Persaingan sengit

2023 Words
Hiro memandang dengan mata penuh curiga. "Saya tidak percaya," ungkapnya. Zaman sekarang banyak sekali bentuk penipuan. Hal ini berbanding lurus dengan perkembangan zaman. "Saya Hana." "Ya, terus?" Hana menghela nafas panjang. Ia menunjukkan layar ponsel ke arah Hiro. "Kalau saya penipu, bagaimana saya bisa mendapat kertas ini." Layar ponsel itu menunjukkan gambar kertas yang berisi sebuah alamat. Hiro tidak lupa, ia sendiri yang menulis alamat di kertas tersebut. Apa dia orang yang ingin datang ke rumah sakit sehingga pihak rumah sakit menyuruh Hiro untuk menunggu? Sepertinya begitu. "Baiklah kalau kamu tidak percaya-" Hana mengambil sesuatu di dalam tas. "Ini kartu identitas saya," lanjutnya. Hiro mengambil kartu tersebut. Ia melihat sebentar untuk memastikan. Hana tidak menyerah untuk membuktikan diri bahwa dia bukan penipu sebagaimana disangkakan oleh Hiro. Ia menunjukkan gambar dirinya bersama sang kakak yaitu Yuna. Bahkan ada juga gambar Heri yang berdiri disamping Yuna sambil tersenyum lebar. Bukti yang diberikan oleh Hana sudah menjawab semuanya. Akhirnya, Hiro hanya bisa minta maaf karena sudah menuduh yang tidak-tidak. "Tidak masalah, saya mengerti." Tatapan mata Hana tidak lepas dari Alan. "Sepertinya kita tidak bisa bicara disini." Hiro merasa tidak pantas karena banyak penghuni lain yang berlalu lalang untuk masuk atau keluar dari area apartemen. "Kamu lajang?" tanya Hana langsung. Hiro tertegun dengan pertanyaan tersebut. Mereka baru bertemu dan Hana langsung bertanya tentang status dirinya. Kontesnya sudah melewati batas. "Apa perlu saya menjawab pertanyaan ini?" tanya Hiro balik. "Oh ma-maaf, saya tidak ada maksud apa-apa. Hanya saja-" Hana sedikit panik karena sadar pertanyaan yang ia ajukan sangat tidak tepat. "Kita bicarakan di coffee shop depan," potong Hiro sambil menunjuk arah depan kawasan apartemen. Disana memang ada coffee shop yang cukup terkenal. Hiro tidak mungkin membawa Hana untuk masuk ke dalam apartemennya. "Baik." Hana mengikuti langkah Hiro menuju coffee shop. Penampilan Hiro sangat tidak cocok untuk sekedar bersantai ria di dalam coffee shop. Apalagi ia hanya menggunakan baju tidur. Tapi mau bagaimana lagi, Hiro tidak ingin membuang banyak waktu untuk mengganti pakaian. Baru masuk, beberapa pasang mata sudah mengarah kepada dirinya dan juga Alan. Baju tidur mereka kembar sehingga menarik perhatian beberapa pasang mata. Hiro mencari tempat duduk yang kosong. Kebetulan masih ada yang kosong padahal pengunjung cukup ramai. Hiro dan Hana saling duduk berhadapan. "Alan mau apa?" tanya Hiro kepada sang anak. Hal pertama yang harus ia lakukan adalah membuat sang anak agar tetap tenang. "Cokat," jawab Alan. "Oke. Tapi besok-besoknya nggak boleh lagi." Alan tidak menjawab. "Janji dulu?" "Alan suka cokat, Pa." Alan enggan berjanji untuk kedepannya ia tidak boleh memesan coklat lagi. "Papa tau, tapi nggak boleh sering-sering. Nanti giginya rusak." Hiro memberi pengertian. Alan menunduk. "Alan pernah lihat ada orang yang giginya berwarna hitam?" Tiba-tiba Hana ikut dalam obrolan Hiro dan juga Alan. "Pelna," jawab Alan. Hiro sedikit terkejut karena tidak biasanya sang anak mau untuk merespon atau menjawab pertanyaan dari orang asing. Bagi Hiro Hana masih orang asing walaupun ada hubungan kekeluargaan antara Hana dan Alan. "Nah, itu karena sering makan coklat dan permen. Giginya jadi rusak," jelas Hana. Alan menutup mulut dengan tangan, ia menggeleng seraya mengatakan tidak ingin giginya berwarna hitam. "Janji dulu sama Pa-" Hana menggantung perkataannya. Ia menatap Hiro sehingga terjadi kontak mata antar keduanya. "Papa," lanjut Hana lagi. Sebenarnya Hana masih tidak percaya bahwa orang yang ada di depannya bukan Heri. Apalagi wajah mereka sama dan Hana tidak melihat ada yang beda. Mungkin perbedaaan hanya pada postur tubuh dan juga aura. Orang di depan Hana lebih terlihat segar dan memiliki postur tubuh yang sangat baik. Sedangkan kalau wajah, keduanya benar-benar mirip. "Alan janji, Papa." Hiro mengusap pucuk kepala sang anak. "Kamu pesan apa?" tanya Hiro kepada Hana. "Tidak perlu." "Merepotkan," cicit Hiro. Ia langsung melakukan pemesanan dengan menggunakan tab yang disediakan oleh coffee shop tersebut. Tentu saja Hiro tidak hanya memesan untuk dirinya dan juga Alan, tetapi juga untuk Hana. Ia tidak sejahat itu. Tidak ada yang memulai obrolan. Hiro memilih untuk menyibukkan diri dengan sang anak. Beberapa menit kemudian, pesanan mereka datang. "Kok banyak?" tanya Hana keheranan. Ada 3 minuman di atas meja. Hiro menggeser satu minuman di dekat Hana. Ia tidak mengatakan apapun. "Yeee cokat cokat..." Alan bersorak kegirangan melihat coklat di atas meja. "Pelan-pelan makannya." Hiro menempelkan tisu di kerah baju sang anak. Hal ini bertujuan melindungi pakaian depan sang anak agar tidak terkena coklat atau makanan. Melihat Alan yang sudah asik dengan dunianya sendiri. Apalagi ada ponsel yang menampilkan kartun kesukaan Alan. Barulah Hiro menatap seseorang yang ada di depannya. "Apa tujuan kamu datang?" Hiro langsung mengajukan pertanyaan dasar. Ia tidak mau basa basi tidak jelas. Hana meletakkan kedua tangan yang saling bertautan di atas meja. Matanya mengarah ke Alan. "Alan," jawabnya. "Kenapa baru sekarang?" Padahal sang kakak yaitu Heri meninggal sudah beberapa bulan yang lalu. Apalagi setelah kematian sang kakak, ia masih berada di rumah sakit beberapa hari. Jika memang peduli kepada Alan, maka dihari kecelakaan Hana sudah berada di rumah sakit. Hana terdiam. Tatapan mata Hiro begitu tajam. Ia seperti sedang mengintimidasi seseorang. Jika orang lain yang melihat, pasti Hiro dianggap laki-laki yang memiliki sikap dominan. "Kenapa diam?" tanya Hiro sambil mengangkat sebelah alis. Ia tidak mau membuang-buang waktu. "Saya bekerja di kota Y." "Saya bekerja dan tinggal di kota ini, tapi saya juga bisa datang ke rumah sakit." Hiro ingin tertawa karena alasan yang tidak bisa ia terima. Apakah perbedaan kota menjadi alasan? Rumah sakit dimana sang kakak dirawat berada di kota F. M "Saya punya tanggung jawab pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Saya harus menyelesaikan terlebih dahulu, setelah itu baru bisa terbang ke kota F. Sesampainya disana, ternyata kamu sudah membawa Alan ke sini." Hiro terkekeh. "Jika saya tidak ada, apa Alan akan sendiri di rumah sakit sampai kamu datang? "Karena kamu ada sehingga saya memilih untuk menyelesaikan tanggung jawab terlebih dahulu. Jika kamu tidak ada, saya akan meninggalkan pekerjaan," jawab Hana. "Bagaimana kamu tau jika saya ada?" "Pihak rumah sakit." "Oh." Hiro menyesap kopi yang perlahan-lahan mulai mendingin. "Apa kamu begitu percaya kepada saya?" tanya Hiro. Jika ia yang berada diposisi Hana, maka ia tidak akan percaya semudah itu. Walaupun ada hubungan kekeluargaan sekalipun. "Tentu saja. Kamu pamannya." Hana menjawab dengan mudah. "Walaupun paman sekalipun, jika saya berniat jahat bagaimana?" "Tidak akan." Hiro menghela nafas panjang. "Jadi... kamu datang dengan tujuan apa?" Hana terdiam beberapa detik. Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan tersebut. "Mengambil Alan," jawabnya dengan berani. Tubuh Hiro langsung menegang. Jawaban Hana terlalu berani. Masih baik Hiro tidak langsung mengusir, tapi Hana seperti tidak tahu diri. Jika Hana yang datang lebih dulu, maka Hiro tidak akan masalah jika Hana ingin merawat Alan. Tapi Hana tidak datang saat Alan memang membutuhkan sosok keluarga. "Coba ulangi," suruh Hiro. Tangannya sudah mengepal. Tenang saja, Hiro tidak akan memukul perempuan. "Saya tau jika saya tidak tau diri, tapi saya melakukan ini untuk kebaikan Alan." "Kebaikan Alan?" Beo Hiro. Bolehkan Hiro tertawa terbahak-bahak sekarang? Orang di depannya ini terlalu lucu. Bahkan kopi kesukaan Hiro menjadi tidak enak lagi. "Jika kamu laki-laki, tangan saya sudah sampai ke pipi kamu! Kamu terlalu berani dan tidak tau diri," lanjut Hiro. "Saya tau." "Kalau kamu tau, seharusnya kamu tidak datang ke sini." Rahang Hiro menegang. Tapi ia berusaha untuk tetap mengendalikan diri. Apalagi Alan masih ada disampingnya. "Tolong jangan pancing emosi saya," ucap Hiro penuh harap. Ia tidak ingin melewati hari dengan kacau. Hana menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia terlihat bingung dan kacau secara bersamaan. "Kamu laki-laki," lirihnya. "Saya memang laki-laki. Hubungannya apa?" Hana kehilangan kata-kata. Ia tidak pernah sefrustasi ini. Sejujurnya Hana tidak ingin mengganggu siapapun. Ia hanya ingin menjaga dan merawat Alan. Tidak ada lagi keluarga yang tersisa, hanya Alan dan Hana menginginkan itu. Siapapun boleh menyebutnya egois, karena Hana sendiri mengakui keegoisannya. "Saya tau kamu masih lajang," ucap Hana lagi. Hiro tidak habis pikir. Kata-kata yang Hana tidak spesifik sehingga mengandung banyak makna. "Benar, saya masih lajang." Hiro memaksa diri untuk tersenyum walaupun penuh kepalsuan. Lantas ia bertanya, "terus kenapa?" "Kamu akan kesulitan mencari pasangan." Hiro pura-pura terkekeh. Hanya beberapa detik saja. "Tidak usah khawatir dengan hidup saya." "Saya akan menjaga dan merawat Alan dengan baik," lanjut Hiro. "Tapi-" "Alan hanya mengenal saya, sedangkan dia tidak mengenal kamu sama sekali. Jadi tolong lebih diri," potong Hiro. Hana akui ia hanya bertemu dengan Alan beberapa kali. Saat itu Alan baru dilahirkan ke dunia ini. Kemarahan Hana kepada Heri membuat ia memutuskan untuk merantau ke kota lain. Jadi wajar jika Alan tidak mengenal dirinya. Kali ini Hana yang terkekeh. "Apa saya tidak salah dengar?" "Maksudnya?" Hiro mengerutkan kening. "Dia memanggil kamu Papa bukan paman, seharusnya kamu tau tanpa saja jelaskan." "Ya benar, dia memanggil saya dengan sebutan Papa." Hiro akui Alan menganggap dirinya sebagai Heri. Ia tidak marah, namun malah sebaliknya yaitu senang. Setidaknya Hiro tidak perlu banyak usaha untuk mendekati Alan. "Karena saya Papanya," lanjut Hiro dengan penuh penekanan. "Saya minta tolong, serahkan Alan kepada saya." Hana tidak peduli dengan harga diri atau apapun. Kini ia hanya bisa memohon agar Hiro mau menyerahkan Alan kepada dirinya. "Tidak." "Tolong," lirih Hana dengan mata berkaca-kaca. Hiro mengambil tisu dan memberikan kepada Hana. "Saya tidak suka jika ada perempuan yang menangis di depan saya." "Saya tidak menangis." Hana menyembunyikan air mata yang ingin keluar. "Saya tau, kamu ingin merawat Alan. Tapi untuk sekarang, Alan tidak bisa berpisah dari saya." "Kenapa?" Hiro menutup kedua telinga sang anak terlebih dahulu. "Alan mengalami trauma pasca kecelakaan. Saya akui jika Alan menganggap saya sebagai Papa kandungnya karena wajah kami yang mirip. Jika kamu ingin Alan baik-baik saja, maka kamu tidak akan memisahkan Alan dengan saya. Apa kamu paham?" Hana terdiam. Ia menatap Alan dengan sangat dalam seakan-akan tatapan itu mengandung berjuta-juta kerinduan. "Tapi saya juga ingin merawatnya." "Kamu tinggal di kota ini?" Hana menggeleng. "Kalau begitu, serahkan Alan sepenuhnya kepada saya. Saya janji akan merawat Alan dengan baik." "Tidak bisa." Hana menolak. "Tolong jangan mempersulit keadaan." Hiro memijat pangkal hidungnya. "Saya akan tinggal di kota ini. Bagaimana jika Alan tinggal bersama saya?" Hana masih belum selesai melakukan negosiasi. "Tanpa saya jawab, kamu sudah tau jawabannya." Hana menghela nafas panjang. "Baiklah, saya akan pertimbangkan." Hana tersenyum. "Apa yang harus saya lakukan?" "Cukup jawab pertanyaan saya." Hana mengangguk dengan cepat. "Apa kamu punya rumah?" Hana menggeleng. Dia baru berumur dua puluh lima tahun. Apa orang seumurannya sudah punya rumah sendiri? "Kamu tidak punya, saya punya." Hana dapat menilai jika Hiro termasuk orang yang berada. Apalagi tinggal di apartemen yang cukup mahal walau banyak apartemen yang lebih mahal dari itu. "Apa kamu memiliki pekerjaan tetap?" Lagi dan lagi, Hana menggelang. Dia baru saja berhenti dari pekerjaan yang lama. "Tapi saya akan mencarinya secepat mungkin," jelas Hana. "Saya punya pekerjaan tetap. Dalam hal finansial saya jauh lebih siap untuk menjaga dan merawat Alan. Apa kamu tau perbedaan kita?" Hana mendengus kesal. "Tidak usah pamer kekayaan," ucapnya. "Kamu salah paham, saya tidak ada niat untuk pamer sama sekali. Hanya saja, saya ingin menjabarkan bahwa saya jauh lebih siap menjaga dan merawat Alan daripada kamu." Hiro mengangkat sebelah alisnya. “Benar, dalam hal finansial saya kalah. Tapi dalam hal kebutuhan tubuhnya saya tidak kalah. Apa kamu tau apa yang tubuhnya butuhkan? Apa kamu bisa menyiapkan makanan dengan gizi tinggi? Apa kamu bisa memasak? Apa kamu bisa menyiapkan kebutuan Alan sendiri tanpa bantuan siapapun? Jika kamu bekerja, siapa yang akan menjaganya?” Baik Hiro maupun Hana sama-sama mengungkapkan kelebihan masing-masing. Mereka tidak ada niat lain selain ingin merasa lebih pantas untuk menjaga dan merawat Alan. “Jika kamu juga bekerja, siapa yang menjaganya?” Hiro membalikkan serangan dengan cepat. “Saya akan mencari pekerjaan dimana bisa menjaga Alan,” jawab Hana. “Tidak usah terlalu munafik, zaman sekarang jika bekerja di tempat orang lain maka tidak akan diperbolehkan untuk membawa anak. Ada-ada saja.” “Pasti ada.” Hana berusaha meyakinkan diri. “Kamu terlalu percaya diri. Oh ya, kamu masih telihat muda. Apa kamu tidak takut?” “Takut apa?” “Takut tidak ada laki-laki yang mau karena kamu memiliki anak.” Hiro menampakan ekspresi wajah penuh kemenangan seakan-akan ia membalikkan perkataan Hana beberapa menit yang lalu. Tatapan mata Hana dan Hiro saling bertemu, mereka seperti tidak ingin kalah satu sama lain. Jika diberi efek, maka sudah ada kilat yang menyambar-nyambar dari tatapan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD