat dengan Hiro, maka ia beranggapan Hana sebagai Mama. Memang pemikiran Alan cukup dangkal, hal ini dikarena Hiro tidak memberi penjelasan kepada sang anak tentang sosok Mama. Hanya ada Papa, bahkan sejak dirinya lahir. Heri juga tidak sempat mengenalkan sosok Mama kepada Alan karena sibuk melarikan diri untuk bersembunyi dari kejaran orang-orang yang ingin membunuhnya. Heri bertekad ketika keadaan sudah membaik barulah ia mengenalkan sosok Yuna sebagai Mama yang luar biasa. Tapi nyatanya, ia tidak bisa selamat. "Bukan bukan." Hana menatap Hiro seakan-akan memberi isyarat agar membantu dirinya untuk menjelaskan kepada Alan. Hiro memijat pangkal hidung. Kentara sekali jika ia sedang berpura-pura pusing, padahal Hiro ingin tertawa karena melihat wajah panik yang ditujukan oleh Hana. "Bukan Mama tapi Ante." Pada akhirnya Hiro mengikuti kemauan Hana. Ia membantu walaupun tidak mengeluarkan effort yang cukup banyak. Hanya sekedarnya saja. "No, Pa. Mama!" Alan masih setia dengan kata Mama. Bahkan kedua tangannya terlipat di atas d**a. Anaknya belum genap berusia 3 tahun, tapi sudah seperti orang dewasa. "Bukan Mama, panggilnya Ante." Hiro mengusap pucuk kepala sang anak. "Ante?" Hana mengangguk dengan semangat. "Salam dulu, Antenya mau pulang." Hiro berusaha mengajarkan kebiasaan baik kepada Alan. Jika tidak dari sekarang, kapan lagi. Alan menuruti perkataan Hiro. Ia menjabat tangan Hana dan menciumnya. Tentu saja d**a Hana berdesir. Bahkan matanya sampai berkaca-kaca karena Alan menyambut dirinya dengan baik. "Ante pulang dulu ya, nanti kita ketemu lagi." Hana tersenyum. "Oleh, Pa?" Alan meminta persetujuan Hiro. "Boleh. Ante ini orang baik. Dia sayang sekali sama Alan." Hiro memberi sedikit penjelasan agar sang anak tidak menolak kehadiran Hana dalam hidupnya. Bagaimanapun, pertalian dirinya dan Hana sama yaitu merupakan Paman dan Bibi Alan. Hiro tidak boleh kekanak-kanakan seakan hanya dirinya yang boleh dekat dengan Alan. Hana juga memiliki hak untuk dekat seperti dirinya. Hanya saja, Hiro tidak memperbolehkan Hana membawa Alan jauh dari dirinya. "Kalau olang baik, Alan mau untuk ketemu." "Iya, Ante orang baik." Perlahan-lahan Hana mencoba untuk memeluk Alan. Ia tidak akan memaksa jika Alan menolak karena takut. Tapi hal baik terjadi, Alan tidak memberikan penolakan sama sekali. Hana tersenyum dengan lebar. Ia juga mengucapkan terima kasih kepada Hiro. "Dada... Ante." Alan melambaikan tangan untuk melepaskan kepergian Hana. Kini hanya ada Hiro dan Alan. Minuman mereka sudah habis. Apalagi coklat yang menjadi makanan favorit Alan ditempat ini. "Anak Papa makannya sampai kena pipi," ujar Hiro sambil membersihkan wajah sang anak. Sisa-sisa coklat mengenai sekitar bibir bahkan sampai ke pipi. Alan terlalu bersemangat untuk menghabiskan makanan tersebut. "Enak," puji Alan dengan wajah polos. "Iya enak, tapi nggak boleh sering-sering." Hiro sudah selesai membersihkan pipi sang anak. Saatnya mereka memutuskan untuk kembali ke apartemen. Walaupun hanya menggunakan pakaian tidur, pesona Hiro tidak hilang sama sekali. Beberapa pasang mata masih melirik dirinya. Bahkan pesona Hiro bertambah saat menggendong Alan. Entah apa yang menarik dari dirinya, Hiro juga kebingungan. Tapi yang jelas, ia tidak suka tebar-tebar pesona. Ia malah tidak suka menjadi pusat perhatian orang-orang. Keluar dari lift, Hiro melihat sosok Agam yang berdiri di depan pintu apartemennya. "Om Agam!!!" teriak Alan. Ia sudah berlari menghampiri Agam. Tentu saja Agam langsung menyambut Alan dan menggendongnya. "Ada apa?" tanya Hiro langsung. Tidak biasanya Agam datang tanpa menginfokan terlebih dahulu. "Darimana?" "Luar." "Lo baik-baik aja, kan?" Hiro mulai khawatir. Agam tersenyum tipis. "Gue baik-baik aja." "Syukurlah, gue kira ada apa." Hiro bernafas lega. "Lo kira gue kenapa?" Agam menyipitkan mata. "Kali aja diusir Zia," jawab Hiro dengan nada pelan. "Enak aja." Agam menginjak sedikit kaki Hiro. Tenang saja, ia melakukan itu dengan sangat hati-hati agar tidak dilihat oleh Alan. Hiro meringis. "Udah jadi Ayah, tapi nggak berubah." "Lo juga udah jadi Papa, tapi tingkah masih kayak bocah." Agam membalas. "Enak aja." Hiro membuka pintu apartemen. Keduanya masuk. "Bang Yusuf ana, Om?" tanya Alan. Agam memiliki anak bernama Yusuf. Sang anak dan Alan sangat dekat. "Di rumah. Nggak mau ikut, padahal udah Om ajakin." Alan mengangguk seakan mengerti. Walaupun Agam tidak mengatakan maksud kedatangannya lebih awal, Hiro cukup mengerti. Pasti ada hal yang ingin dibicarakan oleh sang teman. Hiro menyuruh Alan untuk menonton di kamar. Ia membuatkan s**u terlebih dahulu agar sang anak tetap bersahabat. "Kopi," ucap Agam sembari meletakkan cup kopi dengan brand yang cukup terkenal di atas meja ruang keluarga. Ia datang tidak dengan tangan kosong. "Oh, makasih." Walaupun Hiro sudah menghabiskan secangkir kopi, ia tidak menolak pemberian dari Agam. Apalagi Agam membawanya ke rumah seperti sekarang. "Hm." Agam duduk di sofa. Keheningan timbul beberapa detik. "Ada apa?" tanya Hiro karena memiliki firasat ada yang ingin dibicarakan oleh sang teman. Agam tidak langsung menjawab, ia malah memilih untuk menyesap kopi. Atmosfer di dalam ruang keluarga terasa lebih menegangkan, padahal belum ada pembahasan yang dimulai. "Gimana akhir-akhir ini?" tanya Agam. Hiro mengerutkan kening. Pertanyaan Agam memiliki banyak makna sehingga Hiro kebingungan untuk menjawab. "Kerjaan?" Hiro meminta kejelasan dari pertanyaan yang Agam ajukan. "Bukan. Lo." "Gue?" Hiro menunjuk dirinya sendiri. Agam mengangguk sebagai jawaban. Beberapa detik kemudian Hiro terkekeh pelan. "Gue serius." Agam tidak ada niat untuk bergurau sehingga Hiro tidak perlu terkekeh seperti sekarang. "Nggak usah terlalu serius," balas Hiro. Melihat respon Hiro, Agam langsung memberikan tatapan yang sedikit lebih tajam. "Hiro!" ucapnya. Berhubung Agam sudah menyebut namanya, maka Hiro tidak bisa lagi melempar candaan. Akhirnya ia hanya bisa mengikuti kemauan sang teman. "Oke oke," balasnya. "Gimana kasus Papa kandung Alan?" Agam tidak ingin lagi basa basi sehingga langsung ke inti. Hiro tersenyum masam. "Tidak ada yang berubah," jawabnya. "Gue nggak tau lo sama kakak lo punya masalah apa, tapi kasus kakak lo bukan kasus kecelakaan biasa." Agam sudah lama menunggu Hiro untuk membahas masalah ini. Bahkan sampai beberapa bulan, tapi hal yang ditunggu tidak kunjung datang. Hiro menghela nafas panjang. "Tidak ada yang harus diungkap," balasnya. "Lo yakin?" Hiro mengangguk. "Gue yang nggak yakin." Agam tidak percaya jika tidak ada hal aneh dari kasus kecelakaan kakak Hiro. Hiro hanya diam. "Lo anggap gue apa?" "Teman," jawab Hiro. "Hanya itu?" "Rekan kerja." Agam tertawa dengan tidak niat. Ternyata Hiro hanya menganggapnya sebagai teman ataupun rekan kerja. Padahal Agam menganggap Hiro lebih dari itu. "Lo yakin nggak mau cari tau tentang kematian papa kandung Alan?" "Ya. Tidak ada yang perlu dicari tau." Agam mengepalkan tangan. Ia mengeluarkan ponsel dan meletakkan di atas meja. "Lihat," suruhnya. Hiro langsung mengambil ponsel tersebut. "Apa ini?" tanyanya. "Mobil ini yang ngejar kembaran lo sebelum kecelakaan," jawab Agam. Pupil mata Hiro melebar. Ia tidak menyangka Agam bisa mendapatkan foto mobil yang mengejar mobil saudara kembarnya. "Lo dapat dari mana?" "Lo nggak perlu tau. Tapi mobil itu udah nggak ada ." Hiro menatap Agam. "Dihancurkan?" tebaknya. Agam mengangguk. Hiro meletakkan kembali ponsel Agam di atas meja. "Bisa aja mobil ini mobil orang yang kebetulan memang berada di belakang mobil kakak gue." Hiro masih membantah penemuan yang Agam dapatkan. Agam tidak mengerti jalan pikir Hiro. "Gue jamin, orang yang nembak kakak lo ada di dalam mobil ini." "Apa buktinya? Ada video atau saksi mata?" Agam mengepalkan tangan. Jangan sampai ia melayangkan bogeman ke kepala Hiro agar kembali berfungsi seperti biasanya. "Apa otaknya bermasalah karena mendadak jadi Papa buat Alan?" Itu yang dipertanyakan oleh otak Agam. "Sudahlah, Gam. Tidak ada yang aneh dari kasus kecelakaan Kakak gue." Hiro berdiri dari sofa, ia mengambil dokumen di atas meja kerja. "Lebih baik lo tinjau kontrak kerja yang menumpuk di perusahaan," lanjutnya. Agam bangkit dari sofa. "Jika menurut lo nggak ada yang aneh dari kasus kecelakaan itu, maka gue nggak akan ikut campur lagi." Ia melangkah menjauhi Hiro. "Soal kontrak kerja, Lo kasih ke Lp. Sepertinya bulan depan gue jadi ke Jepang," lanjutnya lagi "Serius?" Mata Hiro berbinar-binar. Beberapa bulan yang lalu Agam memberitahu jika ia akan menemani sang istri melanjutkan pendidikan pascasarjana ke Jepang. "Hm." "Gue belum selesai ngomong, kapan lo berangkat?" Hiro sedikit berteriak. Agam hanya melambaikan tangan tanpa menjawab. Ia meninggalkan apartemen Hiro. Sedangkan Hiro masih duduk di sofa. Punggungnya bersandar ke sandaran sofa dan matanya menatap kelangit-langit ruang keluarga. "Maaf, Gam," lirihnya. Hiro hanya bisa menghela nafas berat. Tidak ada yang tahu jalan pikirannya termasuk dirinya sendiri. Segala macam pikiran muncul dan saling terbentur satu sama lain. Disaat pikiran Hiro sedang kacau, suara ketukan pintu membuat ia menoleh ke pintu masuk ruangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD