9. Pria Berwajah Pucat

1950 Words
Krek! Terdengar pintu kamar dibuka dari luar. Alita pun reflek menoleh ke arah pintu. “Kamu udah siap kan sayang?” tanya Sarah yang berhenti di depan pintu dengan pakaian yang sudah rapi, sebuah dress span warna hitam dengan kerah V “Udah Mah,” jawab Alita singkat, lalu kembali menatap bayangan dirinya di cermin sembari memoles bibirnya sekali lagi dengan lip gloss. “Ya uda, Mamah tunggu di bawah ya...” ucap Sarah dan kembali menutup pintu kamar Alita. Alita menghela napasnya dan meletakkan dengan kasar lip gloos merah jambunya di atas meja rias. Beberapa bulan yang lalu jauh sebelum kecelakaan menimpanya, Hardjono dan Sarah telah merencanakan untuk memulai bisnis restaurant chinese bersama dengan teman lamanya, Om Fery dan Tante Vita, dan baru-baru ini rencananya baru akan terealisasi karena satu dan lain hal, yang Alita tidak begitu tahu alasannya. Untuk memulai kerja sama itu, mereka memulainya dengan makan malam keluarga untuk menjalin kedekatan antara kedua belah pihak. Sejujurnya Alita begitu malas dan sudah pasti akan sangat membosankan untuknya. Ia sudah bisa menebak obrolan apa yang akan mereka perbincangkan di meja makan nanti. Lagi pula ini urusan bisnis, kenapa ia harus dilibatkan? Apalagi ia mendengar dari Kevin bahwa pertemuan ini sedikit berbau perjodohan. Entah benar atau tidaknya ia pun tidak tahu, ia tidak bisa mengartikan dengan pasti ucapan yang keluar dari anak berumur sembilan tahun. Kak Lita kan nanti ketemu pacarnya..., begitu kata Kevin saat Sarah memberitahu acara makan malam mereka dua hari yang lalu. Alita tak sedikit pun membantah, seperti yang biasa ia lakukan jika merasa tidak sepaham dengan kedua orangtuanya. Kali ini ia langsung menuruti perkataan Sarah. Ia tidak ingin memulai keributan lagi dengannya setelah beberapa bulan ini hubungan mereka tidak terlalu buruk. Anggap saja ini adalah sebuah ucapan terima kasihnya karena kedua orangtuanya telah menjaganya berminggu-minggu di rumah sakit. Kalaupun perjodohan itu benar adanya, apa salahnya Alita mulai mengenal laki-laki lain? Toh hubungannya dengan Kenzo saat ini sudah benar-benar berakhir. Mungkin dengan ia mengenal laki-laki lain dan menjalin hubungan dengannya, Alita bisa dengan cepat melupakan Kenzo. Alita meraih tas slempang kecilnya yang sudah ia siapkan di atas tempat tidur. Sekali lagi ia memantaskan dirinya di depan cermin. Walaupun sebenarnya Alita tidak terlalu percaya diri dengan pakaian yang dikenakannya saat ini, tapi ia tetap menuruti permintaan Sarah untuk mengenakan dress biru muda selutut yang sudah dibelinya di butik langganan. Lagi pula tidak mungkin ia mengenakan jeans dan tshirt untuk makan malam di hotel bintang lima. Gadis yang biasa berpenampilan sedikit tomboy itu kini telah berubah menjadi gadis manis yang cantik dan feminim. Rambut curly-nya ia biarkan tergerai dan membuatnya semakin menarik. *** “Hallo Jeng, apa kabar?” sapa Sarah sambil mendekat ke arah Vita yang sudah duduk di salah satu kursi. Sudah ada Fery dan seorang laki-laki muda di sana. Usianya kurang lebih sekitar tiga tahun di atas Alita. Dari penampilannya terlihat perndiam dan tak banyak bicara. Mmm, terlihat sangat dewasa dan rapi, hampir mirip dengan executive muda. Sekilas Alita melirik ke arahnya karena memang dia lah yang menarik perhatiannya, walaupun itu bukan tipe laki-laki yang ia suka. “Hallo Jeng... MasyaAllah, lama sekali kita ngga ketemu...” sahut Vita, seorang wanita paruh baya yang mengenakan kaftan modern warna hijau lumut dengan aksen mutiara di bagian bawah dadanya, lengkap dengan kerudung yang menutup kepalanya. Terlihat feminim dan sangat anggun menyejukkan mata yang memandangnya. Alita memang tidak pernah bertemu dengan mereka, tapi beberapa kali ia pernah mendengar Hardjono dan Sarah membicarakan mereka saat di meja makan. Hardjono dan Fery pun saling menyapa dan sudah terlihat sangat akrab. “Maaf ya Jeng, agak terlambat... soalnya macet tadi di jalan,” terang Sarah. Alita hanya tersenyum sinis sambil melirik ke arah lain. Padahal jelas-jelas ibunya itu menerima telepon dari teman arisannya cukup lama sebelum meraka berangkat tadi. Sarah terlalu asyik hingga ia dan Kevin menunggunya cukup lama di dalam mobil. “Iya, ngga papa Jeng... kita juga belum lama kok.” “Mmm... ini pasti Alita ya?” Tiba-tiba Vita mengalihkan perhatiannya pada Alita. “Eh, iya Tante...” jawab Alita kaget dan lngsung menoleh ke arah Vita. “Duh cantik banget anak gadisnya Jeng...” “Ah Tante bisa aja...” sahut Alita sambil merangkul Kevin yang sedari tadi berdiri di sampingnya. “Ini juga karena Mamah kok Tante. Kan Mamahnya juga cantik,” lanjut Alita sambil melirik sekilas ke arah Sarah. “Aduhh... ngga usah dianggap serius Jeng... Alita emang suka bercanda,” timpal Sarah yang merasa tidak enak dengan perkataan Alita. Ia langsung melirik tajam ke arah Alita yang sekarang pura-pura bodoh sambil mengedarkan pandanganya ke sekitar restoran berkelas itu. Baru juga datang tapi Alita sudah membuat ulah. “Ngga papa kok Jeng...” ucap Vita sambil tertawa. Berbeda dengan Sarah, Vita menganggap itu adalah sesuatu hal yang lucu dan membuat mereka jadi semakin akrab. Tak hanya Vita, pria yang tengah bersama Hardjono dan fery pun ikut tertawa. Diam-diam rupanya ia mendengarkan percakapan Alita dan Vita. “Dan ini pasti si kecil Kevin ya...” “Iya Tante...” jawab Kevin dengan lantang. “Wah, pinternya. Pasti Kevin di sekolah anak yang berani ya. Emang cinta-citanya apa?” tanya Vita sambil tersenyum ramah dan sedikit menunduk agar menyamai tinggi Kevin. “Iya dong Tante... kalo aku mau jadi polisi Tante...” jawab kevin dengan polos nya. Kali ini sarah tersenyum mendengar jawaban kevin “Eh, Ayo-ayo, duduk-duduk. Masa dari tadi ngobrolnya sambil berdiri terus,” ucap sarah sambil kembali duduk di kursinya semula. “Iya, ayo silahkan duduk.” Very ikut menimpali. Semuanya pun duduk di meja bundar dengan delapan kursi yang sudah dipesan keluarga Fery sebelumnya. Makanan pun sudah dipesan karena tak lama kemudian dua orang waiter datang dengan membawa minuman menu appetizer. “O ya, sampe lupa... Alita, kenalin ini anak Tante. Namanya Satria,” kata Vita sambil menoleh ke arah Alita san Satria secara bergantian. “Ini Alita, yang waktu itu pernah Mamah ceritain ke kamu,” lanjut Vita memperkenalkan Alita pada putranya. Padahal ia sendiri baru pernah bertemu Alita. “Cantik ya...” Satria hanya tersenyum simpul sambil menoleh ke arah Alita. “Cieee... Kak Alita,” ledek Kevin yang duduk di sebelah Alita sambil berbisik. “Ih kamu apaan sih. Masih bocil juga,” “Ini nih yang perlu dicontoh. Masih muda, ganteng... pintar bisnis lagi. Kayaknya Om harus banyak belajar nih dari kamu,” ucap Hardjono yang terlihat begitu mengagumi Satria. “Engga kok Om... saya juga masih belajar. Usaha kecil-kecilan Om.” “Kamu nih merendah aja. Om serius lho... Di dunia bisnis ini kan Om masih baru banget, baru mulai. Sama nih sama Papah kamu,” lanjut Hardjono yang disambut tawa Fery. “Satria ini emang udah dari dulu suka bisnis. Malah sebelum lulus kuliah dia juga udah mulai belajar jual-beli mobil. Lumayan lah udah bisa bayar kuliah sendiri.” “Wah, luar biasa nih anak kamu...” Alita yang sedari tadi hanya mendengarkan sambil menikmati appetizer-nya terlihat gusar. Malam malam ini terasa begitu membosankan untuknya, dan tentu saja karena ia merasa dibanding-bandingkan. Salah satu hal yang sangat tidak ia suka. Terus aja dipuji-puji sampe besar tuh kepala, batin Alota sewot. Oke! Ngga ada yag bisa dibanggain dari gue! Gue cuma bisanya nyusahin! lanjutnya sambil memutar bola matanya, menatap langit-langit. “Kalo Alita sendiri, kesibukannya apa? Masih kuliah?” tanya Fery. Alita tersentak kaget ketika namanya tiba-tiba dipanggil. “Eh, gue, eee maksudnya, saya masih kuliah Om. Masih nyusahin orangtua. Belum bisa cari duit sendiri,” jawab Alita reflek. “Alitaaa...” tegur Sarah secara halus. “Ya Maaah...” sahut Alita yang langsung menyadari pasti ada yang salah dengan ucapannya. “Maaf Om,” ucap Alita pelan. “Ngga papa kok. Kan masih kuliah. Malah bagus itu... jadi bisa fokus kuliahnya, konsentrasinya ngga kepecah belah. Tuh Satria, saking semangatnya bangun usaha, malah kuliahnya jadi sempat keteter. Waktu lulus, ya udah lulus aja. Ngga perduli nilainya berapa. Ya sudah lah, itu kan pilihan masing-masing. Yang penting harus tetep tanggung jawab sama pilihan masing-masing,” ucap Fery panjang lebar. “Nah, itu yang paling penting,” timpal Hardjono. Obrolan pun terus mengalir hingga menu utama mulai dihidangkan, dan membuat Alita semakin merasa bosan. Apalagi menu yang dihidangkan tidak begitu Alita suka. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Ia kembali merasakan ada sesuatu yang aneh. Cahaya lampu dalam ruangan itu terlihat redup. Rasa-rasanya tidak mungkin di dalam restoran bintang lima dengan beberapa lampu kristal yang tergantung di sana, tapi pencahayaannya begitu redup. Ia juga melihat pengunjung yang awalnya begitu ramai saat ia baru masuk pun terasa mulai sepi. Alita mengerjapkan matanya beberapa kali. Mungkin saja penglihatannya yang buram. Tapi tetap saja pandangannya tak berubah. Ia memperhatikan satu per satu keluarganya dan orang-orang yang berada di hadapannya. Sepertinya mereka tidak menyadarinya hal itu. “De...” panggil Alita pelan. “Hmm?” “Ada yang aneh ngga sih?” tanya Alita sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Kevin pun mengikuti pandangan mata kakak perempuannya itu sambil sibuk mengunyah makanannya. Tiga detik kemudian ia menggeleng dan kembali sibuk menyantap makanannya. “Kok lampunya redup ya De?” Kali ini perasaan takut mulai menghantuinya. Sekali lagi Kevin menatap beberapa lampu kristal yang tergantung dan langsung mengangkat kedua bahunya. Alita melenguh. Adiknya memang tidak bisa diandalkan jika sudah berhadapan dengan makanan. Semua bisa ia abaikan. Alita kembali menoleh ke sisi kanan ketika sesuatu mengalihkan pandangannya... Tiba-tiba saja Alita berteriak histeris dan langsung merosot dari tempat duduknya. Ia terus berteriak ketakutan tanpa memperdulikan apa pun. Kursi yang ia duduki sampai terguling karena gerakannya yang tiba-tiba. Melihat Alita seperti itu, reflek Satria yang duduk tak jauh darinya, hanya terpisahkan satu kursi kosong, langsung mendekat ke arahnya. “Kamu ngga papa?” Alita tak menjawab. Lagi-lagi ia menoleh ke sisi kanan untuk memastikan penglihatanya. Tapi lagi-lagi ia kembali berteriak histeris ketika sosok itu semakin mendekat ke arahnya. Ia bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ya! Alita tidak mungkin salah! Bahkan setiap detail bagian tubuhnya ia hafal betul. Pria berpostur tinggi, berkulit putih dengan wajah sedikit pucat yang selalu hadir dalam setiap mimipinya saat ia dalam keadaan koma, kini benar-benar hadir secara nyata dalam di hadapannya. Bahkan Alita juga bisa melihat dengan jelas bekas luka yang ada di keningnya. Sama persis dengan pria yang ada dalam mimpinya! “Alita!” teriak Sarah yang langsing berdiri menghampiri Alita, disusul Hardjono yang befjalan di belakangnya. “Alita! Sadar kamu!” ucap Sarah dengan nada bicara keras, berharap Alita segera sadar dan menyadari apa yang dilakukannya. Kini semua tamu di restoran itu memandang ke arah mereka, hingga manager restoran itu pun datang mendekat. Entah sadar atau tidak, Alita tak memperdulikan semua yang ada di sekitarnya. Ia terus saja berteriak. Ia terlihat benar-benar sangat ketakutan hingga memejamkan rapat-rapat dan menutup kedua telinganya dengan posisi berjongkok. “Alita...” panggil Hardjono pelan sambil membimbing Alita berdiri dengan mencengkeram lembut kedua bahunya. “Ini Papah Ta.” Plakkkk!! Akhirnya sebuah tamparan keras mendarat di pipi Alita. Kali ini membuat Alita sadar. Ia memegang pipi kirinya yang terasa sakit dengan tangan kirinya. “Mahh...” pekik Hardjono. Ia mengingatkan Sarah untuk tidak terlalu bersikap keras pada Alita. Alita mengedarkan pandangannya ke semua arah hingga tatapannya tertuju pada Sarah. “Mamah tampar aku?” tanya Alita dengan suara datar. Terlihat Hardjono berusaha menenangkan Alita dengan mengelus punggungnya. Kini ia yang terlihat bingung. Ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi dengan mereka. “Apa aku selalu buruk di mata Mamah sampai Mamah nglakuin ini ke aku?!? Tampar aja terus sampe Mamah puas!! Kenapa waktu itu ngga biarin aku mati aja! Biar ngga ada lagi yang buat Mamah marah!!” teriak Alita tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Ia pun segera meraih tas slempangnya yang tergeletak atas kursi dan pergi begitu saja dengan cepat meninggalkan restoran. #Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD